x

Takut

Iklan

Supartono JW

Pengamat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Jumat, 26 Agustus 2022 07:08 WIB

Kemiskinan Nyata dan Kamuflase di +62; Miskin Pikiran dan Miskin Hati

Bila tidak miskin hati, miskin pikiran (otak), miskin kecerdasan (kepribadian, mental, emosi dll), maka hidup itu membuat diri dan orang lain bahagia. Bukan mempersulit diri dan orang lain demi hal-hal yang tidak signifikan dan menunjukkan kebodohan. (Supartono JW.25082022)

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dalam beberapa waktu hingga terkini, berita tentang Indonesia dikuasai oleh salah satu peristiwa luar biasa, yang saya sebut di dalamnya ada persoalan "kemiskinan" dalam berbagai-bagai. Mampu mengalihkan perhatian rakyat ke masalah lain. Atau memang dijadikan kendaraan pengalihan isu.

Selain itu, rakyat juga masih menunggu hasil obok-obok iuran BPJS. Tetapi rencana BBM mau dinaikkan lagi oleh pemerintah yang memicu keresahan rakyat, juga semakin mewarnai berbagai "kemiskinan" Indonesia yang seolah kamuflase.

Ironisnya, masalah kemiskinan harta, lain kisahnya dan menurut saya kontradiksi dengan berbagai fakta.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Miskin versi BPS?

Benarkah penduduk miskin Indonesia jumlahnya sesuai data dari Badan Pusat Statistik (BPS)? Bila menilik proses BPS dalam menghitung penduduk miskin Indonesia dengan metodanya, tentu kita tak boleh meragukan. Sebab siapa BPS itu. Namun, pertanyaannya, benarkah jumlah penduduk miskin Indonesia jumlahnya hanya sesuai hasil penghitungan BPS dengan caranya? Pasalnya, bila dilihat fakta kemiskinan di seluruh Indonesia, apa benar yang miskin hanya sejumlah itu?

Jangan sampai usaha pemerintah dan masyarakat untuk terus mengentaskan kemiskinan beritanya terus menunjukan hasil positif. Lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) juga mencatat jumlah penduduk miskin pada Maret 2022 hanya 26,16 juta orang atau 9,54% dari total penduduk Indonesia.

Padahal jumlah penduduk Indonesia mengalami peningkatan menjadi 275,77 juta jiwa hingga pertengahan 2022. Jumlah itu naik 1,13% jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Benarkah rakyat Indonesia yang miskin hingga Maret 2022 hanya 26an juta dari 275an juta?

Menariknya, dalam laporan BPS yang dirilis oleh beberapa media massa, persentase penduduk miskin pada Maret 2022 sebesar 9,54 persen, menurun 0,17 persen poin terhadap September 2021 dan menurun 0,60 persen poin terhadap Maret 2021. Sedangkan, jumlah penduduk miskin pada Maret 2022 sebesar 26,16 juta orang, menurun 0,34 juta orang terhadap September 2021 dan menurun 1,38 juta orang terhadap Maret 2021.

Kriteria penduduk miskin versi BPS, boleh jadi menghasilkan data penduduk miskin Indonesia yang demikian, tapi apakah faktanya demikian? Tidak mencapai 10 persen, lho. Penduduk Indonesia yang miskin.

Jujur, sebagai rakyat jelata, seharusnya kita bangga, penduduk miskin Indonesia yang dilaporkan oleh BPS.di bawah 10 persen. Tapi, bila fakta di lapangan tidak demikian? Apa yang sedang dicari? Menghibur diri? Menunjukkan kinerja pemerintah dan parlemen yang signifikan? Mencari prestasi?

Membaca informasi jumlah penduduk miskin sebelum pandemi atau pada Maret 2019 sebanyak 25,14 juta orang atau 9,41%. Jumlah penduduk miskin meningkat memasuki tahun pertama pandemi dan mencapai puncaknya pada Maret 2021 sebanyak 27,54 juta orang atau 10,14% dari total penduduk. Apakah ini sesuai fakta di lapangan?

Hakikat, sebab kemiskinan

Semoga semua perhitungan itu memang benar sesuai fakta. Tetapi, dengan melihat fakta kemiskinan dan penderitaan rakyat Indonesia plus ketidakadilan yang dirasakan selama ini, melalui artikel ini, saya hanya mengingatkan diri saya bahwa kemiskinan itu pada hakikatnya adalah keadaan saat ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan.

Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan.

Dari hakikat dan sebab kemiskinan itu, alhamdulillah bila BPS mencatat pada Maret 2022 hanya ada 26,16 juta orang atau 9,54% dari total penduduk Indonesia.

Lalu, banyak rakyat yang tidak terjaring kategori sesuai hakikat miskin, karena hidupnya memaksakan diri hingga sampai bergaya hedon. Walau sebenarnya terkategori miskin (harta).

Miskin harta, miskin hati, miskin pikiran

Setali tiga uang dengan perhitungan rakyat miskin (harta) yang memang bisa jadi tidak sesuai fakta, ini benar-benar bertolak belakang dengan kemiskinan di dunia pendidikan yang juga menjadi penyumbang terbesar rakyat jelata miskin harta. Karena pendidikannya di Indonesia juga terus terpuruk.

Akibatnya, kemiskinan pun terus bak air bah yang membanjiri pemikiran, otak (intelegensi) dan kemiskinan hati, kepribadian, mental, emosi, sosial (personality) rakyat Indonesia.

Karenanya, dengan tolok ukur hasil pendidikan yang terpuruk, kecerdasan intelegensi dan personality pun terus bermasalah. Kata lainnya, kemiskinan pendidikan lahirkan kemiskinan intelegensi dan personality, alias kemiskinan kecerdasan dan miskin hati.

Oleh sebab itu, dengan banyaknya rakyat yang masih miskin hati dan miskin pemikiran karena pendidikan masih terpuruk, maka seharusnya signifikan dampaknya atas kemiskinan harta.

Heran, banyak yang takut kehilangan bukan milik, agar bisa disebut kaya harta. Tetapi faktanya hanya membela gaya hidup di atas kemiskinan hati, pikiran, dan harta.

Coba, teraktual, terus ramai di +62, orang gaji dan tunjangannya hanya berapa, tetapi punya rumah mewah, mobil mewah, gaya hidup keluarganya hedon. Bukannya aslinya tidak kaya harta? Tetapi miskin hati, pikiran, harta, karena gagal memahami hakikat kemiskinan.

Semoga, saya akan selalu ingat tentang hakikat kemiskinan itu, sehingga jujur bahwa saya ini memang harus terus belajar dan memperbaiki diri agar tidak miskin hati, tidak miskin kecerdasan otak dan emosi, sehingga mendapat harta yang halal. Meski masih terkategori miskin, harus diakui, tidak perlu gengsi dan sok gaya-gayaan mengaku kaya.

Jangan memaksakan diri

Begitu pun dalam sikap keseharian, akibat kemiskinan yang sudah saya ungkap, banyak orang masih memaksakan diri dalam berbagai hal, meski faktanya, tak punya kemampuan untuk bertahan dan melanjutkan hal yang digeluti atau dikerjakan. Ini adalah bukti kemiskinan hati dan pikiran.

Pertanyaannya, untuk apa memaksakan diri? Untuk gaya? Untuk gengsi? Bisa hidup juga karena bergantung pada orang lain, hanya mengekor, hanya jadi parasit?

Bila tidak miskin hati, miskin pikiran (otak), miskin kecerdasan (kepribadian, mental, emosi dll), maka hidup itu membuat diri dan orang lain bahagia. Bukan mempersulit diri dan orang lain demi hal-hal yang tidak signifikan dan menunjukkan kebodohan. (Supartono JW.25082022)

Takut kehilangan yang bukan milik, demi kaya harta, hidup hedon. Miskin hati dan pikiran, melengkapi budaya dan tradisi, meski terus melukai. (Supartono JW.25082022)

Ikuti tulisan menarik Supartono JW lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler