x

Irjen Pol Ferdy Sambo ditahan di Mako Brimob Polri, Sabtu sore, 6 Agustus 2022.Foto-Ist.

Iklan

atmojo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Jumat, 26 Agustus 2022 07:07 WIB

Dua Usulan Menggapai Keadilan; Berkaca dari Kasus Tewasnya Brigadir J

Ribut soal rekayasa kasus – yang gagal – mesih terus berlangsung. Rekayasa kasus dalam tewasnya Biragir J ini mengingatkan berbagai rekayasa kasus yang pernah terjadi sejak lama, dari mulai kasus Sum Kuning hingga Sengkon-Karta. Bagaimana agar masyarakat bisa menggapai keadilan yang substantif? Ada dua usulan yang mungkin bisa dilakukan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Upaya rekayasa --  untungnya gagal – atas peristiwa pembunuhan  terhadap Brigadir Joshua yang kini ramai mengingatkan kita pada beberapa peristiwa tragis pada masa lalu. Ada peristiwa “Sum Kuning” yang membuat geger pada September 1970. Seorang gadis remaja diperkosa oleh beberapa pemuda gondrong dan cepak di dalam mobil dan dibuang di pinggir jalan. Oleh oknum polisi yang memeriksanya dia malah disiksa, dilecehkan, dituduh PKI, dan dipaksa mengatakan bahwa apa yang dialaminya adalah dusta belaka. Sum Kuning dituduh dengan Pasal 14 Ayat 2 UU No. 1 tahun 1946 juncto Pasal 61  KUHP. Sum memang akhirnya dibebaskan oleh Pengadilan Negeri Yogyakarta pada 1970 setelah perjuangan panjang.

Lalu ada kasus “Sengkon dan Karta” (1974) di Bekasi yang tak kalah hebohnya.  Singkatnya, kedua pria tersebut dituduh melakukan perampokan dan pembunuhan terhadap suami istri di Desa Bojongsari, Bekasi. Sengkon dan Karta ditangkap polisi. Keduanya disiksa oleh penyidik. Karena tidak tahan dengan siksaan polisi, mereka menyerah dan menandatangani Berita Aacara Pemeriksaan (BAP).

Hakim lebih percaya cerita polisi daripada bantahan Sengkon dan Karta di pengadilan. Pada Oktober 1977, Sengkon divonis 12 tahun penjara, sedangkan Karta divonis lebih ringan: 7 tahun. Putusan tersebut kemudian dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jawa Barat.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di penjara, Sengkon dan Karta bertemu Gunel, yang masih keponakan Sengkon. Gunel sendiri sudah berada di Lapas Cipinang karena kasus pencurian. Di penjara itulah Gunel akhirnya mengungkap rahasia dan mengakui bahwa dialah yang merampok dan membunuh pasangan suami-istri di Bekasi itu. Pengakuan ini kemudian menjadi bukti baru. Pada Oktober 1980, Gunel akhirnya divonis 12 tahun penjara.

Kasus-kasus “sejenis” masih bisa diperpanjang daftarnya, tapi kali ini cukuplah dua kasus itu sebagai contoh bahwa penegakan hukum di Indonesia masih belum sempurna. Bahkan Anda sendiri mungkin pernah mengalami atau merasakan, bahwa sangat susah menggapai keadilan yang substantif di sini. Lalu bagaimana? Apa yang bisa kita lakukan?

Ada dua yang hendak saya usulkan. Usulan pertama, di tingkat masyarakat, dibentuk semacam Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang khusus memeriksa atau menangani putusan pengadilan yang dirasa tidak tepat, mulai dari error in persona (salah orang) sampai yang dianggap tidak adil, atau salah dalam penerapan hukum.

Di Amerika Serikat, misalnya, ada lembaga swasta yang menamakan dirinya “The Innocence Projcet”. Lembaga ini didirikan pada 1992 oleh Peter Neufeld dan Barry Scheck di Sekolah Hukum Cardozo. Misi  “The Innocence Project” adalah untuk membebaskan  orang yang tak bersalah tapi tetap dipenjara, dan membawa reformasi sistem hukum yang lebih bertanggung jawab. Biasanya organisasi ini melakukannya melalui tes DNA.

Salah satu prestasi lembaga ini adalah dibebaskannya Archie Williams, 59 tahun, setelah 37 tahun ia dipenjara karena kejahatan yang tidak dia lakukan. Ceritanya, ketika seorang wanita kulit putih di Baton Rouge, Louisiana, diperkosa dan ditikam pada tahun 1982, dia berulang kali mengidentifikasi Archie Williams sebagai pemerkosanya. Williams, yang saat itu berusia 22 tahun, sebenarnya sedang tidur di rumah pada saat penyerangan terjadi, dan sidik jarinya tidak ditemukan di tempat kejadian. Tetapi, sebagai anak kulit hitam yang malang, dia tidak memiliki kemampuan ekonomi untuk melawan negara bagian Louisiana. Jadi, Archie dihukum pada tahun 1983 dan dijatuhi hukuman seumur hidup tanpa pembebasan bersyarat.

Pada tahun 1995, 12 tahun menjalani hukuman penjara, Archie Williams menulis surat kepada Pendiri Innocence Project, Barry Scheck, untuk meminta bantuan hukum.  Sejak saat itu hingga 2019, Scheck dan tim pengacara, termasuk Direktur Litigasi Vanessa Potkin—yang ditugaskan menangani kasus ini ketika dia bergabung dengan organisasi tersebut pada tahun 2000—mencoba segala cara untuk membuktikan bahwa Williams tidak bersalah. The Innocence Project New Orleans kemudian bergabung dengan tim hukum dalam kasus ini. Selama 20 tahun Negara memblokir akses ke barang bukti yang bisa menunjukkan bahwa dia tidak bersalah.

Akhirnya, pada 21 Maret 2019, Komisaris Kinasiyumki Kimble dari Pengadilan Distrik Louisiana membuat keputusan setelah bukti sidik jari baru, yang mengecualikan Williams, dicocokkan melalui database sidik jari nasional dengan Stephen Forbes, seorang pria yang juga telah melakukan serangkaian serangan seksual. Singkatnya, Archie Williams kemudian dibebaskan dari Lembaga Pemasyarakatan Negara Bagian Louisiana setelah menjalani 36 tahun.

Usulan Kedua, di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia  dibentuk lembaga adhoc – yang bisa saja menjadi permanen— untuk melihat kembali berbagai kasus yang “mencurigakan” untuk dievaluasi dari awal. Tim Independen ini bisa membuka kembali semua berkas dari awal, mengevaluasi, dan memberikan rekomendasi kepada pemerintah jika ditemukan hal-hal yang dianggap keliru atau tidak adil. Tujuan akhir dari proses ini adalah setiap orang mendapatkan keadilan sesuai dengan perbuatannya. Jika ada putusan yang keliru atau rekayasa, maka putusan harus dikoreksi, direhabilitasi, atau korban dibebaskan.

Di Amerika Serikat, hal ini dilakukan dengan membentuk Conviction Review Units (CRU) di sebuah negara bagian yang mengevaluasi putusan-putusan di wilayahnya. Di Philadelphia, misalnya, ada CRU yang dapat memeriksa kembali putusan-putusan peradilan yang dianggap salah oleh pencari keadilan. Dengan syarat-syarat tertentu, misalnya, pemohon harus masih hidup dan ada bukti otentik, orang yang merasa menjadi korban bisa melaporkan kepada CRU untuk membuka serta meneliti kembali kasusnya.

Lalau apa bedanya kedua usulan saya itu dengan mekanisme Peninjauan Kembali (PK) yang sudah ada sekarang? Ada beberapa perbedaannya. PK dibatasi waktu atau jumlahnya dan “korban” harus aktif, yang antara lain terpaksa menyewa pengacara dengan biaya mahal. Pemeriksa PK juga bisa jadi orang “itu-itu saja” yang bisa diragukan integritasnya. Sedangkan dua usulan saya adalah “korban”: cukup melapor dengan menyertakan kronologis dsergta bukti baru (jika ada), dan selanjutnya kedua lembaga itu yang aktif dan gratis.

Hukum seharusnya memang bukanlah sesuatu yang abstrak. Hukum adalah sesuatu yang Anda dan saya ciptakan dan wujudkan dalam pengalaman hidup sehari-hari. Dan keadilan tidak datang dari langit. Keadilan  terjadi ketika orang baik membuat hal itu terjadi. Hukum adalah keputusan. Hanya orang baik yang bisa membuat keputusan yang baik.

  • Atmojo adalah penulis yang meminati bidang filsafat, hukum, dan seni.

 

###

Ikuti tulisan menarik atmojo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler