x

Akordia

Iklan

atha nursasi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 13 November 2021

Senin, 12 September 2022 16:01 WIB

Perguruan Tinggi Tak Bebas dari Relasi Koruptif.

perguruan tinggi belakangan menjadi arena perebutan kekuasaan yang syarat koruptif. beberapa peristiwa korupsi diperguruan tinggi, baik swasta maupun negeri menjadi indikator bahwa laboratoruim ilmu pengetahuan itu tak benar-benar bebas dari realsi kekuasaan korup. kasus unila baru-baru ini menambah daftar rentetan korupsi di perguruan tinggi. artikel ini mencoba mendedah relasi kekuasaan sebagai variabel dominan yang menyebabkan maraknya korupsi di perguruan tinggi, posisi rektor dan jabatan struktural dibawahnya memilik kewenangan diskresi yang kuat dalam menentukan segala kebijakan kampus, utamanya menyangkut penerimaan mahasiswa baru jalur mandiri.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Umumnya, kampus dipahami sebagai Institusi pendidikan yang bebas dari kepentingan politik kekuasaan. Pasalnya, sebagaimana salah satu tujuan kemerdekaan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan oleh karenanya mesti diperjuangkan melalui lembaga dan institusi pendidikan. Kampus merupakan salah satu manifestasi dari upaya mencapai tujuan bernegara. Begitu pula dengan asumsi publik tentang kampus sebagai laboratorium ilmu pengetahuan yang sudah pasti bebas dari kepentingan politik kekuasaan. sayangnya, segala asumsi tentang kemurnian dan kejernihan kampus dari relasi politik kekuasaan seakan gugur, kala berita tentang para petinggi kampus mendagangkan kekuasaan guna meraup keuntungan.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak lama ini kembali menambah daftar korupsi di perguruan tinggi melalui operasi tangkap tangan terhadap Rektor Unila. Petinggi kampus tersebut terbukti menerima suap biaya penerimaan mahasiswa baru jalur mandiri. sementara nilai suap yang diterima dari para orang tua wali diperkirakan mencapai 5 Milyar. kasus tersebut juga menyeret sejumlah nama lain yang terdiri dari civitas akademik dan seorang dari pihak swasta.

Korupsi di lingkungan perguruan tinggi bukan kali pertama terjadi di Indonesia, sebelumnya juga pernah terjadi di sejumlah perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta dan tersebar di sejumlah daerah. Hal ini terbukti dari data yang dirilis ICW, bahwa selama 10 tahun terakhir (2006-2016), telah terjadi 36 kasus korupsi di lingkungan perguruan tinggi dengan jumlah pelaku yang beragam. tidak hanya berasal dari civitas akademik, melainkan selalu menyeret para pejabat pemerintah daerah dan pihak swasta. dari pihak universitas, para aktor yang berperan berjejer dosen, pejabat di tingkat fakultas hingga rektor. di level daerah, Kota malang misalnya, Malang Corruption Watch Melaporkan pada tahun 2015, telah terjadi 3 kasus korupsi di Perguruan tinggi yang juga menyeret para petinggi kampus. Suap menjadi modus umum, sementara pengadaan barang dan jasa menjadi sektor yang banyak dikorupsi. dari sejumlah kasus di atas, nampak bahwa Menjadi Rektor itu menguntungkan, ko’Bisa?

Menjadi Rektor Selalu Menguntungkan

Apa yang menjadi perhatian kita hari-hari ini tentang seorang rektor mematok biaya penerimaan mahasiswa baru jalur mandiri dari angka 100 juta s.d 350 juta, hanyalah sebuah dampak lanjutan relasi kekuasaan yang timpang antara rektor UNILA dengan masyarakat (orang tua calon peserta baru). ketimpangan relasi ini membuat perguruan tinggi secara semena-mena membuat standar penerimaan, termasuk besaran yang harus disetor oleh setiap orang yang hendak diterima melalui jalur mandiri. padahal, penerimaan jalur mandiri menurut peraturan menteri pendidikan dan kebudayaan harus dilakukan secara transparan dan akuntabel.

Terlepas sebagian orang tua calon peserta menganggap nilai yang dipatok adalah jumlah yang wajar, sebagian lainnya bisa saja keberatan meski tak berani menolaknya, demikian pula mereka yang terpaksa menolak sekalipun penuh konsekuen: menunda pendidikan anaknya, atau mendaftarkan di perguruan tinggi lainnya yang juga tidak kalah mahalnya. Tetapi sejumlah keuntungan yang diterima oleh Rektor UNILA beserta pihak lain yang terlibat memperlihatkan, kampus tidak sekedar memproduksi ilmu pengetahuan melainkan juga menjadi mesin akumulasi kapital bagi para petingginya. jika mengambil nilai terkecil dari range yang dipatok antara 100-350 Juta dikalikan 50% dari kuota calon peserta baru jalur mandiri sebanyak 2.283 Ribu Tahun 2022, maka nilai perkiraan keuntungan yang diperoleh seorang rektor beserta kelompoknya adalah 114,1 Milyar.

Artinya, ketika perhitungan yang sama dengan asumsi bahwa kebanyakan kampus negeri menggunakan pola serupa maka, dapat dibayangkan betapa banyaknya masyarakat indonesia yang dirugikan. Bahkan, dapat disebut negara melalui institusi pendidikan hendak melakukan eksploitasi ganda terhadap rakyatnya secara “memaksa” melalui pajak dan kewajiban membiayai pendidikan bagi anak-anak mereka secara mandiri. Padahal diketahui salah satu tujuan bernegara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan oleh karenanya, pemerintah selaku manifestasi dari negara bertanggung jawab atas segala kebutuhan dasar rakyat, salah satunya adalah pendidikan yang adil dan setara.

Kekuasaan Petinggi Kampus Cenderung Korup

Masifnya praktik korupsi perguruan tinggi belakangan ini menjadi penanda institusi pendidikan tidak benar-benar lepas dari fragmentasi kekuasaan. sebaliknya menjadi arena pertarungan kepentingan para elit kekuasaan, baik dalam lingkaran birokrasi kampus maupun dengan elit penguasa diluar yang sama-sama memiliki kepentingan untuk memperoleh keuntungan. Akibatnya, program dan kebijakan pendidikan dikelola secara tertutup dan tidak partisipatif, sementara kekuasaan dijalankan secara kesewenang-wenangan berdasarkan kepentingan para petinggi kampus.

Persinggungan kekuasaan antara sejumlah kelompok kepentingan di perguruan tinggi dimulai sejak pemilihan Rektor. Pasalnya, menjadi rektor tidak sekedar mengurus ihwal rumah tangga akademik semata, tetapi posisi rektor sangat diperhitungkan dalam struktur kekuasaan lebih luas yakni negara. Karena itu, menjadi naif jika seorang rektor selama menjalankan kewenangannya bebas dari relasi politik kekuasaan yang ada, terlebih pada perguruan tinggi negeri.

KPK, dibawah kepemimpinan Agus Rahardjo, pada 2016 lalu telah memperingatkan kepada para pimpinan perguruan tinggi Negeri tentang pemilihan rektor yang kurang transparan dan akuntabel. Meskipun dalam kesempatan tersebut ketua KPK belum merinci perguruan tinggi negeri mana saja yang dimaksud, namun secara implisit memberi pesan bahwa pemilihan rektor sangatlah problematis, utamanya bagi kampus negeri dengan jumlah aset yang tak sedikit, menjadi radar pengawasan KPK.

Dalam kasus yang dibahas, baik yang terjadi pada Rektor UNILA, maupun pada sejumlah perguruan tinggi lainnya memperlihatkan adanya persinggungan antara kekuasaan rektor dalam mempertahankan kepentingan akademik dengan kepentingan pragmatisme non akademik yakni melanggengkan kekuasaan dan memperkaya diri. kekuasaan, sebagaimana siftanya, yang pada kasus Rektor UNILA maupun pada umumnya, memiliki watak ganda (oportunis). Pada satu sisi kekuasaan di jalan sebagai pengejawantahan atas tugas dan fungsinya, secara bersamaan pula dimanfaatkan sedemikian rupa guna meraup keuntungan sebesar mungkin.

Ikuti tulisan menarik atha nursasi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler