x

Iklan

Septi Yadi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 20 Januari 2021

Kamis, 25 Agustus 2022 07:15 WIB

Wacana Pajak Ekspor Nikel Dibuat Progresif, Pebisnis Merintih

Pengenaan pajak ekspor nikel tersebut telah menjadi polemik di kalangan pelaku industri. Jumlah pajak ekspor itu juga dinilai tinggi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Berbisnis di Indonesia sepertinya menyenangkan. Dengan segudang sumber daya alam (SDA) dan terbukanya pemerintah akan kehadiran investor, membuat semua orang tergiur untuk berbisnis di Tanah Air.

Namun sayangnya, berbisnis tak semudah itu! Kenyataannya, ketika pemerintah sudah mendapatkan investor untuk mengucurkan dananya di negara, kemudian banyak ‘batu terjal’ yang harus dilalui oleh pebisnis, khususnya bisnis pada industri pertambangan. 

Contohnya pada Agustus 2022, Presiden Jokowi menjelaskan bahwa Indonesia kemungkinan akan memberlakukan pengenaan pajak atas ekspor nikel demi meningkatkan pendapatan dan mempromosikan manufaktur lokal bernilai tinggi. Menurutnya, pajak ekspor nikel ini berguna untuk menambah nilai Indonesia, meningkatkan penerimaan negara, dan menciptakan lapangan kerja lebih banyak. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo, menambahkan bahwa wacana tersebut memang masih dikaji lebih lanjut mengenai teknis dan penerapannya. Namun seorang pejabat pemerintah mengatakan bahwa pajak ekspor nikel nantinya diterapkan pada kuartal ketiga tahun 2022, hal ini ia sampaikan pada 1 Agustus 2022.

Jarak waktu yang disampaikan begitu dekat, tentu hal ini terasa mendadak dari kacamata pebisnis. Yang menjadi pertanyaan, dalam kurun waktu secepat itu, apakah pemerintah benar-benar sudah mengkaji dan mendiskusikan secara mendetail dengan pihak pebisnis? Mengingat ketika berbisnis, etikanya adalah multipihak harus 'duduk bersama' jika ingin mengambil keputusan. Dalam hal ini adalah negara, investor, dan pebisnis. 

Apalagi jika kebijakan ekspor nikel tersebut dinilai dari sudut pandang pebisnis tambang, keputusan ini menambah beban pengusaha. Terutama jika pajak yang diterapkan bersifat progresif alias bernilai tinggi! 

Wakil Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Septian Hario Seto, mengutip dari Katadata, Sabtu (20/8), Indonesia nantinya akan mengenakan pajak untuk olahan mineral nikel seperti NPI dan Feronikel berdasarkan harga nikel serta batu bara yang dikenakan dalam produksi. 

Namun, berdasarkan penelusuran tim, pemerintah rupanya telah merilis PP RI No. 26/2022 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

Pada lampiran beleid yang diterbitkan 15 Agustus 2022 ini, PP RI No. 26/2022 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, pada halaman 18, semua komoditas pemurnian seperti Nickel Matte, Ferro Nickel (FeNi), Nickel Oksida, Nickel Hidroksida,  Nickel MHP, Nickel HNC, Nickel Sulfida, Kobalt Oksida, Kobalt Hidroksida, Kobalt Sulfidal, Krom Oksida, Logam Krom, Mangan Oksida, Magnesium Oksida, Magnesium Sulfat pada akhirnya dikenakan pajak ekspor!

Pengenaan pajak ekspor nikel tersebut telah menjadi polemik di kalangan pelaku industri. Jumlah pajak ekspor itu juga dinilai tinggi. Semua komoditas olahan industri nikel tersebut ditarifkan pajak ekspor progresif sebesar 5% per ton dari harganya.

Bisa dibayangkan, industri pertambangan tidak hanya satu atau dua ton saja produksinya, namun bisa berpuluh-puluh ton bahkan jutaan ton per harinya. Jika jumlahnya tidak berketentuan setiap hari, dapat dipastikan penerapan pajak ekspor tersebut dapat menghambat rantai produksi yang sedang berjalan.

Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia, Rizal Kasli, menerangkan bahwa pengenaan pajak ekspor progresif bisa menimbulkan akibat yang kurang menyenangkan apabila tidak dipikirkan dan didiskusikan secara saksama serta matang. Apalagi teknologi untuk pemurnian komoditas nikel dan turunannya memiliki nilai investasi cukup mahal, maka risiko investasinya pun besar. Sementara, harga nikel di pasar global mengalami tingkat pergolakan harga yang tinggi. 

Rizal menambahkan pendapat bahwa pemerintah seharusnya tidak serta-merta mengenakan pajak ekspor begitu saja. Hal ini dikarenakan tingkat risiko investasi pada industri nikel terbilang tinggi. Sehingga pemerintah harus ambil peran kepada para pebisnis yang nantinya menanggung risiko ketidakpastian harga global komoditas nikel. 

Apabila suatu hari harga nikel global merosot, harapannya pemerintah tidak menutup telinga dan membiarkan pebisnis merintih menghadapi momen tersebut sendirian. Sebab, pada awal perjanjian ketika masa penjajakan dalam berbisnis, seolah-olah pemerintah melontarkan kesan 'manis' akan memberikan segala hal dengan bijak kepada pebisnis dalam menerima investasi. 

Namun jika pemerintah hanya hadir ketika harga tinggi dan memberikan pajak ekspor nikel begitu saja, apakah hal tersebut etis dalam berbisnis? Sepertinya tidak, ini lebih kepada (maaf) posesif menuju serakah.

Alih-alih melakukan hilirisasi dengan baik dan bijak, pemerintah hobi untuk menarik ulur investor dengan melakukan pajak ekspor nikel, salah satunya. Rasanya seperti mabuk darat ketika naik mobil, bisa-bisa investor akan muntah, merintih kesakitan, dan memilih untuk keluar mobil (red: Indonesia) jika lama kelamaan dibikin mabuk dan mual.

Ikuti tulisan menarik Septi Yadi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler