x

Iklan

Elnado Legowo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Kamis, 25 Agustus 2022 07:10 WIB

Pemain Musik di Innsbruck

Setiap malam di suatu jalan di Innsbruck, selalu berkumandang suara musik biola dengan irama yang asing dan belum pernah ada sebelumnya. Itu adalah perbuatan dari si pemain biola, yang bernama Ulrich Volker. Namun terdapat sebuah misteri yang mengerikan di balik rutinitas permainan biola Ulrich Volker. Misteri apakah itu?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Beberapa wilayah, jalan, dan bangunan di Innsbruck telah hilang tanpa jejak. Meski aku sudah mencari di semua peta – baik itu peta digital maupun kertas – tapi sangat memalukan jika aku tetap tidak menemukannya. Termasuk sebuah bangunan yang bernama St. Cecilia. 

Itu sangatlah ganjil dan membingungkan. Namun lebih membingungkan lagi, tidak ada orang yang menyadari keanehan tersebut. Bahkan mereka juga tidak mengingat, bahwa tempat-tempat itu pernah ada. Bahkan tidak ada orang yang mengingat ataupun mengenal si pemain musik, bernama Ulrich Volker.

St. Cecilia adalah sebuah toko barang antik, yang berada di tengah-tengah jalan yang berisikan bangunan-bangunan tinggi, tua, beratap lancip, serta berwarna cerah dan beragam. Jalan itu terletak di tepi Sungai Inn; sebuah sungai yang lebar, deras, dan berwarna biru aqua jernih; karena air sungai tersebut berasal dari lelehan salju di pegunungan Alpen.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Perkenalanku terhadap St. Cecilia terjadi di awal musim dingin. Tatkala aku sedang menjalani tahun pertama sebagai mahasiswa perantau dari Indonesia, untuk mendalami ilmu manajemen di Austria. Di masa itu aku sering mendapat masalah finansial, untuk menyewa tempat tinggal di sana. Sebetulnya di kampus ada asrama mahasiswa dengan biaya sewa yang sangat murah, yaitu sebesar 200€ per bulan. Tetapi asrama itu hanya diperuntukan pada mahasiswa warga asli Austria, beserta negara-negara Eropa lainnya.  

Walhasil permasalahan ini mengantarkanku pada informasi dari seniorku, bahwa ada sebuah apartemen di Innsbruck – terletak di Jalan Mariahilfstraße – yang menyewakan satu kamar seharga 320€ per bulan. Jika dibandingkan dengan harga sewa kamar di apartemen lainnya, itu adalah harga paling murah yang pernah kudengar. Sebab di tempat lain, harga termurah adalah 470€ per bulan untuk satu kamar. Maka dari itulah aku mendatangi kota tersebut, dan tidak lupa juga aku meminta alamat lebih detailnya dari seniorku.

Setibanya di Innsbruck, aku mendapati sebuah kota yang secara visual tampak kecil dan dihimpit oleh pegunungan Alpen, tapi sangat padat dan terasa luas jika dieksplorasi lebih saksama. Bangunan-bangunan di sana memiliki desain yang klasik, dan diberi warna cerah sehingga terkesan unik. Jalan di tempat itu terpisah, antara pengguna kendaraan dengan pejalan kaki. Untuk wilayah yang diperuntukan pejalan kaki, jalannya dibuat dari batu bata yang tersusun secara artistik dan teratur. Selain itu ada banyak gang-gang kecil yang berliku-liku, sehingga menciptakan sebuah labirin arkais. Pemandangan itulah yang membuatku terkesan secara khusus terhadap kota tersebut.

Apabila dari Halte Markthalle; untuk bisa tiba di Jalan Mariahilfstraße, aku cukup melaju ke arah utara dan menyeberangi Jembatan Innbrücke. Itu adalah sebuah jembatan besar yang melintasi Sungai Inn. Begitu tiba di ujung jembatan, aku tinggal mengambil jalur ke kiri, dan di situlah Jalan Mariahilfstraße berada. 

Lantas aku mulai menyusuri tiap bangunan di jalan tersebut, dan selang beberapa waktu kemudian, aku berhasil menemukan apartemen yang dimaksud oleh seniorku. Untung lokasinya tidak jauh dari Jembatan Innbrücke, sehingga pencarian apartemen tersebut tidak terlalu melelahkan.

Apartemen itu tidak sekecil dari yang kubayangkan, dan memiliki lima lantai. Bahkan dindingnya dicat warna merah salmon, sehingga terkesan cerah menawan. Tetapi yang terpenting apartemen tersebut masih layak dihuni, meski sudah berumur lebih dari dua abad. Apartemen itu hanya dijaga oleh seorang Vermieter tua berwajah judes, tapi memiliki karakter yang ramah.

Setelah memberitahu maksud dari kedatanganku, Vermieter itu memberiku sebuah kamar di lantai empat, yang menghadap ke Sungai Inn sekaligus panorama kota-kota di seberang sana. Namun kamar itu juga menjadi satu-satunya tempat yang berpenghuni di lantai tersebut. Karena semua penyewa memilih kamar di lantai yang lebih rendah, dan itupun jumlahnya tidak banyak.

****

Di malam harinya, aku terbangun akibat suara musik biola dari bangunan tetangga. Musik itu memiliki irama yang tidak biasa, sehingga terdengar asing dan menakjubkan. Aku berusaha tidak mempedulikannya. Tetapi musik itu rutin berkumandang di setiap malam, sehingga membuatku terjaga saat mendengarnya. Alih-alih merasa terganggu, aku malah makin tenggelam pada rasa kagum, sekaligus timbul keinginan untuk bertemu dengan si pemainnya.

Lantas keesokan hari, aku bertanya pada Vermieter tentang hal tersebut, dan dia menjawab bahwa itu ulah dari seorang pemain musik jalanan. Dia adalah pria tua asal Schiltach – sebuah desa di Hutan Hitam bagian timur, kawasan barat daya Jerman – yang kesepian dan aneh, bernama Ulrich Volker. Menurutnya, Ulrich sudah hampir empat dekade tinggal secara terisolasi di loteng toko barang antik, bernama St. Cecilia, yang terletak di sebelah kiri apartemenku.

Alhasil pada suatu kesempatan di pagi hari – sebelum pergi ke kampus – aku menyempatkan diri untuk mengunjungi tempat tersebut. Di situlah aku berkenalan dengan sebuah bangunan berlantai lima, berdesain Bavaria, beratap lancip, kurang terawat, berwarna kuning pucat, dan sebuah papan kayu yang bertuliskan "St. Cecilia" di atas pintu masuknya. 

St. Cecilia hanya dijaga oleh seorang ibu penjual paruh waktu yang kaku. Lantas aku segera menjelaskan keinginanku untuk bertemu Ulrich kepadanya. Tetapi dengan lugas ibu itu menjawab bahwa Ulrich sedang tidak ada di tempat. Lalu dia memintaku kembali datang setelah magrib, dan menunggu pria tua itu di pintu belakang.

Aku hanya mengiyakan, dan melakukan instruksinya. Lalu aku kembali datang ke St. Cecilia saat selepas magrib, dan langsung menunggu di pintu belakang. Selang beberapa waktu kemudian, sambil menahan dinginnya suhu malam di Innsbruck; akhirnya aku melihat seorang pria tua jangkung, kurus, bungkuk, kepala hampir botak, bermata biru, dan berwajah aneh yang terlihat seperti krampus. Pria tua itu berpenampilan lusuh, serta membawa sebuah peti kulit biola yang lapuk dan telah dimakan ngengat.

Secara spontanitas, aku beranggapan bahwa dia adalah Ulrich Volker. Lantas aku mencegat pria tua itu, dan mengatakan bahwa aku ingin menyaksikannya bermain musik. Seketika Ulrich langsung melempar tatapan gusar, kebingungan, dan ketakutan kepadaku.

Jika dilihat dari bahasa tubuhnya, aku menduga bahwa Ulrich tidak paham bahasa asing. Alhasil aku mengulangi permintaanku dengan Bahasa Jerman; meski itu tidak sempurna. Berkat keramahan nyata dan pendekatan halus ala budaya orang timur, akhirnya aku berhasil meluluhkan hati Ulrich yang dingin. Bahkan dia mulai memasang ekspresi sedikit hangat daripada sebelumnya. Lantas dia memberi isyarat kepadaku untuk mengikutinya masuk ke dalam, dan menaiki anak tangga menuju loteng yang gelap, berderit, dan reyot. Sesampainya di puncak bangunan, di sana hanya ada sebuah kamar yang menghadap ke Sungai Inn, serta lokasinya cukup curam dan terisolasi.

Kamarnya berukuran cukup besar, namun penuh ketelanjangan. Di sana hanya ada sebuah kasur sempit; sebuah meja dan sepasang kursi kayu; wastafel kotor; sebuah rak buku berisikan buku-buku tua yang melapuk; sebuah lemari pakaian; dan sebuah jendela yang terbuka lebar. Secara garis besar, kamar tersebut sangat kotor dan tidak higienis. Hampir di semua sudut tempat dipenuhi debu dan sarang laba-laba. 

Ulrich mengisyaratkanku untuk duduk, di salah satu kursi kayu yang paling tidak nyaman. Lalu dia menyalakan lampu kamar yang redup, dan segera mengunci pintu. Kemudian dia mengambil tempat yang tidak jauh dari jendela dan duduk di situ. Lantas dia segera mengeluarkan biola dan memainkannya di hadapanku. 

Aku sangat terpesona menyaksikan penampilannya. Ulrich memainkan biola tanpa memakai lembar baca not balok, dan dia melakukannya dengan sempurna. Setiap gesekan busur biolanya telah melahirkan sebuah irama baru, dan belum pernah kudengar sebelumnya. Seolah-olah itu semua adalah hasil rancangannya sendiri.

Di tengah kekaguman itulah, seketika angin dingin bertiup masuk melalui jendela yang terbuka. Sejujurnya aku merasa kedinginan, karena suhu malam hari di Innsbruck pada saat itu mencapai 4ºC. Namun perihal yang menggangguku, suara angin itu secara samar terdengar seperti suara yang merindingkan, dan sulit dicerna secara akal sehat.

Perihal itu membuatku penasaran, sehingga aku beranjak dan mendekati jendela. Tetapi secara mengejutkan, Ulrich langsung menyerangku dan menarik lenganku secara kasar, dengan ekspresi penuh kegelisahan dan kemurkaan. Dia melakukannya sambil menunjuk dengan kepalanya ke arah pintu kamar, seakan memberi isyarat agar aku lekas pergi. Karena situasi tidak kondusif, maka aku hanya melakukan perintahnya dengan taat.

Semenjak kejadian itulah, aku merasa tidak nyaman terhadap Ulrich. Tampaknya kedatanganku telah mengusiknya. Alhasil aku berniat untuk meminta maaf atas perbuatanku, namun tidak dalam beberapa waktu dekat ini. Karena aku merasa perlu mengumpulkan keberanian, demi menghadapi pria tua Jerman yang keras dan aneh itu.

Tetapi dugaanku salah. Keesokan pagi sebelum aku pergi ke kampus, aku mendapati Ulrich sedang berdiri tidak nyaman di samping luar pintu apartemenku. Tampaknya Ulrich menyadari bahwa perbuatannya semalam telah membuatku tersinggung, sehingga secara gugup dia meminta maaf dan memohon toleransi atas keanehannya. 

Ulrich juga mengaku bahwa dia sangat senang atas kehadiranku. Karena bagi Ulrich, aku adalah satu-satunya orang yang mau menyaksikan, mendengar, dan menikmati musiknya selama ini. Oleh sebab itulah, dia bersedia menerimaku jika aku berniat kembali mengunjunginya di lain waktu.

Setelah mendengar itu, perasaanku jadi campur aduk. Terkejut, bersalah, dan senang yang membaur menjadi satu. Lantas aku juga meminta maaf kepadanya atas kelancanganku semalam. Tetapi dia mengatakan bahwa itu bukan sesuatu yang salah.

****

Di hari itu juga, aku pulang dari kampus lebih telat daripada sebelumnya; akibat tugas kelompok dadakan, sekaligus undangan pesta ulang tahun dari salah seorang temanku yang sesama perantau dari Indonesia. Alhasil aku tiba di Innsbruck sekitar pukul setengah sembilan malam. Karena aku masih lapar – meski sudah memakan beberapa kue di acara pesta tadi – maka aku coba menelusuri beberapa jalan di Innsbruck demi mencari toko makanan, serta ingin mengenal jalan-jalan di sana secara intim.

Aku menelusuri tiap sudut wilayah, maupun jalan yang kutemukan di Innsbruck. Sampai akhirnya aku tiba di Jalan Herzog-Friedrich-Straße; sebuah jalan yang dipenuhi berbagai macam toko; baik itu toko busana, makanan, aksesoris, dan sebagainya. Jalan itu sangat padat di pagi hingga sore hari; namun setelah lewat dari jam enam sore, semua toko akan tutup dan suasana menjadi sepi.

Jalan Herzog-Friedrich-Straße sendiri adalah sebuah kawasan kota tua di Innsbruck, sehingga ada banyak bangunan-bangunan kuno yang berdiri untuk memenuhi tepi jalan. Bangunan-bangunan itu adalah peninggalan bangsa Romawi, Bavaria, dan Jerman. Jika dilihat saat matahari masih bersinar, bangunan-bangunan tersebut tampak indah dan berseri. Namun jika dilihat saat hari sudah gelap, maka bangunan-bangunan itu akan terasa menakutkan dan mengintimidasi. Belum lagi dengan minimnya lampu di beberapa sudut jalan, sehingga menciptakan imajinasi liar yang menyeramkan.

Setelah hampir sejam aku berkeliling di Jalan Herzog-Friedrich-Straße, aku benar-benar tidak menemukan satupun toko yang masih buka. Kondisi itu tidak memberiku pilihan, selain pulang ke apartemenku. Di tengah perjalanan itulah, aku mulai merasakan sebuah keganjilan yang mengerikan.

Tiba-tiba angin bertiup kencang tidak keruan, sehingga membuat tubuhku bergetar, terlebih lagi suhu sudah mencapai 2ºC. Angin-angin yang bertiup kencang itu, secara misterius menciptakan serangkaian suara aneh yang menggaung di atmosfer sekelilingku. 

Secara impulsif, aku menatap ke arah sekitar, sampai pandanganku tiba di langit kelam yang dipenuhi bintang-bintang suram. Lalu entah bagaimana, aku merasa ada sesuatu yang besar dan tersembunyi di balik langit kelam itu, serta sedang menatap balik ke arahku. Aku merasa bahwa itu adalah sesuatu yang tidak pernah ada di dalam pemahamanku, untuk bisa mengenali makhluk macam apa yang mempertuan tatapan tersebut.

Sebelum aku sempat mempertajam penglihatanku, seketika aku kembali mendengar irama musik yang mulai menyelimuti atmosfer, secara samar dan perlahan. Itu adalah irama musik yang asing, tapi otakku bisa menebak bahwa itu adalah perbuatan si pria tua Jerman yang tinggal di St. Cecilia. Sebab di Innsbruck, tidak ada orang yang memainkan musik dengan irama tersebut – terutama saat malam hari – kecuali Ulrich Volker.

Musik itu secara perlahan memudarkan sesuatu yang ganjil dan besar di langit kelam, sehingga membaur dengan kegelapan yang tidak terbatas. Aku sempat mengira bahwa Ulrich berada di sekitarku; tapi setelah kutelusuri lebih saksama; aku menyadari bahwa hanya ada aku seorang diri di Jalan Herzog-Friedrich-Straße.

****

Keganjilan itu masih terngiang-ngiang di pikiranku. Sampai-sampai aku menceritakan peristiwa semalam ke teman-temanku di kampus; baik itu sesama perantau dari Indonesia maupun bukan. Tetapi mereka semua menjelaskan, bahwa mungkin aku hanya kelelahan akibat beraktivitas seharian. Terlebih lagi, aku melintasi sebuah jalan yang sepi dan remang seorang diri di malam hari, sehingga secara langsung itu menciptakan halusinasi mengerikan di dalam pikiranku. Secara garis besar, penjelasan itu sangat masuk akal. Namun entah kenapa, hati kecilku masih syak.

Perihal itulah yang mengantarkanku pada keinginan untuk kembali menemui Ulrich Volker. Lantas ketika selepas magrib, aku mendatangi dan menunggu di pintu belakang St. Cecilia. Selang beberapa waktu kemudian, aku mendapati Ulrich yang sedang melaju ke arahku berada. Namun kali ini wajahnya terlihat sedikit pucat.

Lantas aku segera menyapa dan menanyakan keadaannya. Namun dia hanya membalas dengan senyuman lemah, dan memberi isyarat untuk mengikutinya ke dalam kamar. Setiba di kamar, semua berlangsung seperti sebelumnya. Di mana Ulrich memintaku untuk duduk di salah satu kursi kayunya, dan dia memainkan biola di depanku tanpa melihat not balok. Tetapi yang berbeda kali ini, Ulrich mengunci rapat jendelanya.

Selama Ulrich memainkan biolanya, aku sangat terpesona dengan setiap alunan musik yang dia ciptakan. Itu seperti penggabungan antara "Devil's Trill Sonata" karya Giuseppe Tartini, dengan "Hungarian Dance No. 5" karya Johannes Brahms. Namun Ulrich berhasil mengeksekusinya dengan baik, sehingga menciptakan sebuah irama baru yang menakjubkan dan belum pernah dikenal oleh siapapun. Sungguh tidak salah lagi! Ulrich Volker adalah musisi jenius berkekuatan liar yang terbenam!

Saking menikmati musik yang dimainkan Ulrich, aku sampai bersiul mengikuti setiap gesekan busur yang melepas irama menawan, dan menari-nari di atmosfer kamar. Ulrich tampak tidak terganggu, melainkan dia sangat menikmati harmoni yang aku ciptakan dari siulanku.

Namun di tengah kenikmatan momen tersebut, seketika biola yang dimainkan Ulrich memekik bengkak menjadi suara yang kacau. Kemudian secara mengejutkan, tubuh Ulrich roboh ke lantai. Aku sangat kaget dan bergegas mendekatinya. Ketika tanganku berhasil meraih tubuh Ulrich, dia hampir tidak berkutik dan hanya mengigau. Lantas aku segera mengangkat dan menopang tubuhnya, lalu kubaringkan di atas kasur.

Tiba-tiba hembusan angin dingin datang mendobrak jendela yang terkunci, sekaligus memorak-porandakan seisi kamar. Kekacauan itu membuatku makin kalut, dan berlari sekuat tenaga ke arah jendela demi menutupnya kembali. Sedangkan di waktu yang bersamaan, Ulrich tampak berusaha menahanku dengan tubuh rapuhnya, sekaligus memberi sinyal redup agar aku tidak mendekati jendela itu. Namun kepanikan dan kekacauan yang akut, telah membuatku gagal menangkap sinyalnya.

Sesampai di jendela, aku mendapati sebuah fenomena mengerikan dan sulit masuk di akal sehat, sehingga membuatku meragukan kewarasanku dan gemetar tanpa sebab. Dari jendela kamar Ulrich, aku melihat suatu makhluk yang sulit kupahami. Raksasa; gelap; merangkak; serta tangan-tangannya yang banyak sedang mencengkram Innsbruck dari segala sisi. Sesekali beberapa bagian tubuhnya berpendar meski redup, seperti petir yang melata di balik awan kumulonimbus. Meskipun begitu, pikiran paling warasku masih sulit mengartikan wujud dari zat seabstrak itu.

Aku berusaha meyakinkan mataku, bahwa yang kulihat ini bukan ilusi. Ketika aku mempertajam penglihatanku, seketika ingatanku terasa akrab dengan wujud tersebut. Namun saat aku berusaha memprosesnya, makhluk itu mengamuk seketika. Dia meraung dengan suara binatang mengerikan, yang tidak dapat kukenali ataupun pernah kudengar sebelumnya. Bahkan setiap pergerakannya akan menimbulkan fenomena-fenomena liar dan eksentrik yang menakutkan.

Angin makin berhembus kencang tidak keruan. Sedangkan panorama bergerak sangat cepat, sehingga mengubah bintang-bintang di cakrawala Innsbruck menjadi linear. Kilat-kilat sinar kosmik dengan berbagai warna mulai bermunculan. Sekaligus kabut-kabut lebat dan pekat mulai turun ke setiap bangunan dan jalan di Innsbruck, sehingga melengkapi intimidasi dari alam semesta yang ganas.

Di waktu yang nyaris terlambat, tangan dingin Ulrich berhasil meraih dan menarik tubuhku agar menjauh dari jendela. Lantas dia langsung mencengkram bajuku dengan mata birunya yang melotot, berkaca-kaca, lunglai, dan tampak distorsi; akibat kepanikan akut dan frustrasi yang membengkak. Dengan keadaan dengkik, dia berusaha menjelaskan dengan lemah tentang perihal yang terjadi.

Alasan Ulrich bermain biola setiap malam adalah agar makhluk raksasa kegelapan – yang tidak dapat dideskripsikan ataupun disebutkan namanya – itu tetap tertidur. Makhluk itu akan terbangun ketika hari sudah gelap. Jika hal itu terjadi, maka dia akan memberi malapetaka yang mengerikan terhadap Innsbruck, beserta kota maupun desa di dekatnya, atau mungkin lebih luas lagi. Walakin, makhluk itu hanya dapat disaksikan secara jelas dari jendela kamar Ulrich. Seakan-akan jendela itu adalah portal gaib.

Sedangkan simfoni musik yang Ulrich mainkan itu adalah salinan dari mimpi-mimpi anehnya. Di mana Ulrich selalu bertemu dengan sesosok pria berkulit hitam tapi bukan dari ras negroid, bertubuh ramping, menyeramkan, dan memperkenalkan diri sebagai Phirethotep. Lalu pria hitam itu memainkan sebuah biola di depan Ulrich, dan berbeda di setiap mimpinya. Di semua akhir mimpi, pria hitam itu terus meminta Ulrich agar meniru dan memainkan musik tersebut setiap malamnya. Tetapi karena permainan biola itu sangatlah fantastis, dan di luar batas imajinasi maupun keterampilan manusia, maka Ulrich hanya dapat meniru seperempat dari simfoni yang dimainkan pria hitam tersebut.

Ulrich tidak boleh melewatkannya atau berhenti di tengah permainan. Jika itu terjadi, maka makhluk itu akan terbangun dan mengamuk. Oleh sebab itulah, dia terus melakukan rutinitas tersebut setiap malam, selama hampir empat dekade dalam hidupnya yang kesepian. Namun kini tubuhnya sudah sangat tua, dan terlalu lemah untuk melakukan rutinitasnya.

Di waktu yang bersamaan, kondisi panorama Innsbruck makin kabur, akibat kabut-kabut lebat dan pekat yang sudah mendarat di tiap jalan dan bangunan tertentu. Alhasil keadaan menjadi sangat gelap, meski lampu jalan dan bangunan masih menyala. Suara-suara aneh dan mengerikan mulai terdengar bersahutan dan menebar teror. Kondisi kian mencekam, sewaktu kabut mulai merangkak masuk ke dalam kamar Ulrich, melalui jendela yang terbuka lebar. 

Keadaan itulah yang membuat tubuhku membeku, dan Ulrich tidak dapat menyelesaikan ceritanya secara rinci, sehingga meninggalkan banyak sekali misteri. Aku terhuyung mundur menjauhi jendela, dan berinisiatif untuk pergi bersama Ulrich. Tetapi inisiatif tersebut ditolak secara mentah oleh pria tua Jerman yang keras kepala dan aneh itu. 

Kemudian Ulrich segera mengambil biola dan melanjutkan permainan musiknya. Di sisa waktu itulah, Ulrich menyempatkan diri untuk menoleh ke arahku dan berkata;

"Lauf! Rette dich selbst! (Lari! Selamatkan dirimu!)"

Itulah kalimat terakhir yang keluar dari mulut Ulrich; sebelum dia kembali melanjutkan permainan biolanya; lalu mengoyak kabut-kabut dengan permainan terliar yang pernah kudengar dari gesekan busurnya. 

Aku tidak bisa menggambarkan secara jelas, betapa gilanya permainan biola Ulrich di malam yang mengerikan itu, di saat kondisi tubuhnya yang lemah. Bahkan aku juga menyaksikan wajah Ulrich yang berubah, menjadi suatu ekspresi penuh ketakutan nyata yang tidak dapat kuanalisis. 

Tiba-tiba serangkaian sinar kosmik aneh mulai bermunculan di sekeliling Ulrich; serta angin kembali menghembus lebih kencang daripada sebelumnya. Hembusan angin itu membuat semua barang di kamar terhempas ke arah yang tidak beraturan, termasuk melempar tubuhku ke dinding dan menjauhi Ulrich. Aku menjadi histeris dan khawatir jika benda-benda itu akan mengenai Ulrich. Namun secara gaib, barang-barang yang terhempas tidak bisa mendekati tubuh pria tua itu.

Ulrich terus membuat suara musik yang menangkis angin, kabut, hingga sinar kosmik yang berusaha menyelimuti dirinya. Pertunjukan musik itu menjadi fantastis, mengigau, dan histeria. Dia memainkan musiknya lebih keras dan liar; meningkatkan jeritan putus asa dari biolanya tersebut. Ulrich meneteskan keringat yang luar biasa, dan mulai berputar seperti monyet liar dengan membabi buta. Dalam alunannya yang hiruk pikuk, aku melihat bayangan krampus di dalam dirinya, yang menari-nari di atas kegilaan kosmis yang paling liar. 

Ulrich berhasil menenggelamkan suara raungan penuh amuk, dari makhluk yang tidak dapat disebutkan di luar sana, termasuk meredupkan fenomena-fenomena aneh di sekelilingnya. Akan tetapi, itu tidak berlangsung lama, karena tubuhnya kian melemah sehingga merusak irama musiknya.

Walhasil angin kembali berhembus dan lebih kencang, sehingga merusak serta mengoyak dinding dan atap kamarnya. Sedangkan sinar kosmik kembali bersinar dan lebih menyakitkan mata. Kabut-kabut mulai kembali merangkak masuk. Mereka bersama-sama menyerang dan mencengkram tubuh Ulrich, yang masih memainkan biolanya.

Aku berusaha berteriak memanggil-manggilnya. Tetapi dia tidak menjawab atau mengurangi hiruk pikuk musiknya yang tidak terkatakan. Seketika secara tidak kuduga, aku bergidik ngeri sewaktu mendapati sebuah mata raksasa merah darah, yang mengintip masuk dari arah luar jendela. Kemudian mata raksasa itu mengutuk Ulrich, sehingga tubuhnya tenggelam ke dalam sinar kosmik, beserta kabut-kabut lebat dan pekat.

Kengerian itu telah menciutkan nyaliku, sehingga aku bergegas berlari ke arah pintu kamar dan menuruni tiap anak tangga, sambil menerobos hembusan angin yang makin menjadi-jadi, dan mengoyak-ngoyak bangunan St. Cecilia tanpa ampun. Aku melompat, melayang, hingga terbang menuju ke lantai paling dasar; berpacu tanpa berpikir ke jalan sempit yang gelap; menjauhi si pemilik mata raksasa yang diiringi oleh suara raungan dahsyat. Semua ini sangat mengerikan dan membekas secara permanen di batin dan ingatanku. Sesampainya di lantai dasar, aku hanya mengingat bahwa hembusan angin mulai berhenti; fenomena-fenomena aneh mulai meredup; dan keadaan mulai hening. Setelah dari itu, aku terlengar ke atas jalan berbatuan yang dingin.

****

Keesokan harinya aku dibangunkan oleh Vermieter, yang mendapati diriku dalam keadaan berantakan, dan tertidur di pinggir Jalan Mariahilfstraße. Lantas aku menceritakan kejadian semalam, tapi dia tampak kebingungan. Keadaan kian ganjil, saat dia mengaku sama sekali tidak mengetahui bangunan St. Cecilia dan juga tidak mengenal Ulrich Volker. 

Lantas aku segera menoleh ke arah bangunan St. Cecilia berada, tapi aku tidak menemukannya. Posisi bangunan St. Cecilia telah tergantikan oleh bangunan di sampingnya. Aku terkejut tidak main, saat mendapati keadaan tersebut.

Walakin, kegilaan tidak cukup sampai di situ saja. Aku juga mendapati beberapa wilayah, bangunan, dan jalan di Innsbruck yang ikut menghilang secara misterius. Seperti setengah dari Jalan Herzog-Friedrich-Straße, termasuk gang-gang kecilnya; beberapa bagian Jalan Innstraße, Jalan Burggraben, Jalan Mariahilfstraße, dan jalan-jalan lainnya; beberapa toko, kantor, dan penginapan; termasuk beberapa bangunan, wilayah, dan jalan lainnya yang belum kukenali. 

Berdasarkan dari ingatanku yang rusak dan mental yang terguncang; wilayah, jalan, hingga bangunan yang hilang itu adalah tempat-tempat yang berhasil diselimuti oleh kabut-kabut lebat dan pekat yang merangkak. Namun perihal yang lebih ganjil, semua orang tampak beraktivitas seperti biasa. Seakan-akan tidak pernah terjadi sesuatu, atau tempat-tempat tersebut memang tidak pernah ada.

Terlepas dari pencarianku yang paling hati-hati terhadap wilayah, bangunan, dan jalan yang hilang; aku tetap gagal menemukan mereka; termasuk bangunan St. Cecilia dan Ulrich Volker. Mereka semua hilang seperti butiran debu, serta tidak ada yang menyadari maupun mengingatnya, kecuali diriku sendiri. Aku juga tidak tahu, apakah peristiwa semalam adalah nyata atau tidak. 

Namun aku berharap bahwa semua itu hanyalah mimpi buruk. Jika tidak, aku berpikir bahwa kita berhutang banyak kepada Ulrich Volker. Mungkin jika dia tidak kembali memainkan biolanya, maka skala kekacauan akan jauh lebih besar dan mengerikan daripada apa yang dapat kubayangkan. Aku juga berharap makhluk raksasa yang tidak dapat dideskripsikan itu sudah lenyap, meski batinku tidak yakin sepenuhnya. 

****

Ikuti tulisan menarik Elnado Legowo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terkini

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB