x

Ilustrasi pembatasan kebebasan berpendapat yang turut jadi faktor pemnghambat laju ekonomi Indonesia. Sumber foto: Vice/Hennessy via https://www.matamatapolitik.com\xd

Iklan

Moh. Fadhil Fadhil

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 14 Juni 2020

Rabu, 10 Agustus 2022 16:16 WIB

RKUHP dan Ketegangan Pada Hak Kebebasan Berekspresi dan Berpendapat

Genderang pengesahan RKUHP segera berbunyi. Berbagai reaksi mengemuka tatkala aroma pengesahan kian mendekat. Fragmentasi pun mulai bermunculan, dan tentu saja menimbulkan arus diskursif yang menggelora. Dari berbagai reaksi kritik yang tampak di permukaan, salah satunya mengenai masa depan hak kebebasan berekspresi di Indonesia.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Biasanya Pasal RKUHP dan Masa Depan Demokrasi

Genderang pengesahan RKUHP segera berbunyi. Berbagai reaksi mengemuka tatkala aroma pengesahan kian mendekat. Fragmentasi pun mulai bermunculan, dan tentu saja menimbulkan arus diskursif yang menggelora. Dari berbagai reaksi kritik yang tampak di permukaan, salah satunya mengenai masa depan hak kebebasan berekspresi di Indonesia.
 
Ada apa dengan masa depan kebebasan berekspresi? Apa hubungannya dengan RKUHP? Tentu masyarakat awam akan bertanya-tanya demikian. Bukankah justru menjadi suatu kebanggan melihat bangsa kita akhirnya memiliki RKUHP buatan bangsa kita sendiri dan bahkan sesuai dengan konteks sosio-kultural masyarakat Indonesia. Disinilah saya ingin menggambarkan awal yang begitu rumit untuk menyambung titik taut antara keduanya.
 
Hak Kebebasan Berekspresi dan Pembatasannya
Justifikasi normatif hak kebebasan berkespresi dan berpendapat terdapat dalam Pasal 19 Deklarasi HAM PBB (UDHR). Meskipun demikian, Pasal 29 ayat (2) Deklarasi HAM PBB memberi batasan bahwa hak kebebasan berekspresi dan berpendapat dapat dibatasi oleh negara melalui undang-undang (derogable rights). Pembatasan tersebut menjadikan hak kebebasan berekspresi dan berpendapat sebagai hak yang dapat dibatasi oleh negara demi tujuan kolektif secara adil yakni demi menjaga kesusilaan, ketertiban umum, dan kesejahteraan umum.
 
Indonesia mengadopsi norma hak kebebasan berekspresi dan berpendapat di atas ke dalam konstitusi, mengingat norma tersebut sangat fundamental dalam pemajuan negara demokrasi pancasila. Bahkan UUD 1945 sebelum amandemen sudah mengatur hak kebebasan ini (Pasal 18), menandakan Indonesia sejak awal sudah memposisikan hak kebebasan berekspresi dan berpendapat sebagai hak fundamental sebelum Dewan PBB mengaturnya ke dalam Deklarasi HAM PBB.
 
Sementara itu, UUD NRI 1945 (pasca amandemen) mempertahankan dan mengembangkan norma hak kebebasan berekspresi dan berpendapat. Secara eksplisit, norma tersebut tertuang dalam Pasal 28E ayat (3) UUD NRI 1945. Selain itu, Pasal 28F UUD NRI 1945 juga memberi hak untuk menyampaikan informasi dari berbagai saluran yang tersedia. Meskipun demikian, hak kebebasan berekspresi dan berpendapat juga dapat dibatasi oleh negara (derogable rights) sebagaimana tertuang dalam Pasal 28J ayat (2) UUD NRI 1945. Pembatasan tersebut bukan berarti mereduksi proses demokratisasi, melainkan demi kepentingan yang lebih luas dan juga fundamental.
 
Berdasarkan Pasal 19 ayat (3) Kovenan Hak Sipol, pembatasan terhadap hak kebebasan berekspresi dan berpendapat dapat dilakukan dalam 2 dimensi, yakni dimensi individu dan dimensi kolektif. Pada dimensi individu, pembatasan dilakukan semata-mata untuk menjaga reputasi atau nama baik seseorang yang dilanggar atas kebebasan ini. Dimensi kolektif memuat empat hal utama yang terkait, yakni menjaga keamanan nasional, menjaga ketertiban umum, menjaga kesehatan masyarakat, dan menjaga moral publik. Pada konteks inilah justifikasi dan rasionalisasi kebijakan negara dapat membatasi hak kebebasan berekspresi dan berpendapat.
 
Berdasarkan Prinsip-Prinsip Siracusa, pembatasan atas dasar menjaga reputasi seseorang tidak dapat dijadikan alasan bahkan justifikasi rasional bagi negara untuk melindungi institusi negara dan pejabat pemerintah dari beragam opini dan kritik masyarakat. Apapun bentuk opini dan kritik masyarakat, sudah menjadi konsekuensi secara hukum dan moral bahwa negara dan pejabat pemerintah harus berhadapan dengan realitas demokratis yang terbuka.
 
Sementara itu, pembatasan atas dasar ketertiban umum berdasarkan Prinsip-Prinsip Siracusa, menempatkan posisi masyarakat sebagai pusat gravitasinya, bukan dalam konstruksi dan tafsir pemerintah semata. Dalam pandangan Nowak dan Vospernik, membatasi atas dasar ketertiban umum harus diukur dari suatu nilai dan tujuan bersama secara inklusif dan tentu saja menyeluruh. Pada konteks inilah sulit rasanya menempatkan pembatasan hak kebebasan berekspresi dan berpendapat diatur dalam norma-norma hukum pidana karena sifatnya yang punitif dan menjerat masyarakat.
 
Prinsip lain yang perlu diperhatikan adalah Prinsip-Prinsip Johannesburg yang pada Prinsip 5 menyatakan negara harus melindungi kebebasan masyarakat dalam mengeluarkan opini ataupun keyakinan yang mendasarinya. Dalam aspek keamanan nasional, Prinsip 6 menyatakan pembatasan dapat dilakukan ketika ekspresi yang diungkapkan merupakan hasutan yang memicu lahirnya kekerasan atau yang mengakibatkan terjadinya kekerasan.
 
Adapun mengenai ekspresi yang mengandung kritik merujuk pada Prinsip 7 bahwa ekspresi menuntut perubahan kepada pemerintah secara damai, melakukan kritik terhadap pemerintahan maupun kebijakan, dan bahkan jika kritik itu memuat penghinaan terhadap institusi kelembagaan negara maupun kebijakan yang dikeluarkan, hal ini tidak dapat dijustifikasi sebagai alasan bagi negara untuk membatasi hal tersebut dan tidak dapat dikategorikan sebagai alasan yang mengganggu keamanan nasional.
 
Jika merujuk pada prinsip-prinsip di atas, maka sudah seharusnya pasal-pasal yang dianggap membatasi hak kebebasan berekspresi dan berpendapat dicabut atau setidak-tidaknya hanya terbatas pada perbuatan yang mengandung hasutan untuk melakukan kekerasan atau mengakibatkan terjadinya kekerasan.
 
Ketegangan Hak Kebebasan Berekspresi dan Berpendapat
Beberapa pasal yang dianggap membatasi hak kebebasan berekspresi dan berpendapat antara lain Penyerangan Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden, Contempt of Court, Penodaan Agama, Penyelenggaraan Pawai, Unjuk Rasa, dan Demonstrasi, Penghinaan Terhadap Pemerintah, Kekuasaan Umum dan Lembaga, serta Penghinaan.
 
Pertama, Pasal Penyerangan Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden memiliki konstruksi norma yang problematik yang merujuk pada Putusan MK No. 013-022/PUU-IV/2006. Rasionalisasi yang dibangun pemerintah adalah pada proses rekonstruksi normanya sehingga terdapat frasa "penyerangan","delik aduan","pengecualian untuk kepentingan umum atau pembelaan diri". Meskipun konstruksinya relatif lembut dan implementasinya limitable, akan tetapi reaktualisasinya ibarat mengganti topeng buruk dengan topeng berwajah manis. Jika merujuk pada Prinsip-Prinsip Siracusa dan Prinsip-Prinsip Johannesburg, maka apapun justifikasi yang dibangun tetap saja irasional. Hal ini juga perlu diterapkan pada Pasal Penghinaan Terhadap Pemerintah, Kekuasaan Umum dan Lembaga. Oleh karena itu, demi kemajuan iklim demokrasi dan mengalirnya partisipasi ruang publik, maka sangat relevan jika pasal-pasal tersebut didekriminalisasikan.
 
Kedua, Pasal Contempt of Court perlu memuat indikator yang jelas mengenai apa yang dimaksud dengan "menyerang integritas hakim". Jangan sampai keberadaan pasal ini dapat menjerat aktivitas akademik dan kebebasan pers, misalnya opini atas sikap atau putusan hakim, hasil eksaminasi putusan, hasil penelitian berupa analisis konten putusan, opini para pihak yang bersengketa, dan keadaan lainnya.
 
Ketiga, keberadaan Pasal Penodaan Agama sangat kontras dengan iklim demokrasi dan pluralisme kewargaan, sehingga sangat tidak relevan untuk direkriminalisasikan. Praktik penerapan pasal ini selalu saja menimbulkan dimensi yang beragam dan kadangkala sulit menemukan tafsir yang diterima secara meluas mengenai “penodaan agama". Apa yang berbahaya adalah pelintiran kebencian (hate spin) yang selalu dimainkan oleh pemeluk agama tertentu terhadap kelompok agama yang dianggap berbahaya bagi kepentingan kelompoknya.
 
Penelitian Cherian George dan Ismail Ruslan menemukan fakta empiris bahwa Perasaan ketersinggungan selalu saja dimanipulasi oleh tokoh-tokoh elit untuk membangun rasa ketersinggungan terhadap suatu kelompok agama tertentu. Para tokoh elit ini bahkan dapat memobilisasi identitas kelompok agama pada tujuan-tujuan yang anti-demokratis. Pelintiran kebencian (hate spin) selalu menjadi pemantik awal dalam menggunakan pasal penodaan agama demi kepentingan kelompok identitas agama tertentu. Bisa dikatakan bahwa pasal penodaan agama menciptakan paradoks pada lahirnya pola-pola penguatan politik identitas dan tentu saja sangat berbahaya.
 
Keempat, Pasal Penyelenggaraan Pawai, Unjuk Rasa, dan Demonstrasi memang tidak mengatur mengenai perizinan, melainkan pemberitahuan. Namun, jika pasal ini ditujukan pada akibatnya yang menimbulkan huru hara atau keonaran, maka keberadaan pasal ini tidaklah efektif dikarenakan hanya menduplikasi pasal lain yang sudah mengaturnya. Ketimbang mengatur pasal ini yang tentu saja berdampak pada terganggunya ruang publik, pemerintah sebainya memperkuat pasal lain, yakni Pasal Kekerasan di Muka Umum, dan Pasal Kelompok yang Menimbulkan Kekacauan.
 
kelima, Pasal Penghinaan atau Pencemaran perlu merujuk pada Komentar Umum Nomor 34 Kovenan Hak Sipol yang menyatakan bahwa negara sebaiknya mempertimbangkan dekriminalisasi pasal ini atau jika tetap ingin mengaturnya, maka dilakukan secara hati-hati dan terbatas serta tidak memasukkan pidana penjara sebagai ancaman pidananya.
 
Moh. Fadhil, akademisi IAIN Pontianak
 

Ikuti tulisan menarik Moh. Fadhil Fadhil lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler