x

Sumber ilustrasi: picjumbo.com

Iklan

Ikhwanul Halim

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Jumat, 2 September 2022 20:57 WIB

Siaran Langsung

Syauki Kurnia mengamati awan lembayung di langit kelam, sementara dia mendengar suara derak yang sudah dikenalnya di dalam mobil boks-nya. Dia pikir awan terlihat seperti membawa hujan, dan dia senang. Hujan berarti lebih sedikit orang, lebih sedikit mata, lebih sedikit percakapan. Dia bisa menjalankan tugasnya dengan kepala tertunduk, tanpa takut diganggu, dengan cara yang dia suka.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pagi itu dingin dan gelap dan sunyi. Jalanan hampir kosong, aneh untuk hari Senin, bahkan pada jam sepagi ini.

Syauki Kurnia mengamati awan lembayung di langit kelam, sementara dia mendengar suara derak yang sudah dikenalnya di dalam mobil boks-nya.

Dia pikir awan terlihat seperti membawa hujan, dan dia senang. Hujan berarti lebih sedikit orang, lebih sedikit mata, lebih sedikit percakapan. Dia bisa menjalankan tugasnya dengan kepala tertunduk, tanpa takut diganggu, dengan cara yang dia suka.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Saat mobil mendaki bukit, dia melihat lampu mendekat. Sebuah sedan melewatinya, lalu menghilang di balik bukit di belakangnya. "Lima," katanya, karena dia telah menghitung.

Hujan mulai pukul enam, dan pada pukul enam tiga puluh angin bertiup kencang. Angin bertiup dan melolong, dan Syauki mencengkeram roda kemudi lebih erat saat dia melaju. Dia tahu betul betapa berbahayanya cuaca ini.

Jantung berdebar ketika berbelok ke jalan yang sepi dan melihat seorang wanita. Tekadnya kuat, dan dia ngebut sekencang-kencangnya di jalan basah. Kakinya gemetar saat menginjak pedal gas. Dia ingin berhenti. Dia ingin keluar dari mobil box dan berteriak padanya, “Apa yang kamu lakukan? Apakah kamu tidak tahu betapa berbahayanya ini? Apakah kamu tidak tahu kamu bisa celaka?”

Wanita itu melambai saat dia ngebut melewatinya, menghilang di tikungan, tetapi konsentrasi Syauki terganggu sehingga melewatkan belokan berikutnya di jalurnya.

Syauki menyadari kesalahannya dan membuat mobil itu berhenti mendadak. Dia melirik kaca spionnya untuk melihat apakah dia bisa memutar mobil. Jalanan cukup lebar dan tidak ada kendaraan, hanya hujan. Dia memutar roda kemudi sekuatnya ke kanan dan mulai berputar.

Syauki mengutuk ketika dia melihat seorang anak laki-laki berusia sekitar enam belas tahun di tengah jalan, muncul entah dari mana. Syauki membanting kemudi dan berhenti. Remaja laki-laki itu menjerit ketakutan, yang diredam dengan menutup mulutnya dengan kedua tangan.

Syauki mengenali anak itu. Lebih tepatnya, dia mengenali luka-luka itu. Dia melihat tulang paha anak laki-laki itu menusuk daging. Dia melihat tengkorak yang penyok. Dia melihat tubuh yang tertekuk, tempat tulang rusuk di sisi kiri bocah itu hancur. Dia melihat darah. Darah di mana-mana, dan darah itu tak hilang karena hujan. Darah itu tidak akan hanyut terbawa hujan.

Syauki mencari-cari ponselnya yang disimpan di saku mantelnya. Dia menemukannya dan menyalakan kamera, tetapi ketika dia melihat ke jalan lagi, anak itu hilang.

***

Syauki laksana hantu. Avatar. Pengintip tanpa nama yang lebih suka melihat dunia melalui ponselnya. User1034893. JonoXYZ. Fulan Alduni. Di Twitter, di Instagram, di Facebook, dia biasa mengintip.

Dia bisa menjelajahi dunia tanpa harus menjawab pertanyaan. Dia dapat memantau hal-hal yang dia butuhkan tanpa ada yang bertanya apa yang dia lakukan.

Pada malam hari dia tidak bisa tidur, dia mengilir aplikasi di ponselnya. Selama berbulan-bulan, media sosial telah memberikan kepastian. Namun sekarang, setelah melihat bocah itu, dia menjelajahi dunia maya dengan semangat baru. Dia duduk dalam kegelapan, dengan wajah diterangi cahaya layar ponsel, dan memeriksa setiap profilnya dengan cermat.

Anak laki-laki itu berasal dari keluarga kecil, dan mudah untuk mengikuti mereka di setiap platform tempat mereka memiliki akun. Teman-temannya lebih sulit dilacak, tetapi dengan memantau akun bocah itu di minggu-minggu setelah kematiannya, Syauki dapat menyusun daftar lengkap dari pesan belasungkawa.

Begitu jaringan anak laki-laki itu memenuhi duka publik, mereka haus akan keadilan. Pada awalnya, pembaruan tak putus-putus mengalir. Keluarga dan teman-teman memposting tentang interaksi mereka dengan polisi, memperbarui jalannya penyelidikan pembunuhan anak laki-laki itu, dan memohon bantuan warganet untuk tips atau apa pun yang dapat membantu menangkap pembunuhnya. Akhirnya, semangat itu mereda, dan Syauki bisa beristirahat dengan lebih tenang. Dunia sepertinya menerima bahwa pembunuh bocah itu tidak akan pernah tertangkap.

Rahang Syauki gemetar saat melihat profil Twitter seorang gadis bernama Santi Medina. Santi adalah pacar anak laki-laki itu ketika dia meninggal. Sebenarnya dia sedang pulang dari rumahnya malam itu.

Hanya satu jam sebelumnya, Santi mengirim twit, ‘Aku tidak percaya ini adalah setahun kepergianmu. Aku sangat merindukanmu, Jodi.’

Itu adalah pesan yang bisa dipahami siapa saja, bahkan tidak berbahaya, dan pesan yang ditunggu Syauki seandainya dia memikirkannya. Namun, dia dicengkeram secara fisik oleh rasa takut ketika melihatnya. Dia melihat kebebasannya menghilang begitu menampak anak laki-laki di jalan itu hari ini.

Guntur bergemuruh di kejauhan. Dia tahu bahwa penglihatan anak laki-laki itu tidak nyata, bahwa hanya rasa bersalahnya, beberapa neuron yang salah arah di otaknya yang menggali ingatan yang mengerikan itu.

Dia meyakinkan dirinya sendiri dengan kata-kata seperti itu.

Lalu mengapa dia begitu ketakutan?

***

Minggu ini mencatat rekor baru untuk curah hujan di daerah tersebut. Selokan meluap, rumah-rumah di bawah bahu jalan kebanjiran, dan Syauki tetap menjalankan tugas semuanya.

Cuaca membuat setiap langkah lebih sulit, setiap blok tampak lebih jauh, tetapi tidak peduli seberapa lelahnya dia, dia tidak dapat tertidur.

Laman media sosial Jodi kembali aktif. Pesan kenangan baru mengisi dinding Facebook-nya dan bagian komentar dari posting Instagram terakhirnya. Keluarga dan teman-temannya men-twit tentang dia terus-menerus, gambar dan kenangan indah. Wajahnya ada di mana-mana, dan Syauki tidak menghindarinya seperti yang dia mau. Dia harus tahu apa yang sedang terjadi.

Jika minat baru dalam kehidupan Jodi mengarah pada kasus dibuka kembali, dia perlu tahu, sehingga dia bisa melarikan diri. Dia memeriksa ponselnya secara kompulsif. Dia memeriksanya saat dia makan, bekerja, mengemudi.

Pada hari Jumat pagi, Syauki mengemudikan truknya untuk memulai jalurnya. Hujan telah reda, setidaknya untuk saat ini, tetapi awan mendung dan rendah di langit, memperingatkan bahwa akan ada lebih banyak lagi yang akan datang. Namun, orang tampaknya ingin memanfaatkan penangguhan hukuman itu. Syauki menghitung dua puluh mobil sebelum pukul lima pagi.

Sebelum dia menyadari apa yang dia lakukan, Syauki telah membuka Instagram. Dia menggulir feed-nya, melirik ke jalan secara berkala, untuk memastikan dia tetap berada di jalurnya. Semakin jauh dia menggulir, semakin mudah dia bernapas. Orang-orang bersedih, tapi mereka tidak curiga.

Tepat ketika dia mencapai akhir dari foto baru, dia melihat salah satu yang mengaduk-aduk perutnya. Foto Jodi tergeletak di jalan saat Syauki meninggalkannya, hancur dan berlumuran darah. Seekor burung gagak, hitam dan mengerikan, sedang mencabik-cabik daging dari leher Jodi. Darah menetes dari paruhnya saat merobek kulit dan otot dari tubuh bocah itu.

Syauki mengalami hiperventilasi. Matanya perih dan dia menutupnya sampai nyeri di dadanya berhenti. Ketika dia membukanya lagi, gambar itu hilang, dan foto Jodi dalam seragam olah raga telah menggantikannya.

Dia terlambat melihat ke jalan. Dia tidak bisa melihat dengan baik anak laki-laki yang menghilang di bawah mobil boks-nya, tapi dia merasakan roda-roda menghantam tubuh si bocah, merasakan gesekan tulang di bagian bawahnya.

“Ya Tuhan, tidak. Jangan lagi. Jangan lagi."

Terseok-seok keluar dari mobil, meratap tepat saat hujan kembali turun. Menggunakan cahaya dari lampu jalan terdekat, Syauki dengan panik mencari mayat. Tidak ada apa-apa di bawah truk, jadi dia berjalan ke belakang, mengira bocah itu mungkin telah dimuntahkan oleh roda belakang.

Yang dia temukan hanyalah cabang pohon yang berbonggol ditebang badai. Awalnya dia tidak yakin karena kulit kayu yang licin disebabkan hujan tampak seperti lumuran darah. Dia menyentuhnya, dan bergumam, "Oh," ketika ujung jarinya tak berwarna merah.

Dia tidak bisa menyelesaikan jalurnya. Mobilnya rusak akibat cabang yang tumbang. Sopir pengantaran yang lain enggan mengambil alih paket dan parselnya, dan kru pemeliharaan menarik mbil kembali ke garasi perusahaan. Syauki berpura-pura terluka, dan atasannya mempercayainya. Dia terlihat pucat dan sakit, dan wanita itu menyuruhnya untuk beristirahat. Syauki terkekeh.

***

Sabtu datang, dan Syauki menelepon kantor untuk izin. Dia bilang dia akan ke rumah sakit. Punggungnya sakit karena kecelakaan kemarin. Sudah empat hari sejak dia tak masuk kerja.

Hujan terus berlanjut.

Syauki minum tiga cangkir kopi di rumah dan membeli satu lagi dari seorang gadis kasir yang ketakutan di minimart 24 jam dalam perjalanan ke rumah Jodi. Dia tiba sebelum pukul empat pagi dan parkir di seberang jalan sebuah rumah kuno peninggalan Belanda.

Rumah itu telah dipasarkan selama enam bulan. Orang tua Jodi telah lama mengosongkan bangunan itu. Syauki tahu semua ini. Dia telah melihatnya di marketplace Facebook dan rumah123. Dia bahkan belum merasa perlu untuk mengemudi dan memverifikasinya. Faktanya, ini adalah pertama kalinya dia mendatangi daerah itu sejak dia menabrak Jodi dengan mobil boks-nya.

Jalan ini tidak berada di jalur Syauki, tetapi menghubungkan dua jalan raya utama di kota. Pada hari kecelakaan itu terjadi, dia menggunakannya sebagai jalan pintas. Kalau saja bocah itu tidak menyelinap pulang dari rumah Santi malam itu. Andai saja hujan tidak begitu deras.

Kilatan petir membawa Syauki kembali dari lamunannya ke masa kini. Saat guntur bergemuruh, dia melihat ke dalam rumah. Ketakutan yang kini terlalu biasa mencekik tenggorokannya. Dia menutup matanya, lalu mengucapkan doa dalam hati saat membukanya kembali.

Sosok itu masih ada, siluet di jendela di lantai dua. Dari seberang jalan, Syauki hampir tidak bisa melihatnya, tapi dia pikir kepalanya terlihat cacat.

Itu pasti dia. Tapi bagaimana caranya?

Syauki melangkah ke tengah hujan dan berlari ke seberang jalan. Dia tidak berpikir, hanya bertindak berdasarkan naluri setelah berhari-hari tanpa tidur. Dia hanya tahu dia tidak bisa hidup seperti ini lagi. Ketika dia mencoba pintu depan, ternyata tidak terkunci.

Papan lantai berderit di bawah kakinya saat dia bergerak dalam gelap dengan hati-hati menyusuri selasar. Di dasar tangga, dia mencoba menyalakan lampu, tetapi tidak ada yang terjadi. Baru kemudian dia berhenti dan berpikir.

Dia mengeluarkan ponselnya dan membuka Instagram. Dia mengetuk tombol untuk siaran langsung, dan untuk pertama kalinya, dia berharap memiliki lebih dari dua belas pengikut. Dia sangat membutuhkan seseorang untuk melihat apa yang akan dia lihat. Dia tidak ingin melakukan ini sendirian.

Syauki merayap menaiki tangga dengan tangan terentang, melihat langkah-langkah berputar melalui layarnya, terlalu takut untuk melirik ke luar batas layar ponsel. Debu berterbangan dalam cahaya dari kamera depan, dan dia berbalik ke arah jendela tempat dia melihat sosok itu.

Ada kamar tidur di sisi lain dari pintu yang terbuka. Syauki memindai ke kiri dan ke kanan, menggerakkan kameranya ke atas ruangan yang kosong. Bahkan dia bisa melihat jejak di karpet kaki tempat tidur bekas susatu yang berat pernah ada. Sebuah lemari, mungkin meja nakas.

"Spada!" seru Syauki.

Tidak ada yang menjawab.

Angin bertiup dan rumah berderit. Syauki berbalik ke ambang pintu dan kembali ke ruang tamu, menjejak lantai yang ditampilkan layar ponsel. Tidak ada apa-apa selain bayangan dan debu yang berputar-putar.

Sebaris teks muncul di bagian bawah layarnya: @YangTerlupakan telah bergabung.

Syauki tertawa terbahak-bahak. Dia tidak tahu siapa orang itu, tetapi dia tahu dia tidak sendirian lagi. Apapun yang terjadi sekarang, akan ada saksinya.

Syauki kembali ke kamar tidur. Sekali lagi, pikirnya.

Kamar itu masih kosong, dan dia memutar ponsel untuk menunjukkan kepada teman barunya. Bahkan hujan telah mereda, mengetuk malas kaca jendela.

Akhirnya, dia mendengar dirinya berpikir.

Syauki mengarahkan kamera ponsel ke depan.

Jodi membuka mulutnya yang penuh darah hitam.

Namun suara teriakan menggema dengan nyaring berasal dari mulut Syauki.

 

Bandung, 2 September 2022

Ikuti tulisan menarik Ikhwanul Halim lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler