x

Iklan

Okty Budiati

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 30 Juli 2022

Selasa, 23 Agustus 2022 05:59 WIB

Sementara yang Terjebak Tahta

Betapa rentannya nalar menangkap bahasa komunikasi dan berujung pada evolusi sia-sia. Malam kembali hadir dengan nuansa yang meluruhkan gumpalan amino kuasa. Tapi mungkin saja, dalam lelap luruh, yang tidak singgah tetaplah nalar bagaimana membuat teh hangat dari daun-daun jujube, sebab buah-buahan lebih menggiurkan, rupa warisan legenda apel atas rapuhnya jiwa nusia.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Di suatu proses reboisasi, daun-daun kering dalam siklusnya; pemusnahan kertas-kertas usang pada susuhunan di ruang konflik antara perlawanan dan penerimaan. Seluruh catatannya telah tersimpan begitu rapi dengan penjagaan ketat di pikiran-pikiran yang disiapkan melalui cara paling terperinci hingga akurasi laksana. Perkembangan literasi dalam perjalanan tubuh-tubuh dibenturkan kembali pada strata beserta ras. Proses kehadiran/presence yang utuh menuntut tidur panjang dari lelah mata yang patah. "Aduhai, alangkah baiknya aku mati sebelum ini" [Surah Maryam 23] Namun, ini bukan tentang membedah prinsip keagamaan. Saya sangat buta ilmu agama maupun keagamaan.

Hanya saja, yang kemudian menyerahkan dirinya kepada kebijaksanaan untuk perjanjian-perjanjian berskala sebelum mala dipecah hancur menjadi satu-satunya tontonan komedi atas warisan legenda. Bilah-bilah kuasa menatap rintihannya sebagai kesenangan yang bual untuk kembali menghadirkan poranda sosial. Mereka dengan animo kuasa menyebut dirinya sebagai kaum titisan darah leluhur. Dalam metafora: "Within that heaven which most his light receives Was I, and things beheld which to repeat Nor knows, nor can, who from above descends; Because in drawing near to its desire Our intellect ingulphs itself so far." [Paradiso: Canto I, The Divine Comedy of Dante Alighieri]

Betapa rentannya nalar menangkap bahasa komunikasi dan berujung pada evolusi sia-sia.

Pilihan memilih peran beserta tanggung jawab bukanlah taburan benda-benda di dalam etalase yang mudahnya diperjualbelikan. Suatu prinsip pilihan mengorbankan dirinya sendiri yang menjadi peran hidup dalam perjalanannya. Lagi-lagi, di proses inilah, manusia mendapati perannya yang menuntut kesehatan mencerna. Pengetahuan bersifat reboisasi, hingga dalam suatu transmigrasi, ada praktek improvise adapt overcome yang spontan melatih pengalaman diri menjadi inti pengetahuan proses hidup. Apakah ini telah hilang dalam jiwa kita? Sementara hanya animo kuasa sebagai pencerahan? Menjaga penyerahan diri kepada kebijaksanaan untuk perjanjian-perjanjian berskala sebelum mala telah mengingatkan saya tentang rahasia keindahan dari sunyi ilalang yang seringkali diabaikan dan dipatahkan oleh tangan-tangan para penikmat plesiran.

Manakala hasrat cenderung mengabaikan strategi budaya demi setara strata beserta ras, anak-anak kembali menjadi beragam tumbal sesembahan. Sementara itu, kepala-kepala yang dilahirkan telah siap dipenggal menjadi suguhan pada altar-altar para megalomaniac. Bagaimana dengan Maryam di ruang ini? Ruang tempa penerimaan tanpa adanya pengetahuan atas reboisasi daun-daun kering. Dan untuk linimasa lain, untuk sebuah fiksi lain; “No, they must have mistaken another chap for me. I was badly knocked on the head, but I came to and managed to crawl into the bush. After that I don’t know what happened for months and months, but a friendly tribe looked after me, and at last I got my proper wits again and managed to get back to civilization.” [While the Light Last, Agatha Christie]

Malam kembali hadir dengan nuansa yang meluruhkan gumpalan amino kuasa. Tapi mungkin saja, dalam lelap luruh, yang tidak singgah tetaplah nalar bagaimana membuat teh hangat dari daun-daun jujube, sebab buah-buahan lebih menggiurkan, rupa warisan legenda apel atas rapuhnya jiwa nusia.

Ikuti tulisan menarik Okty Budiati lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler