x

painting by Cheryl Gaines

Iklan

Em Fardhan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 9 November 2021

Kamis, 11 Agustus 2022 08:41 WIB

Hari yang Cerah Hati yang Gundah

Sebenarnya, di benak Rama masih terus berkecamuk, Rama seperti tak percaya apa yang dilihatnya sekarang. Bagaimana mungkin wanita yang dulu begitu cantiknya sekarang menjadi begini rupa keadaanya? Kurus kering dengan rambut yang begitu berantakan. Ada apa sebenarnya?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Mentari pagi bersinar dengan begitu cerahnya, seakan ikut merayakan hati Rama yang tengah bahagia. Sejak subuh tadi Rama sudah bangun, kemudian mengaji sampai fajar menyingsing. 

 

Dibukanya jendela kayu jati itu dengan perasaan yang tetap membuncah, seketika sinar mentari pagi yang hangat menerobos wajahnya dengan lembut. Seakan cahaya itu saling berebut untuk menyapanya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Rama menikmati suasana itu sejenak sembari menutup mata. Cuping hidungnya terlihat bergerak-gerak pertanda tengah menghirup sesuatu.

 

"Ah, begitu cerah dan segarnya pagi ini." Rama menggeliat perlahan.

 

Kemudian tatapannya beralih kepada tumpukan kertas berwarna merah muda di meja kerjanya. Senyumnya terlihat merekah. Ia hampiri tumpukan kertas itu kemudian mengelus-elusnya penuh penghayatan seakan-akan kertas itu adalah makhluk hidup yang butuh belaian.

 

"Akhirnya, Gusti Allah mendengarkan doaku juga. Aku semakin yakin, sesuatu yang hilang akan diganti-Nya dengan lebih baik lagi. Puji syukur kehadirat-Mu Ya Rahman Ya Rahim," ucap Rama lirih sembari mencium tumpukan kertas itu.

 

Tumpukan kertas merah muda bercorak bunga-bunga itu bukanlah kertas biasa, tetapi kertas undangan pernikahan Rama dengan kekasihnya, Aisyah. Rencananya hari ini undangan itu akan disebar ke teman-teman dan kerabatnya.

 

Ketika Rama tengah asyik mengelus-elus kertas undangan itu tiba-tiba ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk. Begitu melihat nama sang pengirim, senyumnya bertambah merekah.

 

[Mas Rama, jangan lupa sarapan ya sebelum pergi. Hati-hati nanti di jalan, ya. Sampai jumpa di akad nanti ya, Mas]. Pesan dari Aisyah.

 

Rama segera membalas, [Adik juga, ya. Semoga semuanya dilancarkan Allah. Aamiin.]

 

Rama meletakkan ponselnya. Ia kembali fokus menulis nama-nama tamu yang akan di undangnya nanti. Hari ini harus selesai, masih banyak hal yang perlu dipersiapkan setelahnya.

 

Ketika Rama tengah asyik menulis nama-nama yang akan di undangnya, tiba-tiba terdengar sebuah suara ketukan di pintu depan. Mau tak mau ia segera bangkit, barangkali itu adalah Yoga, kawannya yang hari ini ia minta untuk menemaninya menyebarkan undangan. Tetapi aneh, kenapa tidak masuk seperti biasanya saja? Yoga adalah kawan karib Rama. Masuk tanpa permisi itu sudah biasa bagi Yoga, dan Rama pun tak keberatan olehnya. Tetapi kenapa pagi benar, bukankah nanti siang usai Zuhur Yoga datangnya?

 

Tak ingin terlarut lebih dalam, ia segera melangkahkan kakinya menuju pintu depan. Dibukanya pintu itu dengan perlahan.

 

"Tumben, Ga, pake ketuk pintu sega-" Suara Rama terhenti di tenggorokan begitu melihat siapa yang datang.

 

"Sinta!" Rama terpekik.

 

"Mas Rama, maafkan aku!" Tak diduga wanita yang di panggil Sinta itu menghambur ke arah Rama, kemudian bersimpuh sambil merangkul erat kedua kaki Rama. Kemudian menangis hebat.

 

Rama yang tak mengira akan terjadi seperti itu spontan saja beringsut mundur. Kaget bercampur bingung.

 

"Tunggu, tunggu, ada apa ini, Sin? Apa yang terjadi?" ucap Rama sembari terus berusaha melepaskan kakinya.

 

"Sudah-sudah, kita masuk ke dalam, tak enak jika di lihat orang." Hati Rama menangkap ada sesuatu yang tidak beres dengan wanita bernama Sinta itu.

 

Awalnya wanita itu bergeming saja saat Rama menyuruhnya masuk, kemudian setelah dibujuk terus akhirnya wanita itu mau juga.

 

Setelah tangis wanita itu mulai mereda, juga hati Rama yang kaget dan bercampur aduk atas kedatangan Sinta mulai bisa ia kuasai, Rama mencoba membuka suara.

 

"Ada apa sebenarnya, Sin? Kenapa kamu menjadi seperti ini?"

 

Sinta hanya diam saja, kepalanya menunduk, telapak tangan nya sesekali menyeka air matanya yang belum juga berhenti menetes.

 

"Sinta ... kenapa diam?" Rama bertanya lagi, kali ini lebih keras, tetapi wanita itu masih diam saja. 

 

Sebenarnya, di benak Rama masih terus berkecamuk, Rama seperti tak percaya apa yang dilihatnya sekarang. Bagaimana mungkin wanita yang dulu begitu cantiknya sekarang menjadi begini rupa keadaanya? Kurus kering dengan rambut yang begitu berantakan. Ada apa sebenarnya?

 

"Sin, masih nggak mau ngomong?" Rama mencoba bertanya lagi.

 

"Maafkan aku, Mas!" hanya itu yang diucapkan Sinta. Kemudian tangisnya pecah lagi.

 

"Sudahlah, Sin, sudah. Aku sudah memaafkanmu sejak lama, tak perlu di ungkit-ungkit lagi. Tak perlu kau merasa bersalah padaku. Yang lalu biarlah berlalu.

 

Sinta seperti tak menghiraukan perkataan Rama. Tangisnya malah semakin semakin menjadi-jadi.

 

Rama mengerti. Ia tak mendesak dengan pertanyaannya lagi. Ia memberi waktu agar Sinta tenang dulu. Wanita biasanya seperti itu. Nanti, setelah hatinya tenang akan bercerita sendiri tanpa diminta.

 

"Saya tinggal ke dapur sebentar, ya, Sin. Kamu tunggu di sini dulu." Rama bergegas ke belakang, masih dengan pikiran yang mengawang.

 

Sinta dulu adalah kekasih Rama. Mereka menjalin hubungan cukup lama sampai kemudian hubungan mereka harus kandas di tengah jalan sebab ternyata menjelang pernikahan mereka, Sinta menghianatinya, kemudian tak berselang lama, Sinta menikah dengan lelaki pilihannya.

 

Kala itu alasan yang diberikan Sinta ketika memutuskan hubungan dengan Rama adalah karena orang tua Sinta telah menjodohkan dengan lelaki lain. Katanya, orang tua Sinta menginginkan seseorang yang telah mapan. Sedangkan Rama saat itu hanyalah pemuda yang belum jelas karirnya. Awalnya Rama percaya saja alasan itu, tetapi tanpa sepengetahuan Sinta, diam-diam Rama mencari tahu sendiri apakah benar alasan itu sehingga Sinta tega memutuskan hubungan mereka secara mendadak. Kalau orang tuanya tak merestuinya, kenapa tidak dari dulu-dulu?

 

Dugaan Rama ternyata benar. Sinta berkata akan dijodohkan oleh orang tuanya hanyalah mengada-ada, hanya sekadar alasan agar bisa berpisah dengannya. Rama tahu, orang tua Sinta sendiri sebenarnya menerima Rama apa adanya. Setelah didesak akhirnya Sinta mengaku bahwa ia ingin mencari lelaki yang sudah mapan, tidak seperti Rama.

 

Butuh waktu cukup lama bagi Rama untuk bisa melupakan Sinta setelah diputuskan Sinta secara sepihak. Ia sempat frustasi, bahkan nyaris bunuh diri. Sampai kemudian ia dipertemukan dengan wanita yang salihah bernama Aisyah. Hati Rama yang telah hancur lebur perlahan membaik dan akhirnya bisa menerima kenyataan. Kemudian hati yang telah mati mulai hidup kembali. Memang betul kata orang bijak, bahwa obat patah hati itu hanya satu, yaitu jatuh cinta lagi.

 

Setelah Sinta menikah. Rama tak tak mau lagi mendengar atau melihat apapun yang berhubungan dengan Sinta. Bukan dendam. Ia hanya tak ingin teringat lagi sehingga kembali terluka. Setelah mengenal Aisyah, kini ia seperti hidup kembali setelah sekian lama mati tak bernyawa.

 

Dan hari ini kedatangan Sinta tentu begitu mengejutkan Rama. Bagaimana tidak, setelah tiga tahun tak berjumpa, Sinta mendadak hadir kembali menemuinya. Tanpa ada berita atau tanda -tanda sebelumnya.

 

"Minum dulu, Sin. Biar makin tenang, mumpung masih hangat." Rama menyodorkan segelas susu hangat di meja. Ia berusaha berkata setenang mungkin. 

 

"Mas, a-aku ingin kita kembali se-seperti dulu lagi," ucap Sinta terbata-bata. Suara itu tersendat-sendat dan begitu berat, pertanda Sinta berjuang keras untuk mengatakannya.

 

"Apa!" Spontan Rama berteriak.

 

"Aku sudah bercerai, Mas. Suamiku ternyata main hati dengan perempuan lain. Sudah setahun yang lalu. Setahun ini aku mengumpulkan nyali untuk bisa bertemu denganmu. Jujur aku begitu malu sebenarnya, tetapi semakin aku ingin melupakanmu, Mas?"

 

Kali ini gantian Rama yang diam, tak bisa berkata apa-apa. Dalam sisi jahatnya Rama seolah bersorak atas itu. Bukankah penghianatan itu pantas di dapatkan oleh seorang penghianat juga?

 

Ratih mengeluarkan sesuatu dari balik bajunya, "Mas masih ingat ini?”

 

Tanpa sadar mata Rama menghangat.

 

"Aku masih ingat betul saat kamu memberikan liontin setengah hati ini, Mas. Aku juga masih ingat apa artinya. Kau mengatakan bahwa setengah hati itu melambangkan bahwa ada satu hati yang lain yang menyempurnakannya, dan itu kamu, bukan?"

 

"Benar, tetapi sebelum pemilik liontin itu mengkhianati!" Rama bersuara juga. 

 

"Tetapi aku masih menyimpan liontin ini baik-baik, bukankah itu adalah pertanda aku sebenarnya sangat mencintaimu, hanya saja ...."

 

"Hanya saja kau lebih memilih harta, bukan? Cukup Sinta, cukup! Hubungan kita sudah berakhir!" Tanpa sadar emosi Rama terpantik.

 

"Maafkan aku, Mas. Beri aku satu kesempatan lagi." Sinta menghambur dan hendak bersimpuh kembali seperti tadi, tetapi Rama buru-buru menahannya.

 

Rama meraih kertas merah muda, lalu menyodorkannya ke Sinta, "Aku akan menikah, Sin. Aku harap kau mengerti."

 

Sintai meraih kertas itu, melihatnya sebentar, kemudian berkata.

 

"Aku mau jika harus menjadi yang kedua, Mas. Aku rela, Mas. Tolong aku," ujar Sinta sembari mencoba menghambur kembali ke arah Rama. Ia seperti tak peduli lagi apapun alasan Rama.

 

"Cukup, Sinta, cukup! Aku tak mau merusak semuanya. Aku mencintai calon istriku. Dan kamu sudah menjadi masa laluku. Apa kau belum puas merusak hidupku?" Spontan emosi Rama meledak. Emosi yang sudah ditahan-tahan sedari tadi seketika jebol. Kenangan-kenangan pahit yang telah lama ia kubur seperti menyeruak kembali ke permukaan.

 

"Mas ...."

 

"Cukup, Sinta, cukup! Kita masih bisa berteman, bukan?"

 

"Tega, kamu, Mas! Tega!" ucap Sinta sembari berlari ke keluar. 

 

Sebelum sosoknya benar-benar lenyap di balik pintu, ia berucap, "Mas, aku tidak bisa hidup tanpamu. Itu artinya tidak ada alasan lagi aku hidup di dunia ini. Selamat tinggal, Mas!"

 

Sinta berlari kencang sekuat tenaga. Kemudian hilang entah kemana.

 

"Apa maksudmu berkata begitu, Sin. Tunggu! Hei, kamu nggak bisa egois seperti ini. Sinta! Tunggu! Apa maksudmu?" Rama mengejar Sinta ke depan, tetapi Sinta terus berlari dan kemudian lenyap.

 

"Oh, Tuhan. Apa yang harus aku lakukan," desah rama lirih sembari menutup kedua wajahnya dengan telapak tangannya.

 

Rama hanya bisa diam tak bisa berkata apa-apa. Ia tak tahu harus berbuat apa. Benar, dulu Sinta adalah pelangi hidupnya. Cintanya begitu besar sampai-sampai menyentuh telak relung terdalam jiwanya. Ia dulu sangat bangga ketika banyak orang yang bilang bahwa mereka cocok, tak hanya cocok wajahnya tetapi namanya juga. Rama dan Sinta adalah pasangan kekasih yang melegenda hingga sekarang. Namun, ternyata kenyataan tak seindah itu. Cinta mereka harus kandas dengan meninggalkan bekas yang begitu memelas.

 

"Kenapa kau baru datang sekarang, Sin. Maafkan aku. Sekarang semuanya sudah terlambat." Rama menerawang jauh ke depan, seakan ia masih melihat sosok Sinta.

 

***

 

Pagi hari memang masih begitu cerah, tak ada yang berubah, yang berubah hanya ada hati yang mendadak menjadi begitu gundah.[]

 

TAMAT.

 

Surakarta, 28 September 2021

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Em Fardhan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu