x

ilustr: Hannah Bunker

Iklan

atmojo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Selasa, 9 Agustus 2022 15:39 WIB

Roman Noorca M. Massardi: Sekuntum Duri

Kisah percintaan seorang seniman muda dengan gadis yang mengalami trauma di masa lalu. Banyak lika-liku yang terjadi dan berakhir dengan tragis.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Novel  remaja Sekuntum Duri ini ditulis Noorca M. Massardi pada periode 1977-1978 dan diterbitkan oleh PT Gramedia (1979). Pernah difilmkan dengan judul yang sama pada 1979. Skenarionya ditulis sendiri oleh Noorca dan disutradarai oleh Bobby Sandy. Pemainnya, antara lain, Herman Felani, Lydia Kandou,  Dewi Irawan, Nani Widjaja, dan lain-lain.

Noorca M Massardi 2

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dari dua karya fiksi Noorca lain yang baca (Mereka Berdua dan Setelah 17 Tahun), novel  Sekuntum Duri termasuk –setidaknya menurut saya-- yang paling “ringan”. Gaya penulisannya khas fiksi remaja pada umumnya: lincah, enak dibaca dan  menghibur. Tetapi, di tangan Noorca, cerita  remaja ini –syukurlah--  tidak jatuh menjadi roman picisan. Dan di akhir novel Noorca berhasil membuat “ending” yang menurut saya cukup bagus: imajinatif, filmis, sekaligus mengharukan.

Begini cerita singkatnya. Atas permintaan Ibu Yuli, guru di sebuah SMA. Dion harus melatih sejumlah siswa untuk bisa bernyanyi. Targetnya, di sekolah itu bisa dibentuk sebuah grup yang baik. Maklumlah, karena kegiatan menyanyi sedang ramai. Masing-masing sekolah kepingin betul terkenal, walaupun mereka tak tahu bagaimana menyanyi yang benar. Sania dan Inge, siswa kelas tiga SMA, yang mendengar bahwa di sekolahnya akan ada latihan folk-song, segera mendaftarkan diri mereka kepada Ibu Yuli.

Rencana kehadiran Dion sebagai pengajar ini menjadi perbincangan di kalangan siswa, khususnya Sania dan Inge. Dion sendiri adalah seniman muda yang cakep dan lumayan terkenal. Selain bisa menulis syair lagu, alat musik yang dia kuasai adalah biola dan piano. Waktu yang dtunggu-tunggu akhirnya datang. Dion mulai mengajar para remaja itu. Ia meminta secara bergiliran beberapa siswa untuk maju ke depan.

Kini giliran Sania yang diminta menyanyikan sebuah lagu. Dion duduk di atas meja. Ia mendengarkan sambil membolak-balik buku yang dibawanya. Sania segera tarik suara. Suaranya tidak jelek. Cuma agak bergetar. Maklum orang baru.

Daun yang gugur / ranting yang runtuh / kau terbang jauh

Jiwa yang malang / Aku melayang / Kau bayang-bayang

Apakah hari telah jadi dengki / sedang aku titik api? / Apakah langit telah bersembunyi

Sedangkan aku bima sakti? / Apakah hari masih akan nanti / sedangkan aku berjalan kaki?

Jiwa yang malang, o jiwa yang malang / Aku melayang, o aku melayang

Daun yang gugur / ranting yang runtuh/  kau terbang jauh

Jiwa yang malang / aku melayang / kau bayang-bayang

                                                                           ***

Lagu itu diciptakan Dion dua tahun lalu, ketika ia  jatuh cinta kepada anak pengacara di muka rumahnya. Namanya Fiska. Matanya coklat. Rambutnya pendek seperti Mia Farrow. Tapi ia tidak tahu lagi di mana gadis itu kini berada. Waktu itu ia masih belum jadi apa-apa. Dan keluarga pengacara yang kaya itu pindah entah ke mana. Jadi, tinggal Dion yang cuma bisa membayang-bayangkannya.

Dion kemudian sadar bahwa di antara para siswa itu ada yang mirip Fiska, yakni Inge. Jantungnya berdebar. Sejenak ia terpaku. Tapi lekas-lekas ia menggelengkan kepalanya. Sejak pertemuan itu, baik Inge maupun Dion mulai menunjukkan rasa tertarik satu sama lain. Bagi Dion, Inge betul-betul mirip dengan Fiska. Rambutnya yang pendek. Matanya yang cokelat. Bahunya yang bidang. Bibirnya yang basah. Ah. Dua-duanya cantik. Tapi yang ini lebih kanak-kanak.  

                                                                         ***

Berbeda dengan Sania yang sangat akrab dengan ibunya, Inge merasa kurang akur dengan sang ibu. Selalu saja mereka bertengkar. Tentang apa saja. Jadi Inge tak punya tempat berlindung kalau ada kesulitan apa-apa. Hanya kepada Ayahnya ia berani. Tapi itu pun terbatas. Karena Ayahnya sibuk. Dan dia juga segan. Apalagi kalau menyangkut urusan perempuan. Terutama tentang pacar-pacaran. Satu-satunya kawan yang bisa dipercayainya hanya Sania. Kepada Sania semua rahasia pribadinya dia berani ungkapkan. Juga tentang beberapa hal yang tak pernah diketahui orang tuanya. Padahal itu penting.

Suatu kali, di sebuah restoran di Kawasan Blok M, Inge mengeluh kepada Sania: “Habis orangtuaku itu salah mengerti sih. Dikiranya cinta kasih Ayah dan Ibu itu sudah cukup dengan hanya mencukupi kebutuhan makan, pakaian, mobil, uang jajan yang banyak dan membelikan apa saja yang diminta anaknya. Sesudah itu tak mau tahu lagi dan tak mau mengerti persoalan-persoalan yang dihadapi anaknya. Padahal aku tak perlu barang-barang begituan itu. Karena benda-benda itu gampang dibeli dan gampang juga dirusakkan. Atau dibuang. Yang aku mau dari orangtuaku itu cuma pengertian. Bisa diajak bicara serius. Bisa diajak bercanda. Bisa diajak omong tentang persoalan pribadi tanpa syak dan curiga. Bisa diminta pendapatnya tentang pacar, tentang gosip di luaran. Dan banyak lagi. Sulit aku menjelaskannya dengan kata-kata. Jadi, tidak gampang marah dan tersinggung bila suatu kali anaknya bicara tentang laki-laki, misalnya. Ini, belum apa-apa sudah sinis. Pulang telat sedikit diselidiki ke sana ke mari. Teleponlah ke sekolah. Teleponlah ke tempat les. Dan macam-macam. Sepertinya aku ini ayam piaraan. Tak boleh keluar kandang karena hendak disembelih. Benci aku!”

Inge juga sudah beberapa kali berurusan dengan psikolog bahkan psikiater. Soalnya, dia dianggap indisipliner di sekolah. Inge suka melawan kepada guru. Dia sering berteriak-teriak bila merasa diperlakukan tidak adil oleh guru-gurunya. Misalnya, diberi nilai jelek dalam ulangan, padahal ia yakin sekali telah mengerjakan dengan betul soal-soal itu. Atau tak mau pakai seragam sekolah. Atau bikin huru-hara tanpa alasan bila akan ada ulangan. Dan sebagainya. Padahal sebenarnya dia baik sekali. Cuma temperamennya saja yang payah. Darah tinggi. Jadi gampang tersinggung. Dan sangat perasa terhadap apa saja.

Itu semua tentu bukan tanpa sebab. Inge punya trauma pada masa kanak-kanaknya. Dan itulah satu-satunya persoalan yang tak mau dia ceritakan kepada siapa pun. Juga kepada orangtuanya. Juga kepada para psikolog dan psikiater itu. Akibatnya, dia terus menerus merasa menjadi orang kerdil. Tak diperhatikan. Merasa hina. Dan sebagainya. Dan satu-satunya orang yang dia percayai cuma Sania. Kepadanyalah trauma itu ia ceritakan.. Jadi, itu sebabnya Sania suka sedih memikirkan Inge. Ia banyak mengerti kenapa Inge begini. Kenapa Inge begitu.  Walaupun kadang-kadang Sania merasa jadi korban juga akibat pengertiannya yang besar terhadap tingkah laku Inge itu.

Intinya Inge ingin lebih diperhatikan oleh kedua orangtuanyan. “Aku juga ingin mengingatkan kepada orangtuaku. Sudah cukup aku dulu mengalami kejadian buruk. Sekali saja dalam hidupku. Aku tak ingin menderita untuk yang kedua kalinya. Apakah aku salah bila aku meminta perlindungan kepada orangtuaku sendiri? Apakah aku salah? Maafkan aku, San. Aku bicara terlalu panjang. Tapi aku harus mangatakan hal ini. Kepada siapa saja. San, aku tak tahan lagi hidup terus begini…!”

Inge memang pernah mengalami “kekerasan seksual” ketika masa kanak-kanak yang dilakukan oleh Felix, saudara jauhnya. Saat itu Inge dan ibunya tinggal di Manado, di rumah  orangtua ayahnya yang sedang melanjutkan pendidikan di Prancis. Mereka tinggal di paviliun milik Opanya. Lalu datangnya Felix dari Enrekang dan sekolah di Manado. Mula-mula hubungan Inge dan Felix baik-baik saja. Tapi lama-lama Felix berubah. Ia mulai sering memeluk dan meraba-raba tubuh Inge. Makin lama perbuatan Felix makin berani, hingga terjadi penetrasi beberapa kali. Inge juga merasa sangat kecewa atas perlakuan Pius, pacar lama,  kepadanya di masa lalu.

                                                                          ***

Selanjutnya aneka peristiwa terjadi. Soal kegiatan di sekolah (termasuk latihan bernyanyi) , tentang salah paham antara Inge dan Sania, dan lain-lain. Ada juga cerita tentang Dion yang menjadi bintang tamu dalam sebuah pertunjukan musik jazz di sebuah club mewah. Kebetulan malam itu Inge bersama ibu dan ayahnya menonton. Selama ini Dion tak pernah cerita bahwa dia kerja di klub itu selama tiga bulan. Ketika jam istirahat, di dalam bar, Inge memeluk Dion. Lalu Dion mencium kening Inge, lalu mengecup bibirnya. Inge membalas dengan hangat dan romantik Tapi tiba-tiba terdengar suara ayahnya di dekatnya. Inge gelagapan dan segera melepas pelukannya. Kepada Stephane Grappeli, pimpinan Quintette yang main di malam itu, Dion bertanya-tanya soal kemungkinan mendapatkan beasiswa untuk berlajar di Paris.

Di rumah, ayahnya bertanya lebih jauh tentang Dion. Inge bercerita bahwa Dion adalah guru musik di sekolahnya. Mengingat Inge sudah kelas tiga dan hendak ujian, ayahnya kurang senang dengan aktivitas Inge ikut kegiatan lain selain belajar. Tapi akkhirnya mereka berkompromi, asal Inge tidak ada hubungan khusus dengan Dion.

                                                           ***

Berbicara tentang cinta – termasuk cinta orangtua terhadap anak--  memang tiada habisnya. Dan bicara soal cinta, itu artinya juga berbicara tentang  makna sebagai manusia. Jika Anda seorang Kristen, misalnya, ada baiknya membaca Works of Love-nya Soren Kierkegaard. Di situ Kierkegaard  berbicara banyak mengenai makna cinta, dan melihat bagaimana cinta dalam perspektif Kristen. Intinya, makna cinta adalah menjadi otentik dengan menyintai tanpa syarat. Ini memang ada hubunganya dengan perintah Kristen tentang “kasih”  atau “mengasihi”.

Gabriel Marcel juga bicara soal hubungan antar-manusia dengan konsep “kehadiran”-nya. Tentang ini sudah pernah saya singgung ketika saya membaca novel Tiba-Tiba Malam karya Putu Wijaya. Intinya, menurut Marcel, dua orang baru “hadir” yang satu bagi yang lain jika terjadi perjumpaan antara "aku" dan "engkau". Di sini orang lain tidak dipandang sesuai dengan aspek fungsionalnya, tetapi dilihat sebagai sesama manusia, sesama persona. Maka orang lain "hadir" bagi saya jika saya mengadakan kontak yang sungguh-sungguh dengan dia sebagai persona.

Elok juga pemikiran Erich Fromm dalam buku The Art of Loving.  Menurut Fromm, cinta adalah seni. Karena itu cinta memerlukan pengetahuan dan latihan. Selama ini orang lebih banyak bicara soal “dicintai” daripada “menyintai”. Padahal cinta adalah suatu kegiatan. Bahwa menyintai itu terutama adalah “memberi”, bukan “menerima”.

Bagi orang dengan karakter non-produktif alias receptive oriented, memberi adalah sebuah beban Mereka tahunya dan maunya hanya menerima dan menimbun. Bagi menereka memberi berarti pemiskinan. Bagi yang berkarakter dagang (market oriented), mereka hanya mau memberi kalau dia juga menerima. Buat mereka, memberi tanpa menerima berarti ditipu. Sedangkan bagi mereka yang berkarakter produktif (productive oriented), memberi adalah ungkapan yang paling tinggi dari kemampuan seseorang. Dalam memberi, dia menghayati kekuatan, kekayaan, dan kekuasaannya. Bagi mereka, memberi lebih menggembirakan daripada menerima.

Sedangkan menurut pemikir dari Jawa, Ki Ageng Suryomentaram, rasa cinta adalah rasa yang dapat merasakan rasa orang lain. Kalau cinta kasih ada pada seseorang, maka ia dapat merasakan rasa orang lain. Wujud dari cinta kasih adalah segala hasrat dan usaha yang bebas dari kepentingan diri sendiri (sepi ing pamrih) atau hasrat untuk membahagiakan orang lain.

***

Ketika Dion berlibur ke Bali, ia bertemu dengan pasangan suami-istri (Jacques Martin-Nicole Martin) yang bersedia membantu apabila Dion sudah berada di Paris. Hal itu menambah semangatnya untuk bisa pergi ke sana. Kepada Inge ia tetap tutup mulut. Terutama tentang niatnya hendak ke Paris itu. Bahkan  sejak ia pulang dari Bali, Dion semakin tak mau peduli lagi kepadanya. Kelihatannya ia sudah malas untuk ketemu. Walaupun Inge bisa mengerti, bahwa hal itu mungkin karena Dion begitu sibuk dengan lagu-lagunya. Itu sebabnya kenapa justru Inge-lah yang kemudian sering datang ke rumah Dion.

Kawan-kawan Dion juga tak pernah tahu bahwa Dion sedang bersiap-siap untuk berangkat ke luar negeri. Yang mereka tahu, Dion sedang sibuk membuat opera dengan Robin. Jadi mereka tak menaruh kecurigaan apa-apa bila sehari dua Dion tak pulang. Padahal ia sedang sibuk mengumpulkan uang. Selain menambah jumlah benih yang ditanam di rahim Inge.  Sebab, semakin Inge bertambah cemburu, semakin besar pula keinginannya untuk memiliki Dion. Artinya, semakin besar juga hasratnya untuk bersatu jiwa dan badan dengan Dion. Setiap kali ada kesempatan. Dan Dion tak bisa menolak. Sebab ia juga dituntut untuk membuktikan rasa cintanya itu dengan kesediaan untuk memainkan kodratnya sebagai laki-laki, dalam percintaan.

                                                            ***

Jadi hubungan Inge dengan Dion, sudah lebih dari sekadar percintaan remaja biasa. Dan itu sungguh mengagetkan Sania. Tapi dia tak bisa memberi komentar apa-apa. Sania hanya heran, bahwa Inge bisa melakukan hal itu, setelah pengalaman buruk masa silamnya yang amat menghantui seluruh perjalanan hidupnya. Bahkan Sania juga tak mengerti, kenapa Inge juga tak ambil pusing, tentang apakah ia masih benar-benar perawan atau tidak, ketika ia mulai tidur dengan Dion.

Dion pun tak pernah mengungkit-ungkit hal itu, atau tidak menuntut apa-apa kepada Inge. Suatu hal yang juga sangat mengherankan Inge. Tapi dia pun akhirnya tak pernah lagi memikirkan soal keperawanannya itu. Ia juga ikut-ikut menjadi tak peduli. Karena bagi mereka, bagi Inge dan Dion, hal itu tak menjadi soal yang amat penting dalam hubungan mereka selama ini.

Yang mengelisahkan Inge belakangan ini justru mengenai peringatan yang disampaikan Sania. Bagaimana kalau kamu hamil? Pertanyaan itu sungguh genting. Sebab, terus terang, selama ini Inge tak pernah memikirkan hal itu secara mendalam. Ia tahu bahwa suatu hari, hal itu pasti akan terjadi. Tapi kemesraan itu dan ketenteraman berada dalam pelukan Dion itu, telah melupakan segala-galanya. Dan ia sudah begitu percaya kepada Dion, bahwa apa pun yang terjadi, mereka akan memikul beban dan tanggungjawab bersama-sama.

Tapi bagaimana pun tabahnya, seorang perempuan tetaplah seorang perempuan. Kegelisahan itu lambat laun tumbuh juga di dalam hatinya. Seperti butir padi, bila ia ditanam makin lama makin membesar, demikian juga rasa takut itu. Semakin lama, ia semakin membesar. Dan rasa takut itu, kini mulai tumbuh di dalam jiwa perempuan muda itu.

Bulan lalu, ia tidak mendapatkan mensnya. Bila minggu depan mensnya tidak juga datang, itu berarti bencana akan segera tiba. Dan Inge tak berani mengatakan hal itu kepada siapa pun. Tidak kepada Sania, dan sudah pasti tidak kepada kedua orang tuanya. Juga tidak kepada Dion. Beberapa hari setelah tanggal yang ditunggu, mensnya tetap tak muncul. Padahal hari itu adalah hari terakhir Dion tidur dengan Inge. Di sebuah hotel mewah. Karena Dion ingin betul-betul menikmati hari perpisahannya itu, dengan tenang dan tanpa rasa takut. Karena besok sore, ia sudah akan berangkat ke Paris. Persis pada malam pementasan pertama opera Robin yang berjudul “Oh Indonesia” pada 22 Desember.

Bahkan ketika Dion menanyakan soal itu, Inge tetap tak mau mengatakan yang sebenarnya. Inge sudah begitu takut. Padahal, kalau saja hari itu Inge mau menceritakan dan tak perlu menunggununggu kesempatan baik, segala sesuatu masih akan bisa berubah. Mungkin Dion akan segera mengurungkan kepergiannya ke Paris. Atau bagaimana. Tapi apa yang harus terjadi, terjadi jugalah.

               “Kamu betul-betul tidak apa-apa, sayang?” kata Dion, dalam perjalanan pulang dari hotel itu. Inge menggeleng. Tapi air matanya berderai. Dan taksi itu terus meluncur

               “Kamu tidak hamil?” bisik Dion lagi sambil mengusap air mata Inge.

Inge menggeleng.

                “Lalu kenapa kamu menangis?”

                 “Saya tidak tahu. Perasaan saya tidak enak terus belakangan ini. Saya jarang

bisa tidur. Saya takut….!” Inge memeluk Dion. Saya takut kehilangan Dion. Saya takut tiba-tiba Dion meninggalkan saya. Saya tak mau. Saya cinta sekali sama Dion….!”

                “Ya, ya. Saya juga cinta Inge. Saya tidak akan meninggalkan Inge. Saya

sayang Inge!”

Dion menangis di dalam hatinya. Sebenarnya ia tak kuat menahan perasaan itu. Tapi ia harus pergi. Dan Inge tak boleh tahu. Betapa pun beratnya. Betapa pun akibatnya. Inge mencium Dion.

               “Besok malam bagaimana?”

               “Kalau saya terlambat, kamu masuk saja duluan. Tira akan menemani kamu. Tiket yang tadi itu untuk kelas utama. Tapi saya usahakan untuk datang sebelum pertunjukan.”

               “Memangnya Dion mau ke mana?”

               “Saya akan rekaman di televisi. Untuk acara tanggal 23. Kamu lihat ya nanti!”

               “Dion ngapain sih?”

               “Pokoknya lihat saja. Saya bikin khusus untuk Inge.”

               “Betul?”

               “Saya sungguh-sungguh.”

               “Untuk acara jam berapa?

               “Setengah sembilan>”

               “Iya deh. Saya pasti nonton.”

***

Singakt cerita, akhirnya Dion pergi ke Paris. Dia meninggalkan sepucuk surat buat Inge. Begini bunyinya:

Inge cintaku.

Kalau kamu membaca surat ini, saya masih tetap berharap semoga kamu mau memaafkan keputusan saya yang telah saya ambil secara diam-diam ini. Dan kalau kamu membaca surat ini, saya juga masih tetap berharap, semoga kamu masih bisa memikirkan dan memandangnya dengan jalan pikiran yang jernih dan tidak emosional. Karena semua ini saya putuskan untuk kebaikan kita bersama. Apalagi saya masih tetap yakin bahwa kita nasih akan bisa bertemu kembali suatu saat, entah kapan. Karena cinta kita tak akan putus-putusnya, senantiasa.

Inge cintaku.

Kalau kamu membaca surat ini, kamu harus percaya, bahwa saya sudah tidak lagi tinggal di Jakarta. Saya sudah pergi meninggalkan kekasih yang saya cintai dan saudara, orang tua serta kawan-kawan saya yang juga saya cintai. Tadi sore, pukul 16.45, saya telah berangkat ke Paris, dengan pesawat UT.563, milik perusahaan penerbangan di mana ayahmu bekerja. Saya ingin belajar. Saya ingin mencari ilmu sebanyak-banyaknya, untuk masa depan kita berdua. Karena ternyata saya telah betul-betul mencintaimu dengan tulus dan jujur. Dan karena saya yakin, bahwa kita masih akan bertemu pada suatu saat, entah kapan. Dan perlu kamu tahu, kepergian saya ini adalah atas biaya pribadi. Jadi harap kamu mengerti, bahwa dengan kepergian saya ini, tidak berarti bahwa saya telah melarikan diri dari penjara cintamu. Tapi justru sebaliknya. Saya cinta Inge.

Inge cintaku.

Kalau kamu telah lulus ujian, mintalah kepada orang tuamu, agar kamu bisa sekolah di Eropa, atau di Paris. Ini kalau kamu masih tetap memelihara cintamu kepada saya, dan kalau kamu masih tetap ingin membina cinta kita bersama-sama. Sebab kalau kamu berhasil menyakinkan orang tuamu, saya yakin, pada saat itulah kita akan bertemu kembali. Apalagi orang tuamu begitu banyak berhubungan dengan pemerintah Prancis. Dan tidak mustahil, permintaanmu itu akan dikabulkan. Asal kamu tidak menceritakan bahwa saya juga ada di Paris.

 Inge kekasihku.

Saya tak bisa lagi menulis surat yang lebih baik dan lebih panjang lagi dari ini. Tapi sekali lagi, saya harap kamu tetap memandang persoalan ini dengan kepala dingin. Dan maafkanlah kalau saya begini mendadak mengabarkan soal ini kepadamu. Karena yang mengetahui kepergian saya ini hanya Tira sendiri. Tak ada orang lain yang tahu. Nah, sekianlah surat perpisahan yang mungkin menyakitkan ini. Saya akan mengirim kabar kepadamu, bila saya sudah tiba di Paris nanti. Dan percayalah, saya tetap cinta kamu senantiasa. Susullah saya selekasnya. A bientot! Je t’embrasse. Je t’aime!

Cintamu

Dion.

Gemetar jari-jari tangan Inge. Dia sudah tak bisa lagi menangis. Kepalanya berputar-putar. Dadanya meluap-luap oleh berbagai perasaan yang tak terbendung Nafasnya sdesak. Dan begitu mobil masuk garasi, dia segera meluncur ke dalam. Dia sudah tak tahu laghi bahwa di ruang  tamu itu masih ada ayah dan ibunya menonton televisi. Mereka kaget melihat Inge seperti dikejar sesuatu. Inge lari naik tangga. Padahal dia sudah tidak bisa melihat apa-apa lagi. Tenaganya benar-benar telah habis

             “Inge...!” Kedua\ orangtuanya memanggil berbarengan. Mereka kaget melihat kelakuan Inge. Keduanya seperti sepakat, bangkit dari tempat duduknya dan hendak mengejar Inge.

              Pada tangga terakhir, Inge oleng, nanar dan bagai ditiup anghin, tubuhnya melayang ke bawah. Inge bergulingan di anak tangga, tanpa bisa ditolong lagi. Ketika di lantai bawah, Inge sudah tidak bergerak lagi. Darah keluar dari beberapa tempat.

             Saat itulah Alex Mendur tersadar dari leterpukauannya. Tapi ia tak berani menyentuh anaknya. Ia nsegera menelpon ambulan. Beberapa petugas yang datang segera membawa Inge ke rumah sakit.

Ketika menunggu di luar kamar gawat darurat itulah Alex baru mulai menyadari semuanya. Tapi surat yang dari tadi ada di genggaman tangannya itu dirasakannya sangat mengganggu. Ia sempat membuangnya, tapi oleh sopirnya surat itu diserahkan kembaki kepadanya. Alex menerimanya kembali. Lalu dibukanya kertas yang sudah kucel itu. Ia mencoba membacanya, tapi tak bisa. Ia merogoh-rogoh seluruh kantongnya. Tapi ia tak menemukan kacamatanya. Akhirnya, surat itu dikantonginya lagi.

                                                                          ***

 Di bagian akhir,  di  depan rumah Alex Mendur, direktur perusahaan penerbangan UTA di Jakarta, beberapa orang wartawan dan juru potret sudah berkerumun sejak tadi. Mereka menunggu tuan rumah keluar. Nyonya Mendur yang masih belum tahu apa-apa, tampak terheran-heran menyaksikan mereka dari balik kaca jendela.

Di rumahnya sendiri, Sania menangis di dalam kamarnya. Ia sungguh-sungguh tak bisa mengerti akan kecelakaan itu. Dan sebuah koran pagi, yang memuat berita stop press singkat, tergeletak di atas tempat tidurnya.

Di Rumah Sakit Cikini, di sebuah kamar VIP, Inge masih terbaring di atas ranjang. Kepalanya penuh balutan. Sebelah tangan dan sebelah kakinya terbungkus gips. Di samping tempat tidurnya, cardiogram, alat pengukur denyut jantung, menggambarkan gerakan yang sangat lemah. Sedang di atas kepalanya, di sebuah tiang, tergantung botol infus yang masih baru, yang dihubungkan ke lengan Inge sebelah kiri. Dari pipa kecil itu, cairan infus menetes satu demi satu. Seorang perawat tampak menungguinya di sebuah kursi. Inge belum juga  siuman, sejak kemarin, walaupun isi rahimnya telah dibersihkan sebagaimana kata dokter.

Di rumah Tira,  beberapa kawan duduk membisu di atas tikar pandan itu. Suasana berkabung menyelimuti wajah mereka. Kedua belah mata Tira tampak bengkak, karena tangis yang masih segar. Beberapa helai koran pagi, tergeletak di hadapan mereka. Berita singkat pagi itu, telah merenggut segala perasaan mereka. Sebab kecelakaan pesawat terbang di Pelabuhan Udara Bahrein itu telah menewaskan hampir lima ratus jiwa penumpangnya.

“Sekitar pukul 03.45 WIB, pagi tadi, pesawat penumpang UT.563 milik perusahaan penerbangan Prancis UTA jurusan Paris yang bertolak Jakarta via Singapura dan Bahrein, telah tabrakan dengan pesawat penumpang lain di Pelabuhan Udara Bahrein, ketika pesawat UT.563 baru saja mendarat.

“......Seluruh awak dan penumpang kedua pesawat itu tewas seketika, karena ledakan yang sangat hebat. Diduga, di antara penumpang yang bertolak dari Jakarta,terdapat antara lain komponis muda Indonesia bernama Dion Alessandrio,22 tahun, yang bermaksud hendak memperdalam pengetahuan musiknya di Paris”.

Begitulah sebagian bunyi teleks yang disalurkan oleh Kantor Berita Antara dan AFP ke seluruh kantor redaksi surat kabar di Indonesia. Dan berita itu kemudian menjadi berita stop press singkat beberapa koran besar ibukota tanggal 23 Desember. Itulah sebabnya kenapa sejak  subuh telepon di rumah Alex Mendur, berdering terus. Dan berita itu pulalah yang membuat Alex terbahak-bahak. Karena dari surat Dion kepada Inge itu ia tahu, bahwa Dion termasuk di antara penumpang pesawat terbang itu.

Anak muda yang penuh cita-cita itu, yang telah menghasut anaknya itu, yang telah mengacaukan rumah tangganya itu, yang telah menghancurkan masa depan anaknya itu, kini sudah mati.

Kenyataan itu pula yang mengejutkan mereka yang dekat dengan Dion. Baik Tira (adik Dion) dan teman-temannya (Aji, Maza, Prio, Hasyim, Sania), dan mungkin saudara-saudaranya yang lain. Sementara satu-satunya orang yang paling dekat dengan Dion, yakni Inge, malah belum tahu apa-apa. Sebab, ia tetap belum sadarkan diri sampai sore hari itu.

Sania datang membawa bunga setelah dia diberi tahu bahwa Inge dibawa ke rumah sakit karena terjatuh dari tangga. Tira sempat datang pula. Sementara Inge tampak tergeletak seperti mayat. Grafik di cardiogram itu semakin lemah geraknya. Semua yang hadir di situ memperhatikan peralatan itu dengan tegang dan dengan perasaan serta pikiran masing-masing. Juga Alex Mendur dan istrinya.

Sania seperti telah kehilangan separuh dari harapannya selama ini. Dia betul-betul kaget, bahwa Dion begitu mendadak dan diam-diam pergi ke Paris. Dan  begitu mendadak pula meninggalkan dunia ini. Sungguh tak masuk akal baginya. Demikian juga bagi Tira, adik kandungnya, kematian abangnya yang tragis itu sungguh merupakan kehilangan yang sangat besar. Seperti ia kehilangan sebagian dari jantungnya sendiri.

Di dalam kamar VIP di rumah sakit itu, kini tinggal beberapa buket kembang, dan buah-buahan yang tak pernah disentuh siapa-siapa. Sementara seorang juru rawat duduk bagai patung di samping ranjang itu, sambil kedua matanya tak lepas dari gerak pengukur denyut jantung.

Sedang pesawat teve yang sejak kedatangan penghuni baru itu tak pernah disetel, tampak terpaku di pojok atas, seperti memang tak mau disentuh siapa-siapa. Tapi pada pukul 20.30, , Inge tiba-tiba membuka kedua kelopak matanya.

Perawat itu senang sekali. Apalagi grafik itu mendadak berjalan normal. Ia bangkit sambil tersenyum.

           “Pukul berapa sekarang?” tanya Inge pelan. Perawat itu heran. Tapi ia tak banyak tanya.

            “Pukul setengah sembilan malam,” jawab perawat itu setelah ia melihat jam tangannya yang sering macet itu.

            “Kamu siapa?” tanya Inge lagi sambil memandang ke sekeliling ruangan.

            “Saya perawat di rumah sakit. Tenanglah. Inge akan segera sembuh,” sahut perawat itu penuh harapan dan kebaikan.

            “Saya ada di mana?”

            “Di Rumah Sakit Cikini. Tadi Ayah dan Ibu serta beberapa kawan Inge datang. Tapi Inge masih tidur.”

             “Sudah lama saya di sini?”

             “Baru dua hari,” jawab perawat itu sambil terus tersenyum.

             “Tanggal berapa sekarang?”

             “Tanggal dua puluh tiga. Kenapa?”

              “Tanggal dua puluh tiga?”

             “Ya. Tanggal dua puluh tiga Desember.”

             “Pukul berapa suster bilang tadi?”

              “Sekarang pukul setengah sembilan lewat lima menit.”

             “ Suster mau tolong saya?”

             “Oh, dengan segala senang hati ….!”

             “Nyalakanlah televisi itu. Saya ingin menonton acara malam ini. Agak digeser

kemari arahnya kalau bisa.”

            “Tunggu ya….!” kata perawat itu. Lalu dia menggeser arah televisi di pojok atas itu dan langsung menyetelnya.

            “Ada apa sih?” tanya perawat itu heran.

            “Saya mau menonton Dion. Dion mau menyanyi malam ini….!” kata Inge sambil tersenyum polos seperti bayi.

             “Siapa Inge bilang? Dion ?” tanya perawat itu.

             “Iya. Dion pacar saya. Dia akan menyanyi sebuah lagu khusus untuk saya

seorang, katanya. Tapi sayang …!” Inge terdiam. Ia sedih  begitu memikirkan kepergian kekasihnya itu.

              “Sayang sekali ya…. Dion sudah pergi….!” kata perawat itu dengan sedih.

Ia juga tahu soal kecelakaan itu dari koran Pos Kota.

               “Iya. Dion sekarang sudah pergi. Jauh sekali. Tapi ….” Inge tiba-tiba merasa

aneh. “Tapi, dari mana kamu tahu bahwa Dion sudah pergi….?”

                “Saya baca beritanya di koran tadi pagi….!” jawab perawat itu hati-hati.

Tiba-tiba perawat itu menyadari sesuatu. Inge tentu saja tak mendengar kabar itu akibat pingsannya yang lama. Perawat itu diam-diam menyesal dalam hatinya. Tadi Sania sudah mengatakan, agar kalau Inge sadar dia jangan menceritakan soal itu.

               “Jadi di koran juga ada, bahwa Dion pergi ke Paris?”

               “Ya, ya. Semua orang juga tahu. Dion itu hebat sekali!” sahut perawat itu

sambil terus tersenyum.

Air mata perawat itu menetes juga. Dia ikut terharu melihat kenyataan yang harus dihadapi perempuan muda itu. Lalu muncullah di layar wajah Dion yang pucat terkena sorotan lampu studio. Ia membawa biolanya dan duduk di depan piano. Inge girang sekali.

          “Itu Dion! Dion cakep sekali! Lihat! Dion mau menyanyi untuk saya!” teriak Inge.

 Perawat itu tersenyum aneh melihat Inge. Inge betul-betul tampak kekanak-kanakan saat itu. Polos dan sangat murni seperti bayi. Tak seperti kelakuannya sehari-hari. Padahal kalau teve itu disetel dari mula, dia akan segera tahu tentang apa yang telah terjadi, karena penyiar teve itu juga menyatakan  bahwa acara itu ditayangkan malam itu sekaligus sebagai penghormatan terakhir kepada komponis muda yang sangat berbakat itu.

            “Para pemirsa di rumah. Malam ini saya hanya akan menyanyikan sebuah lagu. Lagu yang khusus saya ciptakan, untuk orang yang paling saya cintai. Inge. Judulnya Sekuntum Duri, sebuah lagu yang paling baru dan mungkin paling akhir saya tulis tahun ini.” kata Dion.

Inge menangis karena gembira. Lalu dia terdiam, mendengarkan gesekan biola, sentuhan piano, dan suara Dion.

             “Dion ….!” bisik Inge pelan-pelan.

Inge menatap wajah Dion di televisi itu. Perawat itu pun ikut terhanyut. Inge betul-betul kaget ketika dilihatnya makin lama bayangan Dion itu semakin nyata. Kini Dion seolah sudah benar-benar berdiri di samping tempat tidurnya. Dion tersenyum kepadanya dengan mesra. Ia mengulurkan tangannya kepada Inge. Inge pelan-pelan bangkit dari tidurnya. Dia merasa bebas. Infus di lengannya itu dilepaskannya. Dan dia bahagia sekali memeluk Dion. Mereka ketawa-ketawa berdua. Tanpa suara.

Lalu mereka bermain ayunan yang memang sudah ada di halaman dalam rumah sakit di situ. Dion memetik setangkai bunga mawar warna merah hati. Mereka begitu gembira. Tapi mereka tak berkata-kata. Kelopak bunga mawar itu kemudian dilepaskannya satu demi satu oleh Dion. Hingga tinggal daun dan tangkainya saja yang penuh duri.

Lalu mereka berkejaran ke luar rumah sakit, dalam kegelapan dan keremangan malam. Mereka terus berlari. Dan berlari dengan bahagia. Sementara lagu ciptaan Dion yang terakhir itu terus terdengar dari seluruh pesawat teve di mana-mana. Di rumah sakit, di rumah Inge, di rumah Sania, di rumah tetangga Tira, dan di segala tempat.

Sementara seluruh penonton teve malam itu wajahnya begitu penuh duka. Hingga Dion dan Inge yang kebetulan melewati para penonton itu, tertawa terpingkal-pingkal. Tanpa suara. Juga ketika mereka melewati rumah Inge. Mereka tertawa puas sekali. Sementara di dalam mulut Inge, tergigit tangkai bunga mawar yang hanya tinggal duri dan daun itu.

Mereka terus berlari dan berlari, menempuh malam, menempuh awan, dalam perjalanan yang panjang ke masa depan. Entah sampai kapan. Tak seorang pun tahu. Tak seorang pun tahu. Sedang nyanyian Dion itu terus saja berkumandang. Mengisi malam. Mengisi keheningan.

Sekuntum duri hidup abadi / di dalam hati dua sejoli

Ada jembatan di langit tinggi / bagai pelangi di dalam mimpi

Sekuntum duri hidup abadi / di dalam hati dua sejoli / Ada harapan dalam ancaman / bagaikan tuba dalam asmara

Sekuntum duri adalah dengki / Sekuntum duri adalah belati / Padahal cinta adalah pengertian / untuk saling memiliki / Padahal cinta adalah persetujuan / untuk saling memberkahi

Sekuntum duri hidup abadi / di dalam hati dua sejoli / Engkau tengelam di bawah jembatan / impian pelangi di langit tinggi

Sekuntum duri hidup abadi / di dalam hati dua sejoli / Aku terkapar di masa depan / di dalam bara, dalam asmara, dalam bencana

Perawat itu segera memanggil dokter jaga, begitu alat pengukur jantung itu tiba-tiba tampak tak bergerak lagi. Sementara tubuh gadis yang terbaring di atas ranjang itu begitu dingin, dengan mata terkatup dan senyum tersamar. Dan di luar, hujan pun turun, menjelang Natal.

                                                                  ***

Sebagai informasi, novel ini muncul di tengah maraknya novel-novel populer yang beredar di masa itu. Periode antara awal 1970-an hingga 1980-an memang ditandai dua hal. Pertama, banyaknya karya terjemahan. Misal, karya Pearl S. Buck, John Steinback, Anne Frank, Morris West, Leon Uris, serta Agatha Christie. Kedua, maraknya novel pop Indonesia. Misal, karya-karya Marga T seperti Karmila (1973), Badai Pasti Berlalu (1974),  dan Gema Sebuah Hati (1976) . Lalu muncul Ashadi Siregar dengan karya-karya seperti Cintaku di Kampus Biru (1974), Kugapai Cintamu (1974), Terminal Cinta Terakhir (1975), Sirkuit Kemelut (1876), dan Frustasi puncak Gunung (1977). Nah, selain mereka, muncul nama-anama seperti Eddy D. Iskandar, Masheri Mansyur, Remy Sylado, Teguh Esha, Yudhistira Ardi Noegraha, Noorca M. Massardi, dan masih banyak lainnya. Periode keemasan novel-novel populer itu sebenarnya menarik juga untuk ditulis tersendiri.

  • Atmojo adalah penulis yang meminati bidang filsafat, hukum, dan seni.

###

Ikuti tulisan menarik atmojo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler