x

Nadiem

Iklan

Supartono JW

Pengamat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Jumat, 2 September 2022 06:35 WIB

Anggaran Pendidikan Mahal, Ujung Tombaknya Terus Bermasalah?

Atas semua hal tersebut, kira-kira bagaimana hasil.pendidikan Indonesia di tahun ajaran 2022/2023 yang menggunakan anggaran APBN 2022? Bagaimana hasil pendidikan akan signifikan dengan besarnya anggaran, tetapi ujung tombak pendidikan masih berkutat pada tataran guru yang tidak layak masih ratusan ribu, atau jutaan. Guru yang belum kompeten juga yakin masih mengalahkan jumlah guru yang sekadar layak. Guru yang belum tersertifikasi pun masih cukup banyak

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kendati Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) mengusulkan tambahan anggaran sebesar Rp 10,15 triliun pada tahun 2023, tetapi pemerintah tetap berkomitmen menjaga anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari anggaran belanja negara dalam APBN 2023. Anggaran pendidikan tahun 2023 bertujuan untuk meningkatkan sumber daya manusia berkualitas dan berdaya saing.

“Anggaran pendidikan tahun 2023 meningkat Rp33,4 triliun menjadi sebesar Rp608,3 triliun. Hal ini menggambarkan 20% komitmen tetap dijaga,” ungkap Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati dalam Rapat Kerja Badan Anggaran DPR dengan Pemerintah ditulis, Rabu (31/8/2022). Sebab anggaran pendidikan tahun 2022 adalah Rp574,9 triliun.

Logika usulan Nadiem

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sejatinya, dengan pemerintah tetap berkomitmen mengucurkan anggaran sebesar 20% dari APBN, namun ada usulan tambahan anggaran Rp10,15 triluliun oleh Nadiem, menjadi pertanyaan publik.

Meski usulan tambahan anggaran pendidikan tidak sampai 1 persen, yaitu untuk melanjutkan berbagai program prioritas Kementerian Pendidikan, pemerintah tetap bergeming.

Tambahan anggaran menurut Nadiem, “Kami mengusulkan tambahan anggaran total Rp 10,15 triliun, untuk memastikan capaian Program Indonesia Pintar untuk dikdasmen dan KIP Kuliah, revitalisasi Candi Muaro Jambi, untuk Museum Nasional, Pendidikan Vokasi, Program Sekolah Penggerak, Guru Penggerak, dan lainnya,” ujar Nadiem dalam rapat kerja bersama Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Selasa, 30 Agustus 2022.

Namun dengan keputusan dan komitmen pemerintah, bahwa anggaran pendidikan tetap 20 persen, maka usulan anggaran yang disampaikan Nadiem pun hanya tinggal usulan. Padahal, secara logis, usulan tambahan anggaran untuk apa, masuk akal.

Rp608,3 triliun, siginifikan hasil pendidikan?

Pemerintah juga memastikan tunjangan untuk profesi guru non-PNS atau honorer akan tetap diberikan pada 2023. Lantaran, alokasi untuk tunjangan guru honorer ini telah dimasukkan dalam anggaran APBN 2023.

Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, pemerintah menetapkan anggaran pendidikan di 2023 sebesar Rp 608,3 triliun, naik dibandingkan anggaran pendidikan tahun lalu yang sebesar Rp 574,9 triliun, terdiri dari belanja pemerintah pusat sebesar Rp 233,9 triliun, transfer ke daerah (TKD) sebesar Rp 305 triliun, dan melalui pembiayaan sebesar Rp 69,5 triliun.

Secara rinci, untuk pos belanja pemerintah pusat mencakup alokasi untuk beasiswa Program Indonesia Pintar (PIP) kepada 20,1 juta siswa. Lalu untuk beasiswa program Kartu Indonesia Pintar (KIP) kepada 976.800 mahasiwa, serta alokasi untuk tunjangan profesi guru (TPG) non-PNS kepada 556.900 guru honorer.

Selanjutnya, pada pos transfer ke daerah mencakup alokasi untuk Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang diberikan kepada 44,2 juta siswa, dan BOS Paud yang diberikan terhadap 6,1 juta peserta didik. Berikutnya, pos pembiayaan mencakup alokasi untuk dana abadi pendidikan, termasuk dana abadi pesantren, dana abadi riset, dana abadi perguruan tinggi, dana abadi kebudayaan. Selain itu, dialokasikan untuk pembiayaan pendidikan.

Jauh panggang dari api?

Anggaran pendidikan yang cukup besar, 20 persen dari APBN yang sudah dipastikan hingga anggaran 2023, hingga tahun ajaran 2021/2022, apakah hasilnya signifikan terhadap peningkatan pendidikan Indonesia? Jawabnya, masih boleh dibilang jauh panggang dari api.

Mengapa hasil pendidikan hingga 77 tahun Indonesia merdeka, hasilnya terus jauh panggang dari api? Salah satu jawabannya, dari sekian banyak masalah benang kusut pendidiian Indonesia meski diberikan anggaran besar, adalah pada ujung tombaknya. Ujung tombak pendidikan adalah guru. Tetapi masalah guru di Indonesia sangat sulit diurai benang kusutnya, terutama dari segi kompetensi.

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen menyatakan bahwa kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalan.

Kompetensi guru merupakan perpaduan antara pengetahuan, kemampuan, dan penerapan dalam melaksanakan tugas di lapangan kerja. Kompetensi guru terkait dengan kewenangan melaksanakan tugasnya, dalam hal ini dalam menggunakan bidang studi sebagai bahan pembelajaran yang berperan sebagai alat pendidikan, dan kompetensi pedagogis yang berkaitan dengan fungsi guru dalam memperhatikan perilaku peserta didik belajar.

Menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2007 Tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru, adapun macam-macam kompetensi yang harus dimiliki oleh tenaga guru antara lain: kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional dan sosial yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Keempat kompetensi tersebut terintegrasi dalam kinerja guru.

Pertanyaannya, hingga tahun ajaran 2021/2022, dari seluruh level guru, sudah berapa persen guru di Indonesia yang terkatogeri kompeten, lulus semua kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional, dan sosialnya?

Coba simak, dari Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, hanya ada 2,91 juta guru layak mengajar di Indonesia pada tahun ajaran 2020/2021. Malah, dari laporan disebutkan bahwa guru yang layak mengajar hanyalah guru yang telah memenuhi syarat kualifikasi akademik (guru dengan ijazah D4/S1 atau lebih tinggi).

Meski jumlah ini meningkat 9,60% dibandingkan tahun ajaran sebelumnya atau secara year-on-year (yoy). Tercatat, jumlah guru layak mengajar di Indonesia ada sebanyak 2,65 juta guru pada tahun ajaran 2019/2020, tetapi standar layak hanya dari ukuran kualifikasi akademik.

Sudah begitu, mayoritas guru yang disebut layak mengajar pada tahun ajaran 2020/2021 adalah guru di sekolah dasar (SD). Jumlahnya mencapai 1,56 juta atau 53,91% dari total guru layak mengajar secara nasional.

Sementara, guru yang layak mengajar di sekolah menengah pertama hanya 689.313 guru. Lalu, ada 330.339 guru yang layak mengajar di sekolah menengah atas (SMA) dan 321.964 guru layak mengajar di sekolah menengah kejuruan (SMK) tanah air.

Lebih spesifik, berdasarkan wilayah, jumlah guru layak mengajar terbanyak ada di Jawa Barat. Rinciannya, guru layak mengajar di SD banyak 215.121 guru, guru layak mengajar di SMP sebanyak 93.141 guru, guru layak mengajar di SMA sebanyak 37.833 guru, dan guru layak mengajar di SMK sebanyak 56.592 guru.

Meskipun jumlah guru layak mengajar di Indonesia cenderung meningkat sejak tahun ajaran 2017/2018. Bahkan, jumlah guru layak mengajar pada 2020/2021 merupakan yang tertinggi selama empat tahun terakhir, itu hanya dari sudut kelayakan berdasarkan kualifikasi akademis.

Lebih miris, dikutip dari data statistik laman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI (statistik.data.kemendikbud.go.id) total guru di Indonesia untuk tahun ajaran 2019/2020 hanya berjumlah 2.698.103 orang. Jumlah siswa 45.534.371 orang. Artinya, dibanding jumlah siswa, maka jumlah guru hanya ada 6 persen dari total siswa SD, SMP, SMA, SMK.

Seluruh guru tersebut sudah terhitung dari guru tetap (PNS/Yayasan), guru tidak tetap/guru bantu, guru honorer daerah (Honda), dan guru tidak tetap (GTT). Coba, bila dibandingkan dengan data statistik BPS menyoal guru yang layak di tahun ajaran 2021/2022, guru hanya berjumlah 6 persen, lalu masih ada berapa ratus ribu guru yang tidak layak sesuai kualifikasi akademik?

Dengan anggaran pendidikan yang besar, mustahil berharap pendidikan akan berhasil bila masalah guru masih berkutat pada kelayakan dan minimnya jumlah guru. Padahal, untuk menghasilkan pendidikan yang berkualitas, guru wajib berpredikat kompeten, bukan sekadar layak.

Anggaran besar, guru kompeten

Dengan anggaran pendidikan yang besar, mengapa persoalan guru terus terjadi sepanjang masa di Indonesia? Guru bukan hanya harus layak, tetapi wajib kompeten, dan wajib tersertifikasi. Masalah layak dan kompeten masih terus menjadi Pekerjaan Rumah (PR) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek). Masalah sertifikasi pun menambah keruh pendidikan.

Menurut Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Kemendikbudristek), Iwan Syahril, kebutuhan akan guru bersertifikat sangat besar.

“Akan tetapi, kebutuhan tersebut tidak diimbangi dengan jumlah guru yang menjadi peserta pendidikan profesi guru,” ujar Iwan dalam keterangannya, Senin (11/4/2022), seperti dikutip beberapa media nasional.

Iwan menambahkan, pada 2022, jumlah guru yang pensiun sebanyak 70.000 orang, namun jumlah guru maupun calon guru yang mengikuti Pendidikan Profesi Guru (PPG) hanya sekitar 30.000 orang. Padahal, dengan mengikuti PPG, lanjut dia, tata kelola dan kesejahteraan guru lebih terjamin. Lulusan perguruan tinggi yang mengikuti PPG tersebut tidak perlu bingung, karena pemerintah terus berupaya meningkatkan formasi ASN guru.

Menurut Direktur Kelembagaan Direktorat Pendidikan Tinggi Riset Teknologi (Diktiristek) Ditjen Diktiristek Kemendikbudristek, Lukman mengatakan saat ini terdapat lebih dari 1,2 juta guru yang belum memiliki sertifikat pendidik.

Selain itu, banyak juga Lembaga Pendidik Tenaga Kependidikan (LPTK) yang belum memadai untuk melayani kebutuhan sertifikasi guru setiap tahun. LPTK penyelenggara PPG perlu ditingkatkan kemampuannya dalam merancang pembelajaran yang inovatif.

Atas semua hal tersebut, kira-kira bagaimana hasil.pendidikan Indonesia di tahun ajaran 2022/2023 yang menggunakan anggaran APBN 2022? Bagaimana hasil pendidikan akan signifikan dengan besarnya anggaran, tetapi ujung tombak pendidikan masih berkutat pada tataran guru yang tidak layak masih ratusan ribu, atau jutaan. Guru yang belum kompeten juga yakin masih mengalahkan jumlah guru yang sekadar layak. Guru yang belum tersertifikasi pun masih cukup banyak.

Bagaimana lahir siswa cerdas intelegensi, cerdas personality? Bagaimana lahir manusia berkarakter, luhur budi, rendah hati, tahu diri dari hasil pendidikan. Sementara bicara kreativitas dan inovasi, juga terus menjadi barang mahal.

Tahun ajaran baru 2022/2023, dengan Kurukulum Merdeka pun, malah sekolah lebih lama memenjara siswa di sekolah. Apa yang akan didapat oleh siswa bila garansi sekolah dan gurunya hanya sekadar layak? Banyak yang belum kompeten? Banyak yang belum tersertifikasi?

Ikuti tulisan menarik Supartono JW lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler