Kasus kematian Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat (Brigadir J) yang diduga dilakukan oleh beberapa oknum polisi atas perintah eks Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo memunculkan “soal lama” yang masih menjadi kontroversi dalam sistem pemidanaan di Indonesia, yakni hukuman mati. Hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) menunjukkan, 50,3 persen responden menyatakan mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Polri Irjen Ferdy Sambo pantas dihukum mati. Selain itu, 36,8 persen menyatakan Sambo layak dihukum penjara seumur hidup dan 5 (lima) persen responden menginginkannya dipenjara 20 tahun. Sementara, terdapat 1,2 persen responden menjawab hukuman lainnya dan 6,7 persen tidak tahu dan tidak jawab (Kompas.com 31/08/2022).
Tulisan ini bukan bermaksud mempertanyakan apakah Ferdy Sambo dan istri layak mendapat hukuman mati atau tidak, sebab itu merupakan kewenangan polisi, jaksa dan hakim. Tulisan ini ingin menyegarkan ingatan bagaimana hukuman mati ini menjadi kontroversi berkepanjangan hingga kini dengan aneka argumentasinya. Di Belanda sendiri hukuman mati sudah dihapus sejak 17 Oktober 1870 dengan Staatsblad Tahun 1870 Nomor 162.
Salah satu peristiwa kontroversial yang berkaitan dengan hukuman mati di Indonesia – bahkan melibatkan negara lain – adalah kasus “Bali Nine”. Inti ceritanya, pada 17 April 2005, sembilan warga Australia ditangkap di Bandara Ngurah Rai dan di sebuah hotel di Bali. Mereka dituduh berusaha menyelundupkan lebih dari 8 (delapan) kilogram heroin keluar dari Indonesia. Dua di antaranya adalah Myuran Sukumaran dan Andrew Chan. Petugas imigrasi Denpasar berhasil menangkap mereka berkat informasi dari Kepolisian Federal Australia (AFP). Tindakan kepolisian Australia yang memberikan informasi kepada pihak berwenang Indonesia ini mendapat kecaman hebat di negeri mereka.
Pada Oktober 2005 persidangan dimulai dan pada Februari 2006 para tersangka mulai dijatuhi hukuman. Sebagian dihukum penjara seumur hidup, sementara Andrew Chan dan Myuran Sukumaran diancaman dengan hukuman mati (14 Februari 2006). Mereka berdua dituduh telah menyediakan uang, tiket pesawat, dan hotel kepada rekan-rekannya. Mereka juga dituduh sebagai bagian dari sindikat perdagangan narkotika internasional.
Perdana Menteri Australia saat itu, John Howard, Juli 2007, membicarakan kasus “Bali Nine” ini dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Maklum, kasus ini memang menarik perhatian di Australia. Berbagai usaha, termasuk banding, juga dilakukan oleh para terdakwa. Hasilnya, oleh Mahkamah Agung (MA) memang ada dua yang diperingan hukumannya (Maret 2008). Lalu pada Agustus 2010, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran kembali mengajukan banding agar tidak dihukum mati. Dalam sidang banding, mereka mengungkapkan penyesalan dan memohon ampun. Kepala Penjara Kerobokan bahkan telah bersaksi bahwa keduanya memberikan kontribusi di penjara dengan mengadakan pelatihan komputer dan seni. Tapi tidak mengubah keputusan.
Lalu pada Mei 2012, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran memohon grasi. Andrew Chan meminta grasi kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar tidak dieksekusi mati sehingga ia bisa memperbaiki diri. Lalu pada 9 Juli 2012, Myuran Sukumaran juga ikut mengajukan permohonan grasi. Pada akhir tahun 2012, Kejaksaan Agung memberikan penangguhan eksekusi mati hingga satu tahun bagi keduanya.
Pada Desember 2014 Presiden Joko Widodo menyatakan tidak ada ampun bagi kejahatan narkoba. Karena itu, awal Januari 2015, Pemerintah Australia mengatakan bahwa upaya Myuran Sukumaran dan Andrew Chan untuk mendapat pengampunan presiden telah berakhir. Namun, Perdana Menteri Tony Abbott tetap berharap eksekusi Myuran Sukumaran dan Andrew Chan tidak akan terjadi. Sementara itu, Menteri Luar Negeri Australia Julie Bishop mengatakan, dia menghargai sistem hukum yang berlaku di negara lain, tetapi tetap mengupayakan lewat jalur diplomatik. Maka Januari 2015 PM Abbott mendekati Presiden Jokowi agar membatalkan eksekusi. Demikian juga Tony Abbott mendekati Presiden Joko Widodo agar memberikan pengampunan kepada Myuran Sukumaran dan Andrew Chan. Bahkan pada 20 Januari 2015, Tony Abbott menyurati Presiden Joko Widodo untuk menerima permohonan grasi bagi Sukumaran dan Andrew Chan.
Hasilnya, Februari 2015, Pemerintah Indonesia menyatakan bahwa Myuran Sukumaran dan Andrew Chan akan tetap dieksekusi meski belum ditetapkan tanggal pastinya. Presiden Joko Widodo dalam pernyataannya menolak grasi dengan berbagai alasan. "Setiap harinya, 50 orang meninggal karena narkoba," ujarnya di Yogyakarta. "Ada 4,5 juta pencandu yang membutuhkan rehabilitasi."
Di awal Februari 2015 itu, Todung Mulya Lubis, pengacara keduanya, mencoba mengugat melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) atas penolakan Presiden Joko Widodo. Namun, Jaksa Agung Muhammad Prasetyo mengatakan gugatan ini tidak bisa dilakukan karena grasi adalah hak prerogatif Presiden. Akhirnya, pada 29 April 2015, tengah malam, keduanya dieksekusi mati bersama beberapa terpidana lain di Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah.
***
Selama delapan tahun Todung Mulya Lubis berusaha membebaskan Myuran Sukumaran dan Andrew Chan dari hukuman mati. Todung bukan tidak ingin mereka dihukum, tetapi ia berusaha agar keduanya tidak dihukum mati. Bagi Todung, ini soal soal hak untuk hidup, soal hak asasi, dari mereka yang menyesali perbuatannya karena kasus narkoba. Tapi ternyata gagal.
Pada 2021, Todung Mulya Lubis menulis novel berjudul Menunda Kekalahan yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama. Isinya – dengan menyamarkan semua nama tokoh – tentang perjuangannya menangani kasus “Bali Nine” itu.
Dalam novel tersebut dikisahkan, pagi hari setelah eksekusi dilaksanakan, Topan (pengacara dan tokoh utama novel--PEN), menerima sebuah pesan pendek (SMS). Misa dan Allan (kedua terpidana, Myuran Sukumaran dan Andrew Chan -- PEN) sudah pergi menghadap Tuhannya. Lidah Topan terasa keluh. Dunia seakan kosong. Lalu Veronica (pengacara dari Australia – PEN), setengah terisak, melalui telepon mengabarkan bahwa kedua anak muda yang baik itu telah mengakhiri hidup dengan anggun, dengan kepala tegak. “Mereka menghadapi kematian dengan tenang, dan mereka menolak menutup mata ketika akan dieksekusi juru tembak. Mereka menyanyikan lagu Amazing Grace sambil menyongsong kematian,” kata Veronica. Topan sulit membayangkan mereka berdua menyanyikan Amazing Graze, mata terbuka, menatap dua belas algojo yang menarik pelatuk senapan, melayangkan peluru ke dada mereka.
Ketika matahari mulai terbit, Topan membuka akun Twitter-nya, lalu menumpahkan perasaannya, merasa telah gagal berjuang. Dia merasa dirinya kecil dan tak berdaya menghadapi kekuasaan yang tak punya hati. Sekitar pukul delapan pagi dia menulis: “I failed. I lost.”. Selang beberapa menit setelahnya ia menulis lagi: “I am sorry.” Cuitan itu tersebar cepat melewati lautan, terbang ke benua lain. Tanggapan datang bertubi-tubi. Meski ia kalah, ia tak pernah menyesal membela Misa dan Allan (Myuran Sukumaran dan Andrew Chan—PEN).
***
Hukuman mati memang menjadi kontroversi di banyak negara modern. Sudah hampir setengah negara di dunia -- lebih dari 154 — yang telah menghapus hukuman mati. Tapi Indonesia termasuk negara yang masih memberlakukannya. Oleh mereka yang setuju, hukuman mati dianggap akan mengurangi angka kejahatan dan membuat pelaku jera. Eksistensi pidana mati masih dianggap perlu sebagai jalan terakhir demi kepentingan masyarakat untuk pelaksanaan konsepsi social defence. Pidana mati menjadi suatu pertahanan sosial untuk menghindarkan masyarakat umum dari bencana atau ancaman bahaya besar yang mungkin terjadi, yang telah atau akan mengakibatkan kesengsaraan dan mengganggu ketertiban serta keamanan rakyat umum. Sementara oleh penentang hukuman mati, tujuan pemidanaan sebagai rehabilitasi, reedukasi, dan resosialisasi tidak bisa tercapai dengan adanya pidana mati.
Ide dasar hukuman mati adalah sebagai bentuk pembalasan terhadap kejahatan. Dan hukuman mati adalah hukum terberat (mors dicitur ultimum supplicium). Dalam khasanah hukum pidana, dikenal Aliran Klasik dan Aliran Modern. Konsep pidana sebagai “pembalasan” ini ada dalam Aliran Klasik. Di dalam aliran ini, terhadap tindak pidana hukuman bersifat retributif dan represif. Aliran Klasik hanya mengenal legal definition of crime alias negara hanya mengenal kejahatan sebagaimana yang diatur dalam undang-undang. Jadi aliran ini berpegang teguh pada asas legalitas. Aliran Klasik juga beranggapan hanya pidanalah satu-satunya cara untuk membasmi kejahatan. Aliran ini mengajarkan bahwa kehendak bebas pada setiap individu untuk melakukan atau tidak melakukan kejahatan. Sistem pemidanaan dalam aliran ini adalah definite sentence. Maksudnya, pembentuk undang-undang menentukan ancaman pidana secara pasti dan tidak dimungkinkan adanya kebebasan hakim dalam menjatuhkan hukuman. Intinya, aliran ini menghendaki adanya pidana mati terhadap kejahatan-kejahatan tertentu.
Sifat represif dan retributivisme yang ada dalam salah satu tiang aliran klasik ini sering juga disebut sebagai teori vindikatif atau Teori Absolut. Teori ini berpandangan bahwa pendertitaan atau rasa sakit harus dibayar dengan penderitaan atau rasa sakit juga (tit for tat). Penderitaan yang diganjarkan kepada pelaku kejahatan bermakna melulu demi penderitaan itu sendiri, tidak ada tujuan lain di luar penderitaan. Pelaku kejahatan mirip dengan orang yang memiliki hutang yang harus dibayar kembali kepada masyarakat. Jadi pembalasan adalah legitimasi pemidanaan. Jadi, sekali laghi, di dalam aliran klasik inilah dikenal -- atau menghendaki-- adanya pidana mati terhadap kejahatan-kejahatan tertentu.
Sementara itu, Aliran Modern melihat pidana agak berbeda. Aliran modern menolak legal definition of crime, tetapi menggunkan natural crime. Maksudnya, kejahatan tidak sebatas apa yang telah ditentukan dalam undang-undang, namun juga perbuatan-perbuatan yang oleh masyarakat beradab diakui sebagai kejahatan. Aliran ini berpendapoat bahwa pidana saja tidak mampu membuat pelaku menjadi lebih baik dan tidak dapat membasmi fakor-faktor kriminogen. Aliran ini mengajarkan bahwa tingkah laku individu merupakan interaksi dengan lingkungan sebagai satu mata rantai hubungan sebab-akibat. Aliran ini juga tidak menghendaki hukuman mati dan ingin menghapusnya. Aliran ini menggunakan sistem pemidanaan indeterminate sentence alias pembentuk undang-undang mencantumkan ancaman pidana minimum dan ancaman pidana maksimum terhadap suatu kejahatan guna memberikan kebebasan kepada hakim untuk menjatuhkan hukuman yang pantas menurut dia.
Menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief, berbeda dengan aliran klasik dalam hukum pidana yang bertujuan untuk melindungi kepentingan individu dari kesewenang-wenangan, aliran modern dalam hukum pidana bertujuan melindungi masyarakat dari kejahatan. Tujuan ini berpegang pada postulat le salut du people est la supreme loi yang berarti hukum tertinggi adalah perlindungan masyarakat. Aliran moderrn juga disebut aliran positif karena mencari sebab kejahatan menggunakan metode ilmu alam dengan maksud mempengaruhi pelaku kejahatan secara positif sejauh dapat diperbaiki. Aliran modern dalam hukum pidana didasarkan pada tiga pijakan. Pertama, memerangi kejahatan. Kedua, memperhatikan ilmu lain. Ketiga, ultimum remidium alias sarana terakhir yang digunakan untuk menyelesaikan masalah.
Kemudian, dilihat dari tujuannya, teori pemidanaan dibedakan dalam tiga kelompok, yaitu teori absolut (teori pembalasan), terori relatif (teori tujuan, yakni mencegah kejahatan), dan teori gabungan (tidak hanya penderitasan dengan pembalasan saja yang dituju, tetapi juga ketertiban masyarakat. Ada batasan yang layak ditanggung). Belakangan muncul teori kontemporer yang di dalamnya terdapat unsur tujuan untuk mencapai efek jera, tujuan edukasi, tujuan rehabilitasi, pengendali sosial, dan keadilan restoratif yang sekarang mulai dipraktekkan di Indonesia untuk kasus-kasus tertentu.
***
Dalam sistem hukum Indonesia, pidana mati tercantum dengan tegas dalam Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Maksudnya, dalam pasal ini dicantumkan mengenai pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok terdiri dari pidana mati, pidana penjara, kurungan, denda, dan tutupan. Sedangkan pidana tambahan terdiri atas pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim. Selain itu, hukuman mati juga tersebar dalam beberapa undang-undang lain seperti Peradilan Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Narkotika, Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, dan Undang-Undang Terorisme.
Adapun perbuatan atau tindak pidana yang diancam dengan hukuman mati dalam KUHP, antara lain: Pasal 340, yakni pembunuhan yang direncanakan lebih dahulu. Bunyi lengkapnya: “Barangsiapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun”. Inilah pasal yang banyak disebut akan dikenakan kepada Sambo dan istrinya. Lalu Pasal 140 ayat 3 (membunuh kepala negara sahabat; atau makar terhadap nyawa yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu yang mengakibatkan kematian); dan masih banyak lagi.
***
Saat ini, gerakan menolak hukuman mati memang terus meningkat. Ada yang mendasarkan argumennya pada keyakinan bahwa hanya Tuhan yang berhak mencabut nyawa manusia. Sebab Tuhan-lah sang pencipta dan pemilik alam semesta beserta isinya. Maka manusia tidak berhak mencabut nyawa manusia lain dengan hukuman mati. Selain itu, argumen-argumen rasional juga mulai diberikan. Misalnya, hukuman mati adalah hukuman yang jauh dari kebijaksanaan dan cita-cita pencerahan. Lalu sanksi hukum tidak boleh dipandang sebagai pembalasan dendam. Sanksi hukum harus dilihat sebagai sarana untuk memperbaiki kesalahan seseorang dan mengembalikan orang tersebut menjadi bagian dari masyarakat. Jadi tujuan penghukuman adalah memperbaiki dan mengembangkan kualitas hidup seseorang yang dianggap telah melakukan kejahatan. Bagaimana mungkin berharap pada seseorang yang sudah dihukum mati sebuah perbaikan atau pertobatan? Harus diingat, kata mereka yang menolak hukuman mati, salah satu fungsi hukum adalah merawat kehidupan. Selain itu masih seabreg argumen penolakan lainnya.
Jadi, hukuman apa yang tepat untuk Ferdy Sambo dan istrinya menurut Anda? Pidana mati? Penjara seumur hidup? Atau penjara dua puluh tahun?
- Atmojo adalah penulis yang meminati bidang filsafat, hukum, dan seni.
Ikuti tulisan menarik atmojo lainnya di sini.