x

Koleksi Payung Hitam

Iklan

Taufan S. Chandranegara

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 23 Juni 2022

Kamis, 8 September 2022 12:42 WIB

Ketika Merah Bolong Teater Payung Hitam

Risalah Seni Budaya Bumi Indonesia. HUT ke-40 tahun Teater Payung Hitam Bandung. Pimpinan Rachman Sabur.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kesenian tonil telah bertutur sejak pertumbuhan manusia Nusantara saling menyapa sesama, geoantropologis saling bertukar keadaban perilaku-barter materi maupun non-materi, di lingkaran kebudayaan, di ruang-ruang elastisitas estetis tradisi-tradisi, sublim. 

Terbang mengangkasa, berkembang dari lampau kepada kini, sumber beragam pesona seni leluhur purba, telah rampak gerak tubuh bersuara sinden, menggerakan rentang zaman cipta ning jagad, musikal bunyi-bunyian seni purba, lantas tercipta peniruan bunyi pada tekno digital musik terkini, menduplikatkan orkestrasi tekno purba menjadi bentuk-bentuk seolah-olah esensial dari peradaban kini, seraya kolaboratif menggelar pengadeganan multiseni. Lantas, modern seni secara lengkap mengenalnya dengan sebutan-seni pertunjukan. 

Apaan sih ‘seni pertunjukan’, kenapa tak di sebut ‘tontonan’ saja, konon, seni pertunjukan bermakna lebih luas dari tontonan. Bukan sebaliknya? Apa betul begitu, sepertinya enggak deh, sama, setara-sebangun, jika mau menilik rentang kultur perkembangan sejak peradaban manusia nusantara di kurun zaman, namun katanya sih, seni modern memilih, menyebut dalam istilah ‘seni pertunjukan’ mungkin agar terasa formal-profesional. Barangkali loh. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

**

Bagaikan mendadak, kesenian ber-stempel modernisme, jadi repot-kedodoran, di ranah istilah. Seolah-olah mencoba lupa pada inteligensi keilmuan seni leluhur purba-berbudi keluhuran kultural, tradisi-tradisi di ranah esensi estetika-hal ihwal semacam itu telah bermakna, simbolis, di tradisi literer-tutur, tumbuh, esensial-tanpa maklumat sakral diskursus-di bumi nusantara pemberi hidup mewariskan kesadaran spiritualitas-sains, logis, akalbudi, dalam kenduri universalitas rasa syukur, berkat, rezeki dari Sang Pencipta, pemberi rahmat, inti dari sumber ilmu kebudayaan-the kingdom of knowledge. 

Melahirkan sublimasi estetika insani di atas rata-rata, memanusiakan-manusia, kedasar tersahih keilmuan, serupa rasa syukur dalam kisah upacara setelah panen raya, menuju tandur bibit-bobot tanaman bagi kesejahteraan, keberlangsungan hidup berikutnya-generasi seterusnya.

Ronggeng gunung, kuda lumping atau jaran kepang, ludruk, ketoprak, seni tonil Miscicih, tetabuhan tonil reog kawasan keadaban kesenian rakyat. Pepohonan bambu, mencipta bunyi-bunyian karinding, rengkong hatong, hingga suara angklung, mengalir babad sastra tutur, bersuara gending wayang golek, wayang kulit, menjadi kitab-kitab adab sopan santun, syiar bersyair prosa liris, puitis norma-norma dramaturgi sosial insani-tradisi.

Di sana lahir, ‘Nusantara-Indonesia kini’, pesona ragam tata krama ‘anti-memaki, anti-kemarahan, anti-anarkis, anti-represif’, sangat beriman, hanya ada kesantunan indah tertata apik ratna mutu manikam, 17.800 lebih alam kepulauan, kaya mineral-vitamin kesejahteraan untuk insan negeri tercinta ini. Bukan hasil dari banyolan politisasi berkostum setrika licin, namun tak jua gagah, dibandingkan dengan kegagahan estetis, Tato Nias, keren.

Keluhuran estetika upacara adat Ulos Batak. Tenun ikat Toraja, Sumbawa, Aceh, Banyuwangi, Jawa, Madura, Bali, Seni tenun super klasik Sunda Buhun. Bulu Merak-gagah suku Dayak Kalimantan. Bulu burung warna-warni pulau-pulau nusantara, dari Papua, Lombok, Sumatera, Sulawesi, keindahan kepulauan budaya leluhur purba berkilometer keluasannya. Berbaris, berkelok di antara natur lautan, tempat langit berkaca, meneteskan hujan, bertumbuh hutan-hutan. Semoga tetap subur hutan-hutan negeriku ini. Menjauhlah wahai raksasa deforestasi, janganlah engkau datang lagi.

Tumbuh, peradaban di pulau-pulau, kebudayaan besar nan indah nusantara. Tumbuh, ekosistem kultural sosio-humanis bentangan ‘ilmu kebudayaan’, di sana tempat lahir beta-multikultur perilaku santun budaya ‘Bangsa Besar’, tanpa stigma paradigma akal-akalan ‘illegal fishing’, ‘illegal logging’, tanpa misteri hutan terbakar. Karena hutan, telah diwariskan untuk cucu-cucu bangsa di zaman menuju peradaban-era revolusi masa depan, kesinambungan mencipta kebijaksanaan keadaban.

**

Kesadaran pada tanah leluhur purba, itulah, Teater Payung Hitam, Bandung Jawa Barat, pimpinan Rachman Sabur, tumbuh di era 1970an, dengan kesadaran penuh, bahwa ini, aku, Indonesia-tanah leluhurku, wajib dibela dengan cara apapun, tak takut pada mati, tak takut pada lapar dari perutku, tak takut pula pada peluru, pada tank baja, pada hempasan kekuasaan, pelarangan, di kurun waktu sejarah berpola ‘sensor-isme-politis’, di era dekade sejarah negeri ini. Sebab aku, Teater Payung Hitam, anti-korupsi. 

Meski telah beberapa kali melihat pentas lakon ‘Merah Bolong’ Teater Payung Hitam, senantiasa, ada, kebaruan ‘seni pikiran-dramaturgi tubuh’, bak kopi hangat made in Indonesia, terkandung di dalamnya. Tak sekadar seni drama asal eksentrik-isme, kontemporer abrakadabra, tanpa proses dasar-dasar realisme-naturalisme estetis, menuju simbolisme non-kosmetik, inheren lajur kedisiplinan pengetahuan ‘benar’, telah meneguk ‘air kahuripan’, kerendahan hati bersama leluhur kulturalnya. 

Teater Payung Hitam, mengolah tanah, batu, air, tetumbuhan, sawah, tubuh, manusia, mencipta interaksi realisme-naturalisme, berladang keringat menguak metalurgi imaji mencipta keadaban seni tubuh, tak sekadar mendadak ‘modern atau kontemporer’, pada fokus disiplin seni teater. 

Dalam konteks disiplin seni peran telah terbangun oleh bentuk seni dramatik tubuh-Teater Payung Hitam. Sayang disayang, di sisi lain, berkelebatan lintas bayang-bayang niskala blur, dikala ajang pesta pora panggung seni peran di angksa jauh tak terlihat, tak jua kunjung terbit pula penciptaan bernas, kembali, kedasar-dasar seni peran, namun sayangnya sekadar mencapai label, terbatas, menang atau kalah, bak burung merpati terjebak dalam sangkar emas. Tak mampu terbang sejajar elang, tak mencapai angan imaji-konseptualisasi dramaturgi, tak jua lahir dari pesta pora itu super grup-teater Indonesia terkini, dinanti oleh edukasi untuk generasi. 

Dengan segenap tata cara perjuangan edukatif, dasar-dasar seni peran, realisme-naturalisme, hingga menemukan bentuknya kini, Teater Payung Hitam, telah mencapai salah satu kiprah dari tujuan, menjadi ikon ‘network physical theatre’ di negeri tercinta ini hingga menggapai langit benua-benua jauh. Merah Bolong-salah satu masterpiece, dari sejumlah karya Teater Payung Hitam, asuhan Rachman Sabur, pada seni peran, di ranah bentuk seni dramatik tubuh, terkini.

Teater Payung Hitam, bukan reportase pengantar tidur, menguras air mata menjual kritik melankolis berkacamata kuda, oral tematik, stagnan. Alhasil sekadar meraih sejumlah takaran di luar nilai estetis.

**

The greatest story Merah Bolong, tak sekadar menggelar tontonan, dramatic scenery physical theatre, bukan pula semacam bentuk fisik, Poor Theatre-Jerzy Grotowski, penyederhanaan bentuk esensi estetika pemanggungan. Tak serupa pula, mengantar penonton pada tanda baca kesenian untuk rilis media publik. 

Teater Payung Hitam, generasi seni realitas logis, gravitasi, riset, data, pelatihan adaptif. Etos pemaknaan tubuh mengalirkan kata metafisis kepada materi atau sebaliknya, maka kisah menjadi paparan imaji-konseptual-kontekstual dramatik, menjelaskan materi pada logisnya himne realisme-naturalisme, hingga perwajahan penyutradaraan-skenografi pementasannya kini, dengan ketetapan akurasi disiplin bernas.

Batu-batu besar-materi sebagai aktor, bergelantungan, digerakan energi tubuh peranannya, menggerakan pikiran alam besar menggugah pikiran alam kecil, sebaliknya, bolak-balik, menjadi saling menggugat pada puncak etape dramaturgi tubuh. Prolog, meruangkan penciptaan senandika menghujamkan belati dramatik. Agar epilog, tak sekadar mencapai ‘curtain call’ lantas ‘kiss bye’, namun kisah, tak mencapai langit. 

Teater Payung Hitam, merupakan sintesis susastra tubuh dramatik, mengingatkan pemirsa pada sosok kebudayaan nusantara, kaya ragam pesona tradisi-gigantik, dalam pelukan ‘Ibu Negeri’, tak sekadar asal penonton senang, namun tak mencapai edukasi gerakan pikiran inheren tubuh, seni peran.

Merah Bolong-Teater Payung Hitam, ada, ragam pesona pesilat tubuh-nurani-dialogis, tutur tubuh bak aroma pantun para pujangga lama berkesinambungan menuju pujangga baru. Esai susastra tubuh ronggeng mengalun ombak, meniupkan angin menari hutan-hutan di pegunungan, rampak alunan dendang melayu, energi tubuh, berinteraksi tulus bersama gravitasi, memberi makna pada pikiran bening, bahwa negerimu ini-indah nian tak terperi damai sejahtera, bergema saluang nun jauh meruang semesta, manortor-dalam simfoni suluk negeri tercinta-episentrum hingga kumparan alam raya. 

Indah-damai di negeri tercinta ini, semoga, selalu kini akan datang, harapan dalam zikir khusyuk peranan nurani bening, senantiasa. Itu sebabnya pula, Teater Payung Hitam, bermula dari mata air realisme-naturalisme, negeri ini gudangnya kedua-isme tersebut, ada, di seni tradisi, tonil-kesenian rakyat negeri ini, jauh sebelum istilah dramaturgi impor itu merambah tafsir simpang siur, seolah-olah memesona, lantas seakan-akan mengguncang menara tradisi-tradisi. Oh! No. Esensial? Tidak. Karena tradisi telah mengandung multi-modernisme, estetis, keilmuan. Lihatlah, Ratap Nias, Toraja, Opera Batak, Miscicih, sastra drama Sunda Buhun-Sangkuriang, misalnya. 

Sedikit berkelana keseberang lautan. Sebagaimana, Epic Theatre-Bertolt Brecht, melalui pula kedua sumber mata air tersebut, dengan akhir penemuan bentuk Epic Theatre-Brecht, kini. Ada perbedaan sudut pandang, semacam metodologi-alur dramatik Payung Hitam, dengan Growtosky-Brecht, ketiganya masing-masing menemukan bentuk berbeda dalam ikatan filosofis-metafisis-materi, enak dipandang bak rangkaian interlud semesta estetika. 

Bagi Payung Hitam, karakter, sebagai esensi dasar-dasar pemeranan dramatik tubuh, metafisika, tak lagi perlu menjadi persoalan perdebatan tanpa batas lantas dianggap non-logis, non-akademis. Kalau, masih mau, kembali melihat, betapa Indahnya 'Ibu Kandung Tradisi Negeri' ini, telah melahirkan, seni kemoderanan-bertolok ukur akademis-topeng cirebon, misalnya, hadir sejak era Majapahit, telah melewati abang batas pasca-nilai estetis itu sendiri-universal. 

Justru tampak nyata letak realisme-naturalisme itu, ketika gravitasi-sains IIahiah, membentuk gerakan kesadaran tubuh, mengendalikan tubuh untuk pikiran, bertemulah muara dialogis materi non-materi, bukan bermula dari pikiran untuk mengendalikan tubuh. Fokus, tak ada pertentangan dunia materi versus metafisis. Meski, konon, masih di pertentangkan oleh rasionalitas formal, sebab, mungkin, masih enggan, untuk paham, sumber esensinya, terbatas oleh kultus klasik diskursus, bergulat, tarik menarik abstraksi keilmuan-di tempat terbatas dalam kotak.

Keakhiran dari tujuan pentas, Teater Payung Hitam, bukan pada kritik sempit-formal, akan tetapi, lebih pada revolusi keadaban seni peran, bermanfaat, perilaku metafisis-materi tak sekadar niskala sebaliknya. Payung Hitam, mendudukan adab tatanan laku santun pada alam, penciptaan-humanis, berguna, agar kesadaran kekuasaan fisik manusia, kembali menyadari ruh dari takdirnya-bahwa hidup sangat terbatas, sila tak berhenti di objek-subjek saja, dilarang sombong selaku insan kamil. Mengingat, manusia bisa wafat. Namun seni pemeranan alias ke.aktor.an tak pernah padam, di sejarah peradaban. Itu sebabnya pula, jadilah aktor panggung sebening nurani. Agar seni panggung tak pernah kosong.

**

Merah Bolong-bukan untuk karya kritik sempit-politisasi perilaku isu-isu dangkal berair keruh. Itu sebabnya pula, Merah Bolong-Teater Payung Hitam, tak sekadar menawarkan kebijaksanaan mandiri, bagi pelaku hidup, aktualisasi individual atau kelompok. Payung Hitam, berikhtiar membuka keran-keran terapan ilmu kebudayaan, berkewajiban, mampu merangkum cipta ning jagad geo-keilmuan di dalamnya.  

Payung Hitam, menyalakan cahaya-cahaya pilihan seni peran untuk kembali pada hakikat, makrifat, mufakat-sosialnya, wajib, membentuk kesadaran realisme-naturalisme, sebening embun dedaunan hutan-hutan Khatulistiwa, sawah ladang di negeri tercinta ini, tegas berjalan, berani berlari cepat di ranah gravitasi planet Bumi, menghormati tradisi leluhur purba-spiritualitas keadaban untuk sesama, senantiasa, berani memberi edukasi kebaruan prosais susastra dramatik, mawas diri, hingga usia ke-40 tahun kini. Teater Payung Hitam-Rachman Sabur, sahabat berbudi. Senantiasa sumbangsih untuk negeri agraris ini. 

Pada ‘Merah Bolong-Teater Payung Hitam’, spiritualitas merupakan esensi kehidupan semesta bersama, di tengah penciptaan Maha Khalik. Salam Nusantara-Indonesia Keren. 

***

Jabodetabek Indonesia, September 08, 2022.

Ikuti tulisan menarik Taufan S. Chandranegara lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler