x

Iklan

Dhien Favian

Mahasiswa Sosial-Politik
Bergabung Sejak: 19 November 2021

Senin, 29 Agustus 2022 14:59 WIB

Kick-Off Sosialisasi RKUHP dan Menggemanya Suara Perlawanan Masyarakat

Berkaca pada kondisi politik-hukum nasional saat ini yang semakin menjauh dari tujuan bernegara bangsa Indonesia, terutama mengenai pengesahan undang-undang kontroversial seperti UU KPK, Omnibus Law, dan lain sebagainya, maka penghidupan kembali revisi KUHP seakan kembali menunjukkan intensi penguasa yang membuat instrumentasi hukum secara sepihak tanpa pertimbangan keseluruhan dari masyarakat.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tepat pada hari Selasa tanggal 23 Agustus, ditengah pemberitaan media massa dan perhatian publik yang masih berkutat pada kasus pembunuhan Brigadir Yosua dan seluk-beluknya, Pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Komunikasi dan Informatika, dan Kementerian Koordinator Poliitk, Hukum, dan Keamanan kembali melakukan agenda sosialisasi RKUHP yang dilaksanakan di Hotel Ayana Mid Plaza, dengan fokusnya tertuju pada penyampaian RKUHP kepada seluruh pihak yang diundang sebelum nantinya RKUHP ini akan disahkan oleh DPR dalam waktu dekat. Sosialisasi ini dilakukan secara terbatas dengan mengundang beberapa pihak – seperti pejabat kementerian, mahasiswa, hingga himpunan LSM – dimana sosialisasi perdana ini akan menjadi batu pijakan pertama bagi pemerintah dalam menyampaikan undang-undang hukum pidana terbaru kepada semua pihak dan pengesahan RKUHP baru ini juga dianggap sebagai revolusi hukum pidana terbaru oleh pemerintah dalam menggantikan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang selama ini merupakan warisan produk kolonial Hindia Belanda.

Ketika sosialisasi dilangsungkan, tampak seseorang yang bernama Edward Omar Sharif Hiariej (dikenal sebagai Prof Eddy) maju sebagai pihak pembicara utama dalam sosialisasi tersebut, dimana Edward yang posisinya sebagai Wakil Menteri Hukum dan HAM saat ini memiliki posisi yang penting dalam perumusan Revisi KUHP, yaitu sebagai penggagas utama dan sekaligus juru bicara dari RKUHP tersebut. Penyampaian materi sosialisasi oleh Edward memang tertuju pada muatan substansi terbaru dari RKUHP dan urgensi dari pembaruan KUHP, dimana Edward menyatakan pembaruan KUHP harus segera disahkan oleh karena KUHP lama sudah tidak lagi relevan dengan kondisi bangsa yang semakin kompleks seiring perkembangan zaman dan RKUHP ini nantinya akan memberikan kepastian hukum yang komprehensif, terutama terkait pengaturan atas segala aspek kehidupan masyarakat yang tidak dijamah oleh KUHP sebelumnya. Pernyataan Edward mengenai RKUHP tidak bisa dipisahkan dari latar belakang Edward sendiri, dimana sebagai wakil menteri yang paling getol mendorong revisi KUHP, Edward sendiri merupakan akademisi hukum asal Universitas Gadjah Mada (UGM) yang menganut aliran hukum positivis dan melalui pembacaannya mengenai KUHP lama selama karier akademisnya, ia memandang bahwa KUHP lama harus segera diganti dengan yang baru oleh karena KUHP lama tidak mampu menangani sebagian besar gejala hukum yang muncul pada masa kini dan atas dasar itulah revisi terhadap KUHP lama harus dilakukan oleh pemerintah untuk memperkuat legitimasi hukum pidana Indonesia dalam menghadapi perkembangan zaman.

Pandangan tersebut tetap dilanjutkan oleh Edward setelah ditunjuk sebagai Wakil Menteri Hukum dan HAM oleh Presiden Jokowi, dimana visi Edward mengenai perubahan KUHP secara bersamaan diwakilkan oleh DPR pada tahun 2019 silam, dimana mayoritas anggota DPR periode 2014-2019 menerbitkan wacana pengesahan RKUHP pada akhir masa jabatan mereka dan pembahasan di internal dewan juga dilakukan melalui serial rapat paripurna yang berlangsung sejak Juli 2019. Kendati demikian, upaya revisi ini terpaksa dibatalkan oleh pemerintah dikarenakan wacana RKUHP mendapatkan perlawanan keras dari mahasiswa dan masyarakat sipil dan gelombang demonstrasi yang masif tersebut akhirnya memaksa DPR untuk menunda sementara pembahasan RKUHP ditengah fluktuasi Pemilu 2019. Setelah Jokowi kembali menjadi presiden pada tahun 2019, revisi KUHP kembali digaungkan oleh Pemerintah dan DPR, dengan potensi diluluskannya RKUHP jauh lebih besar sebagai akibat dari kentalnya corak oligarkis pada pemerintah sekarang dan kini Edward sebagai Wakil Menkumham seolah diposisikan sebagai “punggawa” revisi tersebut di depan layar kendati RKUHP juga merupakan inisiatif (hampir seluruhnya) elite pemerintah untuk membenahi hukum pidana Indonesia.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Berkaca pada kondisi politik-hukum nasional saat ini yang semakin menjauh dari tujuan bernegara bangsa Indonesia, terutama mengenai pengesahan undang-undang kontroversial seperti UU KPK, Omnibus Law, dan lain sebagainya, maka penghidupan kembali revisi KUHP seakan kembali menunjukkan intensi penguasa yang membuat instrumentasi hukum secara sepihak tanpa pertimbangan keseluruhan dari masyarakat dan KUHP terbaru ini juga dikhawatirkan akan menjadi instrumen utama pemerintah untuk melanggengkan kuasanya melalui pasal-pasal pidana yang kontroversial. Upaya perlawanan dari masyarakat sipil dan akademisi terhadap pengesahan RKUHP masih terus berlangsung sampai saat ini – baik kajian kritis hingga demonstrasi – dan narasi yang digaungkan oleh arus perlawanan masyarakat sipil ini menyebutkan bahwa RKUHP yang diinisiasi oleh pemerintah justru akan mengembalikan nuansa penjajahan era kolonial pada saat ini dan semua pihak bisa terkena jeratan RKUHP tanpa terkecuali. Ada satu hal yang menarik terkait upaya perlawanan masyarakat terhadap RKUHP yang direpresentasikan melalui debat publik Mata Najwa, dimana debat ini dilangsungkan dengan mempertemukan dua pihak – yaitu Edward Hiariej selaku Wamenkumham dan Zainal Arifin Mochtar selaku akademisi hukum UGM – dan debat publik tersebut berlangsung secara intens dalam membahas substansi dan urgensi dari RKUHP. Dalam perjalanannya, debat ini didominasi oleh kritik Zainal Arifin mengenai RKUHP yang mana KUHP baru ini secara ringkasnya tidak menjawab kebutuhan masyarakat Indonesia dikarenakan dua hal, yaitu keberadaan pasal-pasal yang mengancam keamanan masyarakat dan adanya eksklusivitas pejabat negara dalam membentengi dirinya melalui pasal pidana, dan keduanya tidak mencerminkan pembentukan hukum yang responsif dan demokratis yang apabila nantinya akan disahkan, hal ini akan berdampak buruk pada demokrasi dan penegakkan hukumnya yang cenderung berat sebelah.

Selain itu, ia memandang bahwa keterlibatan aparat penegak hukum dalam penegakkan RKUHP tentu tidak bisa bersifat imparsial dikarenakan mereka merupakan instrumen negara dan kedudukan mereka sebagai instrumen negara cenderung akan mendorong aparat untuk menindak pelaku kejahatan tanpa pertimbangan yang restoratif dan substantif, sehingga penegakkan hukum yang ada justru semakin melanggengkan kuasa negara alih-alih memperbaiki kehidupan masyarakat. Penyampaian kritik oleh Zainal ini mendapatkan respon luar biasa dari mahasiwa dan masyarakat sipil dikarenakan keseluruhan pernyataan Zainal merefleksikan posisinya yang tetap berpihak pada kebenaran akademik dan pernyataan ini juga menjadi representasi dari keresahan masyarakat dibalik wacana pengesahan RKUHP oleh pemerintah, sehingga publik seolah mendapatkan dukungan dari adanya debat tersebut. Tidak hanya debat kritis yang mempertandingkan sesama akademisi terkait wacana pengesahan RKUHP, kelompok sipil yang diwakili oleh Aliansi Nasional Reformasi KUHP melakukan aksi protes secara langsung ditengah pelaksanaan kick-off sosialisasi RKUHP dengan menyela sesi sosialisasi RKUHP dan menyerukan kata “sosialisasi tanpa partisipasi” sebagai bentuk kekesalan akan sosialisasi yang tidak melibatkan publik secara keseluruhan dan justru lebih bersifat seperti monolog dari pemerintah. Kata “sosialisasi tanpa partisipasi” sontak menjadi slogan singkat dalam merespon sosialisasi RKUHP dan kick-off yang memang dilangsungkan di hotel mewah ini kembali mencerminkan niat palsu pemerintah dalam menggalang partisipasi publik untuk RKUHP ini dan protes oleh masyarakat dalam kick-off ini akhirnya harus dihentikan setelah mereka meninggalkan ruangan.

Kendati protes ditengah sosialisasi RKUHP, suara kritis publik tetap menggema melalui aksi mahasiswa di depan Kepolisian Daerah Bali yang pada tanggal 24 Agustus kemarin dilakukan serap aspirasi RKUHP oleh pemerintah, dimana mahasiswa kembali melayangkan protes terkait sosialisasi yang hanya dilakukan secara tertutup pada level daerah dan protes tersebut juga ditindaklanjuti dengan desakan kepada Pemerintah dan DPR untuk membatalkan seluruh proses RKUHP melalui forum tersebut. Berkaca pada fenomena sosialisasi RKUHP secara sepihak dan perlawanan publik yang menyertainya, masyarakat kembali disuguhkan fenomena pemerintah yang seolah bersikap “dungu” dalam menciptakan sebuah legislasi melalui pembuatan undang-undang yang bersifat sporadis ini kerap ditujukan untuk kepentingan pemerintah dan swasta semata tanpa memperhatikan kehendak publik secara konsekuen, dan kemarahan publik kepada pemerintah sejak 2020 melalui Ominbus Law justru diperparah kembali dengan pengembalian wacana RKUHP. Atas dasar itulah, perlawanan sipil melalui mahasiswa dan LSM sejatinya tetap harus dipertahankan untuk memelihara amanat demokrasi dan penegakkan hukum yang representatif sejak era Reformasi dan suara-suara kritis publik juga harus tetap digaungkan secara lebih nyaring untuk mendesak pemerintah kembali kepada jalan yang benar, karena bila tidak bukan tidak mungkin Indonesia akan kembali kepada zaman Orde Baru dengan beberapa modifikasinya.

 

Ikuti tulisan menarik Dhien Favian lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler