x

Iklan

Okty Budiati

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 30 Juli 2022

Minggu, 28 Agustus 2022 07:26 WIB

Lubang Hitam Berbayar

Saya hanya dapat mengatakan bahwa makna seni, pendidikan, dan makna agama telah gagal di sini. Apakah manusia mereproduksi anak-anak mereka untuk membunuh atau terbunuh? Di mana waktu tidak lagi menjadi penting, bahwa dalam hitungan detik, menjadi pembunuh berdarah dingin adalah prinsip hidupnya yang diartikan secara salahkaprah.--Suatu tamparan realita sosial di Jakarta.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Memandang hidup pada pagi yang tidak begitu lazim. Ada aktivitas yang hadir serasa mengancam dirinya sendiri tentang dunia luar yang terbentuk dari beragam kesadaran realitas tentang masa remaja di megapolitan untuk heterosuburban. Entah mengapa, desakan untuk memilih diam sambil membaca jejak gaul heterosuburban Jakarta; nihil. Tidak adanya jurnal tentang proses chaos dimulai secara serempak. Hanya catatan singkat tentang kemunculan gangsters motor di beberapa negara-negara seperti Cina, Jerman, New Zealand, Italia, Rusia, Irlandia, bahkan hingga di Indonesia, dan, para pengguna narkotika dengan kepemilikan senjata api yang bebas di Amerika. Seluruh aktivitas tersebut tentu mengorbankan banyak nyawa, khususnya, anak-anak dan remaja.

Pablo Escobar telah menjadi nama penting bagi gangsters dunia. Bagaimana kondisi ini muncul dan terjadi sebagai budaya? Apakah ketimpangan sosial semakin terjerembab? Bisa jadi, demikian, atau mereka hadir untuk suatu counterculture lain yang lebih mengedepankan pentingnya kekeluargaan. Namun, berjalannya waktu, gerakan ini menjadi bumerang lain di luar lingkar kehidupan mereka.

Suatu jejak sejarah manusia di era modern, kelompok kecil menciptakan sosial baru yang memang sangat riskan untuk dibaca. Masalah ekonomi tentu menjadi muara awal dari semuanya, khususnya di masa revolusi abad dua puluh. Pertanyaan mendasar saya kali ini, apa kehadiran mereka hanya didasari oleh ketidakmerataannya ekonomi hingga hak hidup atau hal mendasar; ras dan agama?

Tidaklah demikian, sebab ini hanya tentang hasrat kuasa manusia untuk berkuasa. Mengingat artikel yang pernah dimuat di salah satu media online dari Inggris, berjudul: “The gangsters of Rome: the brutal side of the ancient city” yang ditulis oleh William Dalrymple. Pada awal artikel menyebut: “The Roman emperors created a world that seems modern but contains unspeakable horrors, as new books by Mary Beard and Tom Holland reveal.” Hal ini, berkembang ke berbagai pola desain negara, hingga pembuatan kota-kota baru. Apakah dalam prosesnya semua berjalan baik? Tidak. Anak-anak masih tetap menjadi korban awal untuk hasrat kuasa manusia berkuasa.

Di Indonesia sendiri, terlepas hal benar atau salah kehadiran gangsters motor, sudah banyak contoh di mana ada negara-negara yang mampu meminimalisir kehancurannya, namun beberapa negara yang tidak mampu mengatasi perekonomiannya hingga banyak kebijakannya berada di bawah kuasa para gangsters motor. Hal ini tidak akan berdampak langsung kepada anak-anak pemegang pemerintahan serta pengusaha. Namun bagi mereka yang hidup di dalam wilayah menengah hingga menengah ke bawah, yang tanpa disadari semacam melahirkan anak untuk siap dibawa ke tiang guillotine dalam menjalani kehidupannya hingga mati. Sedangkan, anak-anak yang melarut di dunia gangsters akan meregenerasi produksi terbrutal, semacam lubang hitam berbayar, jika hal ini tidak mendapatkan penanganan dalam sisi netral dan bukan berbentuk kekerasan. Tentu saja, gaya hidup mereka sangat menakjubkan sebagai contoh kelas tandingan atas strata sosial.

Saya hanya dapat mengatakan bahwa makna seni, pendidikan, dan makna agama telah gagal di sini.

Apakah manusia mereproduksi anak-anak mereka untuk membunuh atau terbunuh? Di mana waktu tidak lagi menjadi penting, bahwa dalam hitungan detik, menjadi pembunuh berdarah dingin adalah prinsip hidupnya yang diartikan secara salah kaprah. Sebuah perjalanan hidup manusia yang tidak pernah diminta pun menjadi status seseorang untuk mendapat label negatifa sebagai bentuk putusan moralitas sosial yang berpikir sederhana tanpa pernah memahami atau mencoba membaca klausa sebab akibat secara praktek nyata di dunia mereka. Suatu tamparan realita sosial di Jakarta.

Ikuti tulisan menarik Okty Budiati lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler