x

Ilustrasi.

Iklan

Sutri Sania

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 20 Januari 2021

Kamis, 25 Agustus 2022 07:17 WIB

Hendak Terapkan Pajak Ekspor Nikel, Pemerintah Harus Lebih Bijak

Jika pemerintah tidak melakukan diskusi secara mendetail dengan pebisnis, agaknya hilirisasi yang digaungkan pemerintah tak akan terealisasi dengan baik serta bijak. 

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pada ulang tahun ke-77 RI, sepertinya pemerintah memberikan ‘kejutan’ bagi pebisnis pertambangan. Dikutip dari Katadata, Presiden Joko Widodo baru saja memaparkan kalau Indonesia akan segera menerapkan pajak ekspor nikel. Hal ini dilakukan untuk menambah nilai bagi Indonesia, meningkatkan penerimaan negara, dan menciptakan lapangan kerja lebih. 

Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis, Yustinus Prastowo, menambahkan kalau wacana tersebut masih perlu didiskusikan lebih lanjut, terutama perihal teknis dan kapan diterapkannya, seperti dilansir laman Liputan6.com, Selasa (2/8). Namun seorang pejabat senior pemerintah mengatakan pada 1 Agustus, bahwa pemerintah berencana untuk mengeluarkan kebijakan pajak ekspor nikel pada kuartal ketiga tahun ini.

Niat baik pemerintah ini jika dilihat sekilas memang bagus, namun apakah dari kacamata pebisnis, kebijakan pajak ekspor nikel ini sudah diperbincangkan bersama? Sebab, perlu diingat bahwa dalam berbisnis, terdapat multipihak yang terlibat; negara, investor, dan pebisnis. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Jika dilihat dari kacamata pebisnis, keputusan pajak ekspor nikel ini dinilai menambah beban pengusaha, sehingga membuat industri nikel akan tertekan. Apalagi jika pajak yang diterapkan adalah bersifat progresif alias bernilai tinggi!

Menurut pemaparan Wakil Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Septian Hario Seto, dilansir laman Katadata, Sabtu (20/8), Indonesia nantinya akan mengenakan pajak NPI dan Feronikel berdasarkan harga nikel serta batu bara yang digunakan dalam produksi. 

Tapi berdasarkan beberapa penelusuran, pemerintah rupanya telah merilis PP RI No. 26/2022 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Di dalam beleid yang diterbitkan 15 Agustus 2022 ini, awalnya pajak ekspor diberlakukan untuk semua jenis komoditas nikel kandungan rendah selain Nickel Pig Iron (NPI), Feronikel (FeNi).

Pada lampiran PP RI No. 26/2022 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, pada halaman 18, semua komoditas pemurnian seperti Nickel Matte, Ferro Nickel (FeNi), Nickel Oksida, Nickel Hidroksida,  Nickel MHP, Nickel HNC, Nickel Sulfida, Kobalt Oksida, Kobalt Hidroksida, Kobalt Sulfidal, Krom Oksida, Logam Krom, Mangan Oksida, Magnesium Oksida, Magnesium Sulfat pada akhirnya juga dikenakan pajak ekspor!

Jumlah dari pengenaan pajak ekspor tersebut pun tak main-main, semua komoditas pemurnian dikenakan pajak ekspor sebesar 5% per ton dari harganya. Tentunya jumlah pajak ekspor ini begitu tinggi; pajak ekspor progresif. Padahal, dari kesehariannya, produksi industri pertambangan bisa mencapai puluhan hingga jutaan ton. Jika dalam per hari jumlahnya tak menentu, dari sudut pandang pebisnis, perhitungan pajak akan menghambat berjalannya proses produksi. 

Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia, Rizal Kasli, menerangkan bahwa pengenaan pajak ekspor progresif bisa menimbulkan risiko jika tidak dipikirkan dan didiskusikan dengan matang. Apalagi pabrik pengolahan nikel memiliki nilai investasi mahal dengan risiko investasi besar. Sementara di satu sisi, harga nikel di pasar global memiliki tingkat volatility yang cukup tinggi.

Jika nantinya harga nikel jatuh, maka risiko investasi juga cukup tinggi. Kondisi tersebut akhirnya memaksa perusahaan menanggung risikonya tanpa ada bantuan dari pemerintah. 

Rizal menambahkan bahwa kebijakan pajak ekspor nikel tak bisa serta merta diterapkan, apalagi jika bahannya berasal dari nikel tipe saprolite. Rizal berharap jangan sampai ketika harga nikel jatuh, pemerintah kemudian hanya berpangku tangan dan tidak memberikan bantuan apapun. Namun ketika harga tinggi, pemerintah hadir untuk mengenakan pajak ekspor. Maka dari itu, Rizal menilai, pemerintah harus adil dan berimbang mengenai kebijakan ini.

Jika pemerintah tidak melakukan diskusi secara mendetail dengan pebisnis; perihal iklim investasi, harga komoditas hingga kondisi industri pertambangan, agaknya hilirisasi yang digaungkan pemerintah tak akan terealisasi dengan baik serta bijak. 

Bisa jadi konsep tersebut hanyalah isapan jempol dalam implementasinya. Bahkan, hilirisasi hanyalah klaim ‘bijak’ dari pemerintah namun tak menguntungkan pebisnis. Sebab, dalam berbisnis, bukankah kedua belah pihak yang berkongsi harus sama-sama diuntungkan, kan?

Ikuti tulisan menarik Sutri Sania lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler