x

Pendidikan islam sejak dini

Iklan

atha nursasi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 13 November 2021

Senin, 12 September 2022 15:59 WIB

RUU Sisdiknas Kental dengan Kepentingan Cipta Kerja.

Artikel ini dibuat untuk merespon polemik revisi RUU SIsdiknas. hal yang coba penulis soroti adalah menyoal proses revisi yang terkesan tertutup dan tidak partisipatif. selain itu, metode revisi revisi omnibus yang memiliki semangat serupa dengan Cipta Kerja. selanjutnya artikel ini memotret beberapa catatan terhadap sustansi materi revisi salah satunya ketentuan mengenai hak guru dan pembiayaan pendidikan yang semakin komersil.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Setelah mengesahkan RUU oligarki Cipta Kerja, pemerintah dan DPR bersepakat memasukkan klausul Omnibus Law ke dalam RUU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UP3) sebagai suatu metode dalam sistem perundang-undangan di Indonesia. Tentu upaya tersebut baik untuk tujuan pengintegrasian hukum di masa depan, tetapi upaya tersebut dilakukan setelah Mahkamah Konstitusi memutuskan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2021 Tentang Cipta Kerja sebagai inkonstitusional bersyarat, sehingga maksud baik tersebut mesti dipertanyakan.

Terlebih praktik pembentukan perundang-undangan yang cenderung tertutup, nir partisipatif dan penuh kepentingan politik-bisnis segelintir penguasa seperti halnya polemik UU KPK di tahun 2019, dan Omnibus Law Ciptaker tahun 2020, telah menyulut amarah publik. Demikian pula sejumlah konflik yang mewarnai masa-masa penolakan berlangsung menjadi fakta buramnya keadilan, tidak hanya di aspek formulasi kebijakan, tetapi turut menyeret warga negara dengan justifikasi umum yakni demi keamanan dan ketentraman. sejumlah konflik ini pada akhirnya menciptakan ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah semakin tinggi, demikian pula keraguan publik atas setiap pernyataan dan laku para politisi kian sulit dibendung.

Bentuk ketidakpercayaan atau keraguan publik atas kebijakan pemerintah kali ini ditujukan untuk merespon upaya revisi RUU Sisdiknas yang sedang berlangsung. serupa yang sudah-sudah, pola yang digunakan dalam rancangan revisi kali ini juga tak jauh berbeda. tidak transparan dan partisipasi yang bermakna. bahkan, Presiden Jokowi sendiri dikabarkan tak mengetahui adanya revisi yang diajukan oleh anak buahnya (menteri Pendidikan dan kebudayaan) dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Presiden baru mengetahui ketika informasi tersebut beredar di berbagai media mainstream dan media sosial. tetapi ini bukan soal seberapa penting Presiden mengetahui rancangan yang diajukan oleh Menterinya, atau menyoal betapa pentingnya koordinasi antara para pemangku kepentingan, sebab hal itu akan mudah dibantah dengan dalih bahwa koordinasi akan dilakukan pasca segala persyaratan dan kajian telah disiapkan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pemerintah melalui menteri Pendidikan,  Nadiem Makarim telah memasukan RUU Sisdiknas ke dalam Program Legislasi Nasional 2022. hal tersebut dilakukan setelah RUU P3 disahkan pada mei 2022 lalu. usulan tersebut dilakukan dalam skema Omnibus yakni, menggabungkan tiga undang-undang sekaligus: UU 20/2003 tentang sistem pendidikan nasional, UU 14/2005 tentang Guru dan Dosen, dan UU 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi. Proses Revisi pun mulai berlangsung. hingga kini, setidaknya telah terjadi dua kali perubahan terhadap draf RUU sisdiknas. Selain untuk mengintegrasikan beberapa Undang-undang yang dianggap tumpang tindih menjadi satu Undang-undang, revisi tersebut juga bertujuan menyelaraskan, menggantikan serta menambah beberapa ketentuan yang syarat dengan kepentingan Cipta Kerja. lantas apa sebetulnya yang menjadi problem dari Revisi RUU Sisdiknas?

Revisi RUU Sisdiknas memiliki tujuan ganda. disebut ganda karena pada satu sisi dimaksudkan untuk melakukan perbaikan atas sejumlah ketentuan yang dianggap tak lagi relevan, hal tersebut juga dimaksudkan untuk melegitimasi adanya klaster pendidikan pada Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja. Selain itu, metode yang digunakan kala itu adalah omnibus dan telah dilegalkan melalui pengesahan Undang-undang P3, ditambah dengan revisi RUU Sisdiknas yang juga menggunakan metode serupa dengan menggabungkan tiga undang-undang sekaligus, mengindikasikan sebuah siasat penyelarasan terhadap Undang-undang Cipta Kerja. Sebab sekalipun Mahkama Konstitusi menyatakan UU Ciptakerja inkonstitusional bersyarat, tetapi MK tidak sedang membatalkannya. bahkan salah satu poin dari Putusan MK justru memberi kesempatan perbaikan kepada pemerintah dan DPR selama kurun waktu dua tahun. 

Berdasarkan putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 MK Menyatakan bahwa “pembentukan UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan'. selain itu, Mahkamah juga memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan diucapkan. Apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan, maka UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional secara permanen, (baca: putusan MK tentang Omnibus Law). 

Oleh karena itu, wajar saja bila pasca putusan tersebut, pemerintah dan DPR tetap getol melakukan aksis revisi-merevisi sekalipun hal tersebut dilarang oleh MK. tetapi untuk tujuan efisiensi, pemerintah mesti mempersiapkan segalanya secara matang dengan sekali berdayung dua tiga pulau terlampaui. Artinya, melakukan perbaikan sambil menyelaraskan sejumlah peraturan yang diatur dalam Cipta Kerja jauh lebih menguntungkan ketimbang menaati perintah Putusan MK dengan hanya memperbaiki Cipta Kerja itu sendiri. 

Kental dengan kepentingan Cipta Kerja. 

Sebagaimana diketahui bahwa proses pembentukan perundang-undangan mengharuskan adanya keterbukaan dan partisipasi. dua syarat umum dalam proses legislasi yang sangat berpengaruh terhadap kualitas sebuah regulasi. demikian sebaliknya, jika dianggap sepele, apalagi mengabaikannya, sudah barang tentu produk regulasi yang dihasilkan akan bermasalah dan cenderung merugikan masyarakat. perihal terakhir ini selalu menjadi catatan dan kritik sejumlah kalangan terhadap para pembuat kebijakan. dalam konteks ini, RUU Sisdiknas pun tak lepas dari kritik publik. tidak hanya dalam aspek formil, secara substansi juga sangat mengancam dan membahayakan bagi masa depan pendidikan di Indonesia.

Beberapa ketentuan berikut merupakan contoh betapa bahayanya RUU ini. pertama, ketentuan mengenai Urusan Pendidikan dan Tenaga Kependidikan pasal 104-126, secara khusus menyoal hak Guru, pasal 105 huruf a menyebut pendidik berhak memperoleh penghasilan atau pengupahan dan jaminan sosial sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. sebelumnya, ketentuan ini diatur dalam pasal 14 huruf a Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen. bahwa guru berhak memperoleh penghasilan diatas kebutuhan hidup minimal dan jaminan kesejahteraan. perubahan pasal di atas memberi konsekuensi hukum terhadap pengaturan lebih lanjut mengenai upaya pemenuhan hak guru, baik gaji maupun tunjangan. dimana, penjelasan lebih lanjut dari pasal 105 RUU secara tegas memisahkan antara sumber penghasilan Guru PNS dan Non PNS. penghasilan atau pengupahan terhadap guru PNS diatur melalui undang-undang ASN, sementara untuk Guru Non PNS diatur dalam peraturan ketenagakerjaan. dengan demikian jelas bahwa semangat yang diusung dalam revisi ini tidak serta merta lepas dari kepentingan Omnibus Law Cipta Kerja.

Kedua, ketentuan mengenai pendanaan Pendidikan. Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003, pasal 46 ayat 1 menyebut pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, Pemerintah daerah dan masyarakat. Sementara dalam pasal 58 daraf RUU menyebut masyarakat dapat berpartisipasi dalam pendanaan pendidikan. artinya ketentuan partisipasi masyarakat dalam pendanaan pendidikan dapat dijadikan dalil dan dalih oleh para penyelenggara di setiap satuan pendidikan untuk membenarkan aksi pungutan liar dengan beragam wujud dan bentuk. Terlebih praktik pungutan di sekolah berkedok bantuan dan sumbangan begitu masif. di Kota Malang Misalnya, Malang Corruption Watch (MCW) bersama Forum Masyarakat Peduli Pendidikan setiap  tahunnya melaporkan adanya pungutan di sejumlah sekolah, baik dalam hal PPDB, Pembangunan Sekolah, pengambilan ijazah, dan BOSDA, serta kegiatan diluar aktivitas belajar mengajar yang kental dengan pungutan dan sumbangan. Sehingga, alih alih bertujuan untuk mencegah dan memperbaiki, perubahan RUU Sisdiknas di atas justru semakin memberi cela bagi masifnya praktik pungutan liar setiap satuan pendidikan kedepannya. 

Ikuti tulisan menarik atha nursasi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu