x

Iklan

Dhien Favian

Mahasiswa Sosial-Politik
Bergabung Sejak: 19 November 2021

Senin, 8 Agustus 2022 06:26 WIB

Institusionalisasi dan Regenerasi Idealisme Mahasiswa sebagai Pengawal Demokrasi

Upaya penguatan mahasiswa sebagai aktor perubahan sosial dan pengawal demokrasi penting untuk dilakukan. Apalagi saat ini banyak undang-undang yang dihasilkan dari perkongsian pemerintah dan parlemen tak sesuai aspirasi masyarakat.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Mahasiswa saat ini perlu diakui mengemban tanggung jawab dan beban yang lebih berat bila dibandingkan sebelumnya. Bagaimana tidak? di tengah kondisi sosial-politik di Indonesia yang saat ini semakin runyam, mahasiswa saat ini seolah “dipaksa” untuk turun lagi ke jalanan disebabkan berbagai tindakan para elite politik di Jakarta yang meresahkan publik. Salah satu buktinya adalah adanya serial pengesahan undang-undang yang kontroversial sepanjang berjalannya pemerintahan Jokowi periode kedua. Hal itu dimulai darfi revisi Undang-Undang KPK pada 2019 hingga pengesahan Undang-Undang Ibu Kota Negara. Semua itu mengecewakan publik. Kekecewaan tersebut karena banyaknya kejanggalan sepanjang proses pengesahan undang-undang ala pemerintah.

Kejanggalan yang muncul dalam serial ini tertuju pada perumusannya yang ugal-ugalan atau yang dalam bahasa hukumnya disebut sebagai cacat formil. Undang-undang yang dirilis pemerintah memang mencirikan adanya kongsi antara pemerintah dengan DPR yang bercorak oligarkis-–ditarik dari kedua pihak yang sama-sama menyetujui adanya perilisan undang-undang baru. Dan kongsi tersebut memang sengaja dilakukan untuk memperkuat undang-undang sebagai sarana pengejawantahan kepentingan mereka, mulai dari memuluskan proyek negara hingga menguasai sumber daya negara dalam waktu dekat.

Kongsi politik yang disertai dengan pengesahan undang-undang yang cepat ini sontak membuat peraturan yang ada malah tidak partisipatif terhadap kebutuhan masyarakat.  Berbagai pasal yang ada dalam peraturanpun diterbitkan seolah demi melayani kepentingan pembuat undang-undang itu sendiri. Salah satu contohnya adalah pada dua pasal dari dua perundang-undangan yang berbeda, yaitu Pasal 88C Undang-Undang Cipta Kerja atau dikenal sebagai omnibus law dan Pasal 351 Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP. Kedua pasal itu adalah representasi dari bagaimana setiap ketentuan pasal yang diatur justru menguntungkan pemerintah dan kelompok kepentingan yang melingkar di sekitarnya  dan juga mengabaikan apa yang sejatinya diinginkan oleh masyarakat.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pasal 88D memuat ketentuan tentang kriteria penentuan upah minimum pekerja di seluruh Indonesia dan pasal tersebut berbunyi tentang “inflasi tidak lagi menjadi pertimbangan dalam menetapkan upah minimum” dan pernyataan tersebut pada akhirnya menggambarkan bahwa apabila terjadi inflasi dalam negara – terutama Indonesia – maka pendapatan setiap pekerja dapat terhitung tetap seperti sebelum inflasi dan hal tersebut justru melanggar hak-hak para pekerja dikarenakan penetapan tersebut akan membuat mereka tidak mampu mencukupi kebutuhan ekonomi serta standar hidup yang layak ketika inflasi terjadi.

Sementara itu, pasal 351 RKUHP memuat ketentuan tentang penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara dan ayat 1 dari pasal tersebut berbunyi “Setiap Orang yang Di Muka Umum dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan umum atau lembaga negara dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori II”, yang mana bunyi pasal tersebut jelas menimbulkan bias dikarenakan siapapun yang menyampaikan kritik kepada pemerintah dapat saja ditindak oleh elite politik yang tidak ingin dikritik dan ganjaran yang didapatkan berupa hukuman kepada pengkritik jelas tidak adil oleh karena kritik merupakan bagian esensial dari demokrasi dan dengan pelaporan yang bias kepada pengkritik tersebut maka dampaknya akan merugikan kesehatan dari demokrasi secara langsung melalui pembungkaman kritik.

Studi kasus dari kedua pasal ini menunjukkan bahwa pemerintah saat ini tidak memiliki komitmen yang kuat dalam melestarikan sistem demokrasi hasil amanat Reformasi tahun 1998 silam dan dengan pengesahan undang-undang kontroversial oleh eksekutif dan legislatif secara langsung ini, maka yang sebetulnya kita lihat saat ini ialah para elite yang berusaha merusak demokrasi dari dalam dan pembiasan yang ada juga membuat Indonesia tak lagi demokratis hingga mengancam kehidupan para konstituennya. Atas dasar itulah, kini sebagian besar mahasiswa di penjuru negeri kembali berdemonstrasi di jalanan dan banyak diantaranya juga melakukan diskusi kritis mengenai kondisi sosial-politik bangsa Indonesia terlebih dahulu sebagai bahan kampanye untuk menunjukkan bahwa demokrasi Indonesia tidak sedang baik-baik saja.

Demonstrasi yang berlangsung secara berturut-turut mulai 2019 hingga saat ini membangkitkan kembali nilai mahasiswa sebagai “garda terdepan demokrasi”. Dengan jiwa muda dan intelektualitas yang mereka miliki mampu memahami kondisi bangsa. Sehingga mahasiswa menggelar “parlemen di jalanan” menyuarakan keresahan masyarakat umum. 

Seperti halnya kiprah mahasiswa pada tahun 1998 untuk menuntut Soeharto turun dari jabatannya sekaligus mendesak supaya Indonesia bertransisi ke arah demokrasi. Mahasiswa sebagai generasi muda berintelektual selalu ditunggu kehadirannya dalam mewujudkan perubahan politik.  Mahasiswa memiliki daya kritis terhadap lingkungan sekitar. Mereka menghadapi realita sosial yang kian kompleks dan perlu diselesaikan bersama-sama masyarakat. Idealisme mereka akan memberikan kesadaran perjuangan dan perubahan sosial-politik untuk dunia yang lebih baik.

Saat ini banyak kanal yang digunakan mahasiswa untuk menyuarakan perjuangan mereka menegakkan nilai-nilai sosial seperti kebebasan sipil dan demokrasi berkeadilan. Kanal-kanal yang berdampak kepada masyarakat, mulai dari demonstrasi, kontribusi dalam LSM, pengabdian masyarakat, dan lain sebagainya. Kontribusi mereka tidak hanya memberikan kesadaran nyata kepada masyarakat mencapai perubahan, namun juga mendorong pemerintah tetap menyusun kebijakan yang memberikan kebebasan dan keadilan secara utuh kepada bangsa Indonesia.

Namun demikian, kontribusi mulia dari mahasiswa untuk mencapai perubahan sosial secara konsekuen tidak lepas dari tantangan yang dihadapi.  Saat ini mahasiswa mulai dirongrong dari segala arah untuk melucuti idealisme perjuangan mereka.  Mahasiswa ditempatkan ke dalam barisan “kelas pekerja” yang hanya berorientasi gaji dan mengikuti tuntutan pekerjaan. Itu membuat mereka melupakan esensi perjuangan. Salah satunya, misalnya, munculnya polemik partai mahasiswa yang sempat trending beberapa waktu lalu. Nama tersebut muncul secara terang-terangan di media sosial,  kendati banyak yang mengamini partai ini merupakan perubahan dari Partai Kristen Indonesia 1945. Keberadaan partai ini juga banyak diisukan telah berdiri sejak Januari lalu dan telah mengantongi izin legalitas dari Kemenkumham.

Kemunculan partai yang menyandang nama “mahasiswa” ini telah memicu polemik sejak rilisnya berita terkait posisi kepemimpinan partai yang dipegang oleh Eko Pratama. Eko Pratama berasal dari BEM Nusantara telah banyak dikritik kubu mahasiswa lainnya karena tidak mengamini prinsip independensi mahasiswa dalam merespon isu sosial-politik di sekitar. Keberadaan partai ini juga dikritik karena tentu memiliki orientasi besar terhadap politik praktis. Dan kepentingan yang dijalankan pun tidak lagi bersinergi dengan kepentingan mahasiswa yang idealis bagi perubahan bangsa Indonesia. Partai mahasiswa ini akan memecah fokus pergerakan mahasiswa dan sekaligus membuat mereka dikooptasi politisi demi kepentingan di parlemen.

Tantangan selanjutnya tertuju pada represivitas aparat keamanan yang seringkali ditemui dalam setiap demonstrasi mahasiswa di berbagai wilayah Indonesia. Seiring berjalannya pemerintahan Jokowi yang seringkali menguntungkan lingkar kekuasaannya dan dalam menjamin pemenuhan tersebut, seringkali perbedaan politik atau dikenal sebagai political dissent justru direspons secara berlebihan melalui penerjunan aparat keamanan secara masif. Upaya kritik juga ditekan melalui berbagai medium. Hal ini di satu sisi membuat perjuangan mahasiswa memiliki banyak lika-liku dalam mengawasi kinerja pemerintahan.

Howard Zinn menyatakan bahwa kritik dan pembangkangan sipil sejatinya menyehatkan demokrasi dikarenakan kedua hal ini menjadi bentuk partisipasi mahasiswa dalam mewakili suara rakyat. Peniadaan terhadap kedua hal ini cenderung menggugurkan demokrasi kepada tendensi otoriter. Akibatnya, menjadikan perubahan justru lebih buruk dari yang diharapkan.

Oleh karenanya, upaya penguatan mahasiswa sebagai aktor perubahan sosial dan pengawal demokrasi menjadi penting untuk regenerasi kesadaran publik perlunya mencapai demokrasi yang substansial. Pertama, ialah regenerasi kultural dan ideologisasi mahasiswa sebagai pengawal demokrasi. Mahasiswa sejak dini mengemban amanat untuk kritis terhadap situasi sosial-politik. Mahasiswa juga dituntut aktif menyuarakan suara rakyat mencapai perubahan sosial yang lebih baik. Untuk itu diperlukan pembekalan budaya dan ideologi secara konsekuen – terlepas dari latar belakang jurusannya – untuk membangun mereka sebagai pribadi yang sadar dan proaktif dalam melakukan perubahan.

Pembekalan tersebut juga tidak hanya harus dilakukan dalam satu waktu tertentu, melainkan secara berkelanjutan dari generasi ke generasi. Tujuannya supaya nilai-nilai perjuangan mahasiswa akan perubahan dapat diteruskan kepada generasi berikutnya. Setiap mahasiswa dapat menjadi pribadi yang idealis dan progresif memperjuangkan gagasan tanpa terkooptasi politik pragmatis dan godaan kekuasaan.

Kedua ialah penguatan dan konsolidasi struktural mahasiswa dalam merespon isu nasional. Di setiap kampus pasti ada Badan Eksekutif Mahasiswa dan Himpunan BEM dari seluruh Indonesia. Misalnya, BEM SI maupun BEM Nusantara yang kian hari kian vokal dalam melakukan demonstrasi.

Namun demikian, untuk memperkuat barisan mahasiswa sebagai parlemen jalanan konsolidasi dan kaderisasi komprehensif oleh setiap BEM haruslah dijalankan secara konsekuen dalam mengawal setiap isu di masyarakat. Konsolidasi beserta koordinasi antar BEM tetap harus dijalankan dalam melaksanakan demonstrasi supaya mereka tetap menjadi pilar keenam dari demokrasi serta merekatkan visi bersama dalam mengawal pemerintahan.

Selain itu, setiap BEM harus intens berinteraksi dengan masyarakat. Hal itu bertujuan mendekatkan masyarakat kepada mahasiswa. Bentuk pengabdian seperti ini juga diperlukan dalam bergerak mengawal kebijakan pemerintah supaya aksi mereka berkelanjutan. Mahasiswa harus senantiasa menjadi pihak independen yang bisa diandalkan masyarakat mencapai perubahan sosial-politik di Indonesia.

Ikuti tulisan menarik Dhien Favian lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler