x

Ilustrasi Perkuliahan. Karya Gerd Altmann dari Pixabay.com

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Kamis, 25 Agustus 2022 06:55 WIB

Rapuhnya Benteng Integritas Perguruan Tinggi

Karena silau oleh kekuasaan politik maupun bisnis, sebagian akademisi dan petinggi perguruan tinggi tergoda untuk berbagi-bagi gelar kehormatan kepada elite politik dan elite bisnis, mencari cuan dari jabatan, hingga mengabdi pada kekuasaan dengan mengorbankan nilai-nilai akademik.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Seorang rektor ditangkap karena diketahui mengutip  biaya tambahan kepada orangtua yang ingin anaknya belajar di perguruan tinggi tempat ia memimpin. Jalur mandiri, yang dilalui calon mahasiswa ini, memang dikenal jalur basah di kampus manapun. Dan, uniknya, para orangtua sanggup mengeluarkan ratusan juta agar anaknya diterima di program studi yang mereka inginkan. Tentu saja, ini orangtua yang tajirnya tak perlu diragukan lagi.

Nah, sebagai orang nomor satu di perguruan tinggi, rektor melihat hasrat orangtua memasukkan anaknya ke perguruan tinggi sebagai peluang meraup keuntungan untuk saku pribadi. Mungkin saja rektor ini berpikir, mau ikut proyek atau jadi konsultan bisnis, sudah dibatasi aturan, lantas darimana mencari pemasukan tambahan? Rektor dan pejabat kampus yang jeli melihat jalur mandiri sebagai peluang.

Banyak orang lantas bertanya-tanya, apakah praktik kutip-mengutip oleh pejabat kampus itu merupakan anomali atau sudah jadi kelaziman yang sifatnya tahu-sama-tahu? Barangkali, rektor yang ditangkap ini sedang bernasib kurang baik? Sebaliknya, bila kita berprasangka baik, masih banyak rektor yang tidak tergoyahkan nuraninya oleh uang ratusan juta.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pertanyaannya kemudian bukan hanya apakah peristiwa penangkapan rektor itu menandakan bahwa integritas perguruan tinggi semakin rapuh? Salahkah bila ada yang beranggapan bahwa kejadian ini memperlihatkan betapa benteng integritas perguruan tidak sekukuh yang dibayangkan dan diharapkan oleh masyarakat? Bahkan, bukan saja mudah digoyahkan oleh materi, tapi juga oleh jabatan dan rasa hormat?

Ada kesan yang muncul bahwa ketika masyarakat sedang galau menghadapi berbagai tantangan belakangan ini—wabah penyakit, kenaikan biaya hidup karena inflasi, hingga isu demokrasi yang kurang partisipatif, insan akademisi kampus terlihat bersikap kurang peduli. Hanya sedikit perguruan tinggi yang menaruh perhatian pada isu-isu tadi dengan memberi respons yang mencerahkan masyarakat. Kalaupun ada, itu lebih bersifat individual dari akademisi yang memang sudah sejak lama memiliki kepedulian terhadap persoalan masyarakat.

Tak terdengar suara rektor yang mengorkestrasi para akademisi untuk memandu masyarakatnya bagaimana jalan yang tepat untuk menngatasi persoalan. Bahkan, bagaikan virus yang menular, banyak perguruan tinggi yang asyik dengan agendanya sendiri. Di antaranya, berlomba-lomba memberikan gelar kehormatan kepada figur tertentu, khususnya pejabat negara, elite politik, pebisnis terkemuka.

Seakan menyerupai virus menular, banyak akademisi yang dengan senang hati menjadi penyokong kekuasaan mengabaikan nilai-nilai akademis, seperti kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan, sehingga mereka merendahkan martabatnya sendiri sebagai ilmuwan dan akademisi. Sebagian akademisi ini rela menukar integritasnya dengan dukungan kepada kekuasaan, antara lain dengan menyusun pembenaran akademis untuk rancangan undang-undang maupun peraturan walaupun isinya, lagi-lagi, juga bertentangan dengan nilai-nilai akademis yang semestinya mereka junjung tinggi. Contoh terbaru ialah Rancangan KUHP, di mana banyak akademisi membenarkan apa yang disusun di dalamnya, sekalipun isinya bagaikan kembali ke masa kolonial.

Sebagian akademisi tidak malu-malu lagi berperan sebagai pembuat legitimasi akademis terhadap kemauan penguasa. Para akademisi ini lupa pada asal-usul dan habitat mereka sebelum direkrut penguasa. Mereka tidak malu lagi mentautkan diri dengan kekuasaan, entah untuk mencari perlindungan atau karena kurang percaya diri pada kehormatan sendiri.

Sebagian akademisi bahkan rela mengorbankan integritas demi memperoleh jabatan tertentu. Bagi mereka, gelar akademik seperti doktor maupun jabatan guru besar masih dianggap kurang bergengsi dibandingkan dengan jabatan publik di lembaga eksekutif, legislatif, maupun yudikatif—sekalipun itu sebagai staf ahli. Kekuasaan demikian menggoda mereka, dan mereka sangat berhasrat untuk merasakan kenikmatan ikut berkuasa.

Karena silau oleh kekuasaan politik maupun bisnis, petinggi perguruan tinggi tergoda pula untuk berbagi-bagi gelar kehormatan kepada elite politik ataupun elite bisnis. Di hadapan para pemegang kuasa politik dan kuasa ekonomi, sungguh aneh bahwa petinggi kampus yang mestinya habis-habisan mempertahankan integritas akademik, eh malah terlihat kurang percaya diri. Sungguh membikin prihatin masyarakat. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler