x

Gabriel Garcia Marguez. Foto: Wikipedia

Iklan

Wahid Kurniawan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 9 November 2021

Minggu, 7 Agustus 2022 16:41 WIB

Telaah Ungkapan Metaforis dalam Karya Pengarang Amerika Latin

Ulasan atas buku Akhmad Idris "Permainan Metafora dalam Karya Sastra"

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul               : Permainan Metafora dalam Karya Sastra

Penulis             : Akhmad Idris

Penerbit           : LovRinz

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Terbit               : Juni 2022

Tebal               : 68 Halaman

ISBN               : 978-623-446-341-5

Nama Gabriel Garcia Marguez tentu bukan nama yang asing bagi para penikmat sastra tanah air. Penulis Amerika Latin yang memenangkan penghargaan Nobel Sastra tahun 1983 atas novel One Hundred Years of Solitude ini dianggap sebagai tokoh penting dalam percaturan kesusastraan global. Ia diakui sebagai penulis yang secara baik mengenalkan genre realisme magis, satu aliran sastra yang bertumpu pada kombinasi realisme, mitos, dan lanskap surealisme. Bahkan, saking terkenalnya, aliran ini turut mengilhami penulisan novel Cantik Itu Luka karya Eka Kurniawan. 

Kekhasan Gabo (panggilan penulis ini) pun tidak semata ditopang oleh keberadaan realisme magis di dalam ceritanya, tetapi juga oleh kepiawaiaannya dalam menghadirkan ungkapan metaforis di dalam narasi kisahnya. Ihwal ungkapan metaforis inilah yang ditelaah oleh Akhmad Idris dalam buku teranyarnya, Permainan Metafora Dalam Karya Sastra (Lovrinz, 2022).

Telaah pertama, sekaligus pembuka isi buku secara keseluruhan, hadir dalam tulisan bertajuk “Kerumitan Gabriel Garcia Marquez dan Keindahan Metafora Konseptual”. Penulis mengulas salah satu karya Gabo, yakni kumpulan cerpen terbitan Gramedia Pustaka Utama yang berjudul “Para Peziarah yang Janggal”. Dari ketigabelas cerpen itu, penulis mengfokuskan pada dua judul semata: “Aku Kemari Hanya Untuk Meminjam Telepon” dan “Sang Santa”.

Kendati begitu, penulis mendapati kekhasan ungkapan metaforis dalam kedua karya itu. Dengan menggunakan pisau bedah metafora konseptual milik George Lakoff dan Mark Johnson, penulis menemukan tiga bentuk ungkapan metaforis yang khas, yakni dasar neraka dan lengan beruang kutub dalam cerpen “Aku Kemari Hanya Untuk Meminjam Telepon” dan malaikat tak bersayap dalam cerpen “Sang Santa”.

Ketiga ungkapan itu, tentu digunakan sebagai pengganti makna sesungguhnya. Ketiganya berperan sebagai source domain, acuan untuk yang ditampilkan dalam narasi; sementara acuan yang disembunyikan, misalnya, rumah sakit yang ditampilkan sebagai “dasar neraka”, menjadi target domain. Begitu pula dengan ungkapan “malaikat tak bersayap” dan “lengan beruang kutub”.

Dalam ungkapan “malaikat tak bersayap”, penulis mengacu pada satu dialog dalam cerita “Sang Santa” yang menggambarkan betapa baiknya seorang karakter di  dalam cerita, sehingga Gabo, selaku penulis, menggunakan ungkapan tersebut. Adapun untuk ungkapan “lengan beruang kutub”, penulis mengacu pada gambaran otot lengan seorang karakter yang diasosiasikan dengan lengan beruang. Ungkapan metaforis ini ditunjukkan untuk menutupi makna tersembunyi dari lengan karakter yang besar (target domain).

Bidikan atas Gabo pun tak berhenti pada tulisan tadi. Sebab, dalam tulisannya yang lain, yaitu telaahnya atas buku Para Pelacurku yang Sendu, penulis menemukan penggunaan metafora yang membuat adegan senonoh dibalut dengan ungkapan yang santun sekaligus menawan.  Hal tergambarkan dalam adegan saat berahi seorang karakter membuncah, dan Gabo menulis: “Seembus gelombang hangat mengalun di urat nadiku, dan hewan lamban yang bermukim dalam diriku terjaga dari tidur panjangnya.”

Kalimat itu, menurut telaah penulis, menyiratkan adegan saat berihi membuncah. Tapi Gabo membingkainya dengan satu kalimat santun, sopan, dan menawan. Hal inilah yang membuat penulis tiba pada kesimpulan bahwa dalam cerita itu, bahasa metaforis yang digunakan Gabo terhitung santun; sesuatu yang dalam beberapa kasus, bila mengacu pada norma ketimuran di sekitar kita, tidak dipandang sebagai ketabuan.

Atas dua telaah itu, kita bisa asumsi bahwa penyingkapan makna metaforis dalam cerita-cerita Gabo itu tentu telah melewati pembacaan yang kritis. Di sinilah penulis menunjukkan ketekunannya sebagai seorang pembaca. Sebab, sesuatu yang tadinya tampak sebagai keindahan bahasa semata, rupanya bisa disingkap dengan satu pisau bedah khusus. Upaya itu pun tidak sebatas dilakukan atas karya-karya Gabo semata, mengingat penulis dalam buku ini melakukannya terhadap beberapa karya lain dari pelbagai penulis nasional, bahkan pengarang global. Tapi atas telaahnya terhadap karya Gabo tadi, secara jelas, ia telah menunjukkan keunikan lain yang dimiliki pengarang besar itu.

Ikuti tulisan menarik Wahid Kurniawan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler