x

Iklan

Samroyani

Penulis Serabutan
Bergabung Sejak: 28 Juli 2022

Jumat, 19 Agustus 2022 14:42 WIB

Anarkisme Dalam Nalar Perusuh (Bagian 4)

Di bagian terakhir ini saya akan membagikan kisah-kisah menarik dari tiga orang kawan yang kehidupan mereka banyak terkait Anarkisme; MD, LH, dan ISDF. Nama mereka diakronimkan atas dasar perjanjian agar tidak membocorkan identitas, demi keamanaan. Ini adalah 3 dari sekian banyak kisah yang saya kumpulkan - cerita mereka (menurut saya) paling menarik. Serangkaian tulisan ini akan ditutup dengan kisah-kisah dari mereka yang memang hidupnya bersinggungan atau bahkan mengamini Anarkisme. Bagaimana sebenarnya Anarkisme Dalam Nalar Perusuh?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Anarkisme Dalam Nalar Perusuh (Bagian 4)

 

1. Kisah dari MD

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

MD, adalah sebuah kasus khusus yang tentu harus ditangani secara khusus pula. Wawancara berlangsung sangat alot. Sebagai narasumber dia sangat berhati-hati dengan orang-orang yang mencoba mendekatinya. Hal ini bukan karena tanpa alasan, MD mengaku selama hidupnya, semenjak tahun 2017 aktif menjadi Anarko sudah 3 kali ditangkap polisi dan berkali-kali bermasalah dengan ormas. Kewaspadaan dia terhadap saya juga didasari kekhawatiran bahwa saya akan membawa dampak buruk baginya (takut dibocorkan informasi pribadinya), namun setelah proses negosiasi yang panjang, akhirnya sesi-sesi wawancara bisa terelisasi meski harus melalui banyak hambatan.

 

Proses wawancara terjadi di jeda masa akhir-akhir tahun 2019 hingga pertengahan tahun 2020. Perkenalan MD dengan saya juga sebenarnya cukup dramatis, sebab bertemu di kerusuhan depan Gedung Sate, September 2019 silam ketika aksi demonstrasi besar-besaran memprotes RUU KUHP dan isu-isu lainnya yang saat itu marak terjadi di hampir seluruh kota di Indonesia. Sore itu saya yang datang cukup terlambat di aksi mendapati keadaan sudah rusuh di sekitaran Gasibu. Melihat sudah banyak korban pingsan, luka, dan sebagainya. Di salah satu korban tersebut, ketika hendak membantu, saya mendapati seorang mahasiswa yang kepalanya terluka. Entah karena lemparan batu atau yang lainnya, mahasiswa itulah yang kemudian saya kenal sebagai MD

 

MD adalah mahasiswa tingkat akhir di salah satu kampus swasta di Bandung. Status kemahasiswaannya memang sedang cuti saat awal-awal saya tawari untuk menjadi narasumber dalam sayaan ini. Dia tergolong aktif di kampusnya, bahkan sempat menjadi ketua BEM di tingkat jurusannya sendiri. MD ini adalah salah satu orang yang cukup berani mendeklarasikan dirinya sebagai Anarko, dia mengaku demikian semenjak menurutnya politik kampus dan politik praktis di negara ini hanya menghasilkan omong kosong. Setelah masa jabatannya menjadi ketua BEM, MD justru lebih aktif di kelompok kecilnya yang menganut Anarkisme di luar kampus. 

 

Di awal tahun 2017, usai jabatannya sebagai ketua BEM berakhir entah karena kurang kegiatan dia mengaku mulai pertama kali mengenal Anarkisme dari salah satu buku yang dia baca di sebuah lapak perpustakaan jalanan di taman dekat dengan kampusnya. Karena tertarik, sedikit demi sedikit MD mulai mecari referensi lain, baik itu video, film, dan sampai ke sosial media. Tidak sampai disitu, dia juga menghadiri kelas-kelas kajian anarkisme dan akhirnya mulai berkenalan dengan banyak orang yang juga memiliki minat yang sama. 

 

Hal yang mengejutkan kemudian saya temukan ketika MD bahkan menunjukan di lengan kirinya kini terdapat sebuah tato permanen bertuliskan huruf “A” khas logo anarko yang berukuran cukup besar. Diameter tato itu sekitar 10 cm dengan tinta berwarna hitam. Tato itu dia pasang sekitar akhir tahun 2018, cukup tersembunyi karena bisa terhalang oleh kaos berlengan pendek. Hal-hal yang bermula dari hanya mengikuti kajian berlangsung ke tahap-tahap selanjutnya semisal dia mulai rutin seminggu sekali “Geriliya”, itulah sebutan dia dan teman-temannya pakai untuk menjelaskan kegiatan vandalisme yang sering mereka lakukan di sekitaran Bandung selepas tengah malam. Dengan berbekal cat pilok seharga 30 ribuan, dia mengaku semalam bisa mencorat-coret dinding di tiga sampai empat titik. Menurut penjelasannya hal ini dilakukan untuk terus menunjukan perlawanan. “…Pesan harus terus disampaikan biar semua orang tahu kita terus melawan!” begitu tegasnya.

 

Di sesi kedua MD menjelaskan sedikit banyak kegiatannya selama masa pandemi, yang cukup mencengangkan ternyata MD sempat ditahan polisi sebab pada saat malam pergantian tahun 2019-2020 dia dan teman-temannya yang saat itu sedang asyik mencorat-coret dinding di sekitaran daerah Sukajadi ditangkap oleh patroli polisi. Setelah digelandang ke kantor dan digeledah polisi menemukan tato Anarko di lengan kirinya dan menurut pengakuan MD hal itu membuatnya ditahan selama hampir dua minggu sebelum akhirnya orang tuanya berhasil menebus dan memberi jaminan. Semenjak saat itu MD dan statusnya sebagai anarko diketahui oleh orang tuanya. Dia yang berdomisili Bandung akhirnya sebab konflik dengan orang tuanya pindah dan tinggal dengan temannya di Sumedang sembari bekerja di percetakan. Menariknya, hal itu tidak menghentikan dia dari jalannya sebagai Anarko.

 

2. Kisah dari LH

Saya juga menerima kisah dari seseorang yang juga partisipan anarko namanya LH. Dia adalah salah satu narasumber yang saya temukan dalam ketidaksengajaan. Perkenalan kami dimulai dari sebuah kedai kopi yang kebetulan saat itu LH bekerja sampingan di sela-sela waktu kuliahnya. LH adalah mahasiswa baru, saat awal bertemu dia baru berkuliah satu semester, namun bila perihal pergerakan Anarkisme justru LH ini sudah akrab semenjak masih duduk di bangku SMA. Awalnya bermula di ‘tongkrongan’ tempat biasa dia bermain skateboard. Anarkisme yang semulanya hanya dia kenal dari symbol-simbol di sablonan kaos, stiker, dan coretan-coretan di dinding pada akhirnya mengarahkannya untuk mengenal lebih dalam lagi. Terkhusus dari ‘abang-abangannya’, seorang sahabat bernama SS yang usianya terpaut tiga tahun di atas LH dan sudah berkuliah juga di salah satu kampus di Bandung.

 

Obrolan-obrolan mengenai kelompok anarko yang rutin SS jejalkan ke LH saat itu sedikit demi sedikit mulai membuat dia tertarik, ditambah rekomendasi akun-akun media sosial yang berbau anarkisme juga pada akhirnya sedikit demi sedikit membuat LH semakin tertarik dengan kegiatan-kegiatan protes berbau vandalisme. Awalnya hanya sesekali LH ikut mencorat-coret dinding untuk menuliskan logo “A” khas Anarkisme yang kemudian menjadi rutin. Menurut pengakuannya dalam sebulan bisa 3 kali dia berkeliling untuk mencorat-coret tembok atau fasilitas umum.

 

Kebiasaan ini terus berlanjut hingga LH menjadi mahasiswa. Alih-alih mengikuti Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) di kampusnya, LH lebih memilih untuk aktif di luar kampus. Istilah yang LH pakai adalah kelompok kolektif, yang kegiatan utamanya adalah membuka perpustakaan jalanan yang biasanya dia dan kawan-kawannya melapak di daerah-daerah dekat kampus atau taman-taman kota. Selama serangkaian aksi demonstrasi tahun 2019 silam, LH juga mengaku aktif ikut serta berdemo bersama ribuan orang lain. Hal menarik justru dijelaskan oleh LH di sesi kedua wawancara, dimana dia menjelaskan bahwa selama serangkaian aksi demonstrasi menolak RUU KUHP itu dia dan teman-teman kelompok kolektifnya lebih banyak menghabiskan waktu di ibu kota, Jakarta.

 

Menurut LH, aksi demonstrasi di Bandung memang cukup efektif, tapi jauh lebih afdol jika datang langsung ke Jakarta. Dengan berbekal seadanya, dia dan beberapa temannya mengaku datang beberapa hari sebelum aksi besar di Senayan serempak dilakukan mahasiswa. Sembari menunggu hari H, mereka tidur di emperan toko atau terkadang tempat ibadah (masjid) jika memungkinkan. Sampai pada hari demonstrasi pun terjadi, hingga malam harinya lokasi ricuh, aksi saling lempar menurut pengakuan LH menyebabkan dia terhantam sebuah batu di bagian pelipis kirinya. Tidak terlalu parah, namun karena itu pelipisnya sedikit sobek dan berdarah. Untungnya malam itu meski dikejar-kejar aparat, LH dan teman-temannya berhasil sembunyi di sebuah warung, lebih tepatnya disembunyikan karena sang pemilik warung mungkin merasa kasihan pada mereka yang saat itu terlihat cukup panik dan ketakutan. 

 

Keesokannya, LH dan kawan-kawan meski telah mengalami kejadian menegangkan sebelumnya memilih untuk tidak pulang ke Bandung. Sekali lagi, ini karena sebaran pamphlet ajakan aksi gelombang kedua yang tersebar di Instagram salah satu akun berbau anarkisme yang LH ikuti. Sebenarnya banyak faktor yang bisa mendorong mereka untuk pulang hari itu, namun, LH sendiri mengaku bingung entah kenapa setelah melihat update dari media sosial yang menunjukan banyak tindakan represif dan kerusuhan malah justru membangkitkan kembali semangatnya untuk kembali berdemonstrasi. 

 

LH dan kawan-kawannya yang saat itu tidak berafiliasi dengan kelompok mahasiswa manapun merasa cukup kebingungan di lapangan, pada akhirnya yang bisa dia lakukan hanya mengikuti alur dinamika aksi yang meski sekali lagi harus bergesekan dengan aparat yang bertugas. “Saya sama sekali tidak membenci polisi. Tidak mau juga bentrok dengan mereka. Tapi entah karena adrenalin yang meluap-luap saya justru aktif membalas serangan-serangan…” begitu jawaban LH saat saya tanya kenapa mau terlibat dalam kerusuhan saat itu. Hingga hari kedua itupun menjadi hari terakhir mereka ikut serta aksi di Jakarta, faktor utama LH dan kawan-kawan pulang adalah bekal yang sudah mulai menipis dan keadaan fisik yang mulai melemah. Wawancara sesi kedua itu menjadi hal yang sangat menarik bagi peneleti melihat bahwa pengaruh media sosial yang mendorong seseorang dan kelompok bergerak bahkan melampaui batas kewajaran yang mereka sendiri sadari.

Setelah itu kami saya sempat kehilangan kontak dengan LH Selama hampir setahun. Ternyata banyak hal yang terjadi di kehidupan LH, yang paling besar adalah berhentinya dia berkuliah. Sempat menyangka karena dikeluarkan, tapi ternyata memang LH sendiri memutuskan untuk berhenti dan memilih untuk membuka usaha kopi sendiri di bilangan daerah Lembang. Meski saat itu Pandemi sedang gawat-gawatnya, dengan mematuhi protokol kesehatan saya mengunjungi kedai kopi milik LH tersebut. Pengaruh symbol-simbol Anarkisme terlihat jelas menjadi ornamen dekorasi tempat itu. Disana proses wawancara lebih seperti mengobrol, LH cukup terbuka menceritakan kedainya yang sering menjadi tempat sesi-sesi diskusi kelompok-kelompok kolektif. Dari kedai inilah kemudian saya bertemu dan dikenalkan dengan beberapa mahasiswa yang kemudian menjadi calon-calon narasumber untuk mendapat lebih banyak kisah. 

 

Dari LH saya mengetahui bahwa motivasi terbesar mahasiswa-mahasiswa itu ‘bermain’ di dalam Anarkisme adalah karena rata-rata mereka sudah muak dengan pergerakan internal kampus yang berbelit-belit perijinannya dan tumpul dampaknya. Pergerakan mahasiswa yang kontemporer bergerak di bawah naungan BEM menurutnya terlalu lemah, sehingga pergerakan-pergerakan underground seperti kelompok kolektif ini meskipun tidak masiv justru dianggap lebih berhasil menyampaikan kekecewaan terhadap pemerintahan.

 

LH memandang bahwa masyarakat dan pemerintah tidak bisa selalu memojokan Anarkisme dengan melihat mereka sebagai kelompok perusuh saja. Menurut hematnya, Anarkisme yang lahir sebagai paham justru bisa menjadi kontrol untuk pemerintahan sebab tidak akan ada anarkisme jika penguasa tidak menindas rakyatnya. Pandangan ini tentu wajar dilontarkan oleh mereka-mereka yang mengaku Anarko. Namun, LH juga mengingatkan agar lebih bijaksana juga memilih langkah, terutama jika ingin mendalami Anarkisme secara praktis, sebab tanpa bekal bahan bacaan dan diskusi yang sehat makan bisa saja justru yang diserap hanyalah poin-poin negatifnya saja.

 

3. Kisah dari ISDF

Dari ISDF saya melihat sudut pandang orang yang aktif berkecimpung di medium yang biasa digunakan untuk menyebar pesan-pesan Anarkisme. Akses wawancara dengan narasumber yang satu ini terhitung yang paling mudah, hal ini karena saya dan narasumber adalah kawan satu jurusan dan satu angkatan di kampus yang sama. ISDF dipilih sebagai narasumber karena dua aspek yang menurut saya menunjang, yaitu: (1) Dia adalah mahasiswa yang tergolong sangat aktif di media sosial, terutama Instagram, dan juga akun pribadinyanya ternyata sering memuat konten yang bersinggungan langsung dengan Anarkisme. (2) Dia adalah praktisi musik Punk, yang telah dibahas di bab-bab sebelumnya sangat kental keterkaitannya dengan penyebaran anarkisme di Indonesia – ISDF aktif bermusik Punk sejak usia belia, bahkan pernah beberapa kali membentuk grup band punk, dan yang pertama kali dia bentuk itu di tahun 2008 saat masih duduk di bangku SMP.

 

Dari dua aspek itu, tidak ada alasan bagi saya untuk mengesampingkan ISDF sebagai salah satu subjek. Dari wawancara, saya jelas melihat bahwa ISDF cukup dalam membaca tentang Anarkisme. Nama-nama seperti Prudhon, Kropotkin, hingga Bakunin tidak terlalu asing baginya. ISDF juga memahami bahwa sebagai sebuah paham, anarkisme muncul tidak sebatas simbol-simbol, tapi juga sebagai tindakan-tindakan dan utamanya menerangkan pemahaman. Menurut pengakuannya, semenjak berkuliah, cukup banyak bacaan yang dia pelajari yang langsung atau tidak langsung berkaitan dengan anarkisme. 

 

Kedekatan ISDF dengan anarkisme memang banyak dipupuk dari musik yang dia gemari dan tentu media sosial. Namun, secara praktik dia tidak telalu mengikuti ‘ritual-ritual’ yang dilakukan oleh Anarko semisal berpakaian serba hitam, melakukan vandal, dan ikut serta bertindak kontra produktif di aksi demonstrasi. Jadi di sesi pertama wawancara ketika arah pertanyaan spesifik menanya apakah ISDF menganut Anarkisme, dengan lugas dia menjawab bahwa tidak demikian. Namun, ide-ide dalam anarkisme seperti menolak penindasan yang dilakukan oleh penguasa terhadap rakyat tentu dia dukung sepenuhnya – hal seperti korupsi dan sebagainya.

 

ISDF selanjutnya menjelaskan bahwa memang Anarkisme ini berkembang di bawah radar. Jarang diketahui masyarakat dan terkesan eksklusif. Mungkin karena paham mereka ini memang sering dianggap berbahaya. Sehingga wajar jika tidak terang-terangan dan seakan ditutup-tutupi.

 

ISDF juga menjelaskan pandangan personalnya terhadap Anarkisme itu sendiri. Baginya jika poin-poin menolak kekuasaan yang dibawa Anarkisme ini berfokus pada melawan tindakan-tindakan negatif yang dilakukan pemerintahan maka sepenuhnya dia mendukung. Namun, jika bicara mengenai metode-metode perlawanan yang notabene melakukan tindakan perusakan atau bahkan kerusuhan maka untuk ISDF pribadi dia lebih memilih jalan lain. Karena protes itu bisa juga disampaikan melalui seni dan pemikiran ilmiah yang menurutnya jauh lebih produktif dan lebih dapat diterima oleh masyarakat.



[ Selesai (?) ]

 

***

Tulisan ini disadur dari karya tulis (skripsi) saya.

 

Daftar Referensi:

Buku

Adrianus, M. (2000). Angkatan Perusush. Jakarta: Marjin Kiri.

Burton, G. (2008). Media dan Budaya Populer. Yogyakarta: Jalasutra.

Cohen, B. J. (1992). Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: Rineka Cipta.

Dolgoff, S. (2002). Bakunin on Anarchism. New York: Black Rose Books.

Goldman, E. (1963). Anarchism and Other Essays. New York: Dover Publications Inc.

Hanurawan, F. (2011). Psikologi Sosial. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Harper, C. (1987). Anarchy: A Graphic Guide. London: Camden Press.

Hutagalung, D. (2006). Pengantar Anarkisme: Perjalanan Sebuah Gerakan Perlawanan. Jakarta: Marjin Kiri.

Miller, D. (1984). Modern Ideologies: Anarchism. Oakland: J.M. Dent & Sons Ltd.

Piliang, Y. A. (2004). Dunia Yang Dilipat. Yogyakarta: Jalasutra.

Sarwono, S. W. (2010). Pengantar Psikologi Umum. Jakarta: Rajawali Pers.

Sheehan, S. M. (2003). Anarkisme: Perjalanan Sebuah Gerakan Perlawanan. Jakarta: Marjin Kiri.

Soekanto, S. (1985). Sosiologi: Ruang Lingkup dan Aplikasinya. Jakarta: Remadja Karya.

Suissa, J. (2010). Anarchism and Education: A Philosophical Perspective. London: PM Press.

Wittel, A. (2015). The Conversation. Nottingham: Nottingham Trent University.

Jurnal

Cahya, M. F. (2016). Fenomenologi Anarkisme. Jurnal Pergerakan Sosial Vol. 5.

Hardian, S. (2015). Memahami Anarkisme Sebagai Seni Perlawanan. Jurnal ITB Seri Mengkaji Anarkisme.

Rama, H. (2015). Anarki: Anti-Utopia. Jurnal Anti-Otoritsriaan Edisi 1.

Rasyidin. (2005). Anarkisme. Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3, 88.

Setyawan, E. (2015). Intro Doktrinasi Anarkisme. Jurnal Anti-Otoritsriaan Edisi 1.

Zumaro, A. (2011). Perilaku Kolektif dan Penyimpangan. Jurnal Psikologi Sosial, 133.

Skripsi

Pratiwi, F. D. (2013). Benih Anarkisme Mahasiswa dan Media Sosial. Yogyakarta: Fishum UIN Yogyakarta.

Artikel

Dhyaksa, A. (2019). Anarko - Iman Anarkisme Dalam Tubuh Provokator. Retrieved from Lokadata: https://lokadata.id/artikel/anarko-iman-anarkisme-dalam-tubuh-provokator

Marto. (2019). Menggali Akar Anarkisme di Indonesia. Retrieved from Historia: https://historia.id/politik/articles/menggali-akar-anarkisme-di-indonesia-vgXG7

Rizky, P. A. (2020). Anarkisme dan Hal-Hal Yang Mereka Tuntut. Retrieved from Matamatapolitik.com: https://www.matamatapolitik.com/sejarah-anarkisme-dan-hal-hal-yang-mereka-tuntut-editorial/

Ikuti tulisan menarik Samroyani lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler