x

Irjen Pol Ferdy Sambo ditahan di Mako Brimob Polri, Sabtu sore, 6 Agustus 2022.Foto-Ist.

Iklan

sucahyo adi swasono

Pegiat Komunitas Penegak Tatanan Seimbang (PTS); Call Center: 0856 172 7474
Bergabung Sejak: 26 Maret 2022

Rabu, 24 Agustus 2022 06:47 WIB

Ilustrasi tentang Sambo dan Sampo

Apa kaitannya antara Sambo dan Sampo? Koq, sepertinya, secara kasat mata dan penginderaan manusia pada umumnya tidak nyambung atau tidak ada relevansinya? Simak saja artikel ini ...

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Keduanya sama-sama pupuler dan familiar di alam pikiran masyarakat kita, antara Sambo dan Sampo. Bedanya, yang satu menunjuk kepada sosok, oknum, pejabat di salah satu institusi pilar penegak hukum negeri ini, yang berikutnya, adalah cairan untuk mencuci rambut dan kulit kepala, terbuat dari campuran tumbuhan atau zat kimia. Itulah prinsip simpelnya.

Nama Sambo yang lengkapnya, Ferdy Sambo, mencuat ke permukaan sosial budaya negeri ini, tepatnya sejak 11 Juli 2022,  akibat siaran berita dari institusi POLRI melalui media massa tentang kajadian pada 08 Juli 2022, terbunuhnya Brigadir J atau nama lengkapnya Nofriansyah Yoshua Hutabarat, di kediaman dinas Kadiv Propam POLRI, Irjen Ferdy Sambo. Dalam siaran berita itu, telah terjadi 'tembak menembak' antara Bharada E atau Richard Eliezer Pudihang Lumiu, dipicu oleh karena Brigadir J melakukan 'pelecehan seksual' terhadap istri sang Irjen Sambo, Putri Candrawathi, di kamar pribadi sang PC. 

Kemudian, terdengar teriakan "help me!" dari sang PC oleh Bharada E yang sedang di kamar lantai atas, sehingga dengan spontan Bharada E berusaha turun mendekati sumber teriakan tersebut guna menyaksikan ada kejadian apa sebenarnya di lantai bawah, dan akan melakukan pertolongan seiring dengan teriakan 'help me' itu. Pada posisi Bharada E yang masih di tangga atas , 'tembak menembak' antara Bharada E dengan Brigadir J pun terjadi, karena Brigadir J lebih dulu mengacungkan senjatanya dan berusaha memuntahkan peluru ke arah Bharada E. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bharada E pun berusaha membela diri, dan berlanjut dengan melumpuhkan Brigadir J. Dar ... dor ... dar ... dor ... Tersebutlah, Brigadir J memuntahkan 7 butir peluru namun tidak mengenai sasaran, sedangkan Bharada E memuntahkan 5 peluru dan berhasil melumpuhkan Brigadir J hingga mengakibatkan kematiannya. Kurang lebihnya seperti itu narasi yang tersusun dan disampaikan oleh pihak Humas Polri dalam siaran langsung di media massa pada 11 Juli 2022.

Sontak saja publik negeri ini menjadi tercengang dan dihebohkan oleh berita itu, seantero anak negeri pun berguncang. Sebab, ada yang tak bisa diterima oleh common sense, akal sehat, akal budi, nalar wajar, atau nalar umum terhadap berita peristiwa itu. Mengundang banyak pertanyaan dan mempertontonkan kejanggalan-kejanggalan di ranah penilaian berkategori masuk akal dan praktis sebagaimana masalah sehari-hari, atau kemampuan dasar untuk melihat, memahami, dan menilai dengan cara yang umumnya dimiliki oleh hampir semua orang terhadap viralnya berita peristiwa 'tembak-menembak' yang nampak sebagai sandiwara belaka. 

Publik kian berani berseloka melalui fasilitas yang dimiliki menurut versinya. Lebih-lebih dari kalangan pegiat dunia maya di era teknologi yang serba digital ini. Anak negeri semakin berguncang dengan seguncang-guncangnya. Belum bisa menerima adanya berita peristiwa itu, cukup dengan logika yang paling sederhana saja.

Beragam reaksi dari publik bermunculan di berbagai media massa dan media sosial yang lagi memasuki masa keemasannya, menembus sekat tanpa batas. Boleh jadi, reaksi publik menjadi tambah vulgar dari sudut pandang dan penilaiannya terhadap peristiwa itu, yang bukan karena tanpa alasan pula. Betapa tidak, di sebuah institusi sebagai bagian dari alat negara, penegak hukum dan keadilan yang sekalipun bukan satu-satunya sebagai institusi penegak di negeri ini, terjadi kasus pembunuhan terhadap salah satu prajurit anggota korps yang didalangi oleh oknum lapisan elitnya, jendral berbintang dua, pemegang Divisi Profesi dan Pengamanan yang bernama Sambo, adalah suatu hal yang teramat sulit diterima oleh publik seumumnya. 

Sehingga jangan salahkan publik bila menjustifikasi institusi Polri maupun oknumnya sebagai institusi preman yang terlegitimasi oleh legalitas formal dari negara. Dan, sang Sambo menjadi buah bibir pergunjingan, sebagai sosok tokoh sentral yang antagonis dalam peristiswa ini, tak lebih dari sang ‘mafioso’, terminologi mengarah pada hal yang buruk, hitam, dan tindakannya selalu menggunakan segala cara dalam meraih tujuan. Ironisnya, di kasus ini, nampak nyata dalam memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan di atas fasilitas yang diberikan oleh negara. 

Begitulah hasil investigasi, penyelidikan dan penyidikan dari yang berkompeten terhadap kasus yang terjadi di tubuh Polri sampai dengan detik ini, sebelum kasusnya dinaikkan ke meja hijau untuk mendapatkan putusan hukum tetap yang adil dan beradab. 

Kita tinggalkan dulu sang tokoh sentral antagonis bernama Sambo yang masih belum habis diperbincangkan dan dipergunjingkan oleh publik dari siapapun dan dari kalangan manapun, tak terkecuali saya di artikel ini. 

Pertanyaannya, apa kaitannya antara Sambo dengan Sampo? Koq, sepertinya, secara kasat mata dan penginderaan manusia pada umumnya tidak nyambung atau tidak ada relevansinya?

Memang, sepertinya dan sepertinya tidak nyambung dan tidak ada relevansinya, bahkan boleh dikata tidak ada sama sekali! Namun, saya mencoba mengartikulasikan kasus Sambo ini dari perspektif analogis-filosofis-plesetan ala budaya Indonesia_Nusantara yang Bhinneka Tunggal Ika ini. Itulah arah pemikiran dan tujuan di artikel saya ini. Sah-sah saja, toch? Senyampang saya bisa dan mampu mempertanggungjawabkannya dari apa yang saya tuangkan dalam tulisan di artikel ini, utamanya dalam bingkai fiksi-filsafati-logika. Itu saja!

Sampo, secara definitif berdasarkan KBBI yang saat ini sudah memasuki EYD edisi V, resmi berlaku mulai 16 Agustus 2022 seiring dengan ditetapkannya Keputusan Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa No. 0321/I/BS.00.00/2021, sebagaimana yang telah saya singgung di awal tulisan ini, adalah cairan untuk mencuci rambut dan kulit kepala, terbuat dari campuran tumbuhan atau zat kimia. Secara prinsip, tugas dari yang bernama Sampo adalah membersihkan kotoran di ranah kepala manusia.

Sementara, kepala yang didalamnya berisi salah satunya adalah otak sebagai Central Processing Unit (CPU), komponen inti di antara keseluruhan anatomi tubuh manusia yang berfungsi mengolah data, informasi dari indera untuk menentukan sikap, tindakan dan keputusan. Dengan kata lain, CPU ini akan menentukan mentalitas seseorang yang dapat dilihat dari wujud sikap dan tindakannya, apakah mengarah kepada kabaikan, atau sebaliknya mengarah kepada keburukan?

Dengan demikian, maka Sampo mempunyai tugas mulia dalam membersihkan kotoran di lingkungan kepala manusia, tempat bersarangnya otak atau CPU tadi, agar lingkungan kepala menjadi bersih, bebas dari bakteri maupun virus yang dapat mengganggu  kinerja otak dalam berpikir, menanggapi input dari luar supaya ekspresi berpikir seseorang dalam wujud sikap, tindakan dan keputusannya menjadi bersih, jernih, jujur, adil, proporsional,  dan apa adanya, seimbang tanpa ada unsur kecenderungan akan keberpihakan. Lebih-lebih keberpihakan pada aroma pantulan dari negative thingking yang mengarah kepada keburukan. Begitulah tamsilnya ...

Sebaliknya, Sambo, adalah sosok, oknum, tokoh, figur yang diduga sebagai aktor dalam sebuah lakon yang berwatak antagonis, pemuja kegaduhan, kecabuhan, kekisruhan, dan yang sebangsanya, terlingkup dalam hal keburukan yang telah mencedarai amanah tugas dan kewajiban idealnya sebagai penegak hukum berkeadilan. Juga menjadi pencedera marwah korps atau institusi dimana Sambo hidup dan dihidupi. 

Idealnya, mentalitas seorang Sambo yang terpancar dari buah sikap dan tindakannya, mestinya sesuai dengan doktrin yang bersih nan sehat sebagai pengawal negara. Akan tetapi, yang terjadi adalah justru sebaliknya, Sambo ditengarai malah menjadi Sang Mafioso dengan kiprahnya yang memfasilitasi dan memanfaatkan wewenang serta jabatannya demi keuntungan pribadi dan keluarganya dalam hal membangun 'Kerajaan Bisnis Hitam'. Dan, Sambo lah yang justru sebagai Kaisar-nya. Sebuah tragedi-sarkasme di negeri ini ... 

Begitulah antara Sambo dan Sampo terkini di negeri ini. Sekian dan terima kasih. Salam Seimbang, Satu Bangsa Indonesia_Nusantara dalam Bhinneka Tunggal Ika ...

*****

Kota Malang, Agustus di hari kedua puluh tiga, Dua Ribu Dua Puluh Dua.       

Ikuti tulisan menarik sucahyo adi swasono lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler