x

Digital Image collections by Tasch 2021

Iklan

Taufan S. Chandranegara

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 23 Juni 2022

Kamis, 15 September 2022 10:33 WIB

Gugusan Gunungan

Halo sahabat Indonesiana. Salam bahagia selalu. Ini Artikel Cinta Bumi Indonesia. Gugusan Gunungan alegori Jawadwipa. Salam baik saudaraku.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Wajah siapa serupa Semar. Sifat siapa serupa Semar. Suara siapa serupa Semar. Mungkin, Semar, dilahirkan dari suatu pola penciptaan kesadaran kebudayaan massa ketika itu-zamannya. 

Tokoh Semar, wajib segera dilahirkan. Ditampilkan kepada publik, mungkin, demi stabilitas kekuasaan pada zaman ketika itu-supaya lebih mampu lagi, melihat kelemahan diri. Mungkin pula, agar pemangku kepentingan saat itu, terhindar dari perangkap kenduri katakata. 

Menjunjung kewajiban silaturahmi, memberi aksara baru dalam kancah kisahkisah, memberi kesejukan, tak lagi ada peperangan nurani. Menerangi pemahaman tulus-kejujuran itu ada di antara senyum juga tampak menangis, itu sebabnya pula, Semar tak ada di Padang Kurusetra, dia ada di kahyangan, diturunkan dalam kisah kebaruan dunia pewayangan Jawadwipa.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Terbitlah sepasang kekasih kala tunggang gunung, rembulan-matahari. Peperangan Padang Kurusetra, versi Jawadwipa, barangkali atas kehendak insan pelaku kekuasaan zamannya pada kisah itu. Seiring waktu berlari simbolis peperangan bertumbuh atribut, berkembang di peradaban. 

Zaman perubahan terus menerus, mungkin pula, karena kekal itu konon tak ada pada kehidupan kasatmata, sebab hidup barangkali merupakan rangkaian perjalanan peristiwa keadaban tatalaku para pelakon. 

Harimau menerkam binatang lain, apapun, guna pemenuhan kebutuhan hidupnya. Jaring labalaba perangkap efektif kebutuhan hidup sang labalaba. Ular memakan sesama ular lebih kecil. Bagaikan kisah naturalisme epik, The Threepenny Opera-Bertolt Brecht, di ranah folosofi si besar memakan si kecil.

**

Kehidupan, konon, hadir untuk insan bernurani, berakal-berbudi, dalam keseimbangan kompleksitas kebutuhan hidup di siklus bumi-semesta. 

Para panakawan anakanak Semar, penyuluh hati para satria, agar senantiasa mawas diri. Dilarang lupa diri-akan menyulut paku bumi Jawadwipa Mahameru, murka, menjadi lautan pasir menggulung nasib para makhluk, bersama badai taifun mengombak samudra. 

Seumpama nih ya, keajaiban alam raya kembali membangunkan Krakatau Purba, membangkitkan gunung Toba Purba. Kembali menjulang sebagaimana awal sejarahnya.

Krakatau-Toba, dua gunung purba, konon, kisah mitos Yunani kuno menjuluki, 'Pilar Hercules', sebab kedua gunung itu konon menjulang menembus langit. Tak terbayangkan keindahannya, barangkali bagai Heaven on Earth.

Mungkin saja akan kembali menggelegar. Jika kedua gunung raksasa mengagumkan itu, mendadak muncul kembali, sebagaimana awalnya pula. Wuih! Ngeri. Berbagi cerita, obrolan umum khayali warung kopi menyoal imaji. 

Perubahan peradaban geologis mungkin pula mampu kembali bergolak tak terduga oleh sains atau tekno apapun. Namun, kemodernan kebudayaan sungguh tak menhendaki hal ihwal bencana apapun. Semoga hidup kebudayaan senantiasa damai di bumi juga di langit.

**

Kisah bertutur-sebuah wiracarita. Sebab hidup, konon, sangat tergantung pada perilaku kesadaran interaksi alam dengan sesama kehidupan kebudayaan-insan kamil, mungkin juga karena hidup tergantung pada air, pada hujan, pada hutan, pada lautan, pada langit, pada oksigen, pada frekuensi, pada gravitasi.

Juga bergantung pada kumparan alam seputar kehidupan para makhluk lainnya. Konon, merupakan pola kesatuan saling memberi kesadaran, keseimbangan, sebagaimana telah dijanjikan sejak awal mula-Nya. 

Tak ada biduk, tak ada serangga, tak ada habitat flora, fauna. Jika amarah ketamakan sekadar ingin membangun ambisi di luar nalar akalbudi hukum Ilahi. Barangkali, tragikomedi, akan sampai pada puncak tragedi.

Universalitas filosofis keadaban budaya ketika itu mencipta, wajah Semar, dicipta oleh kreatornya, berada pada posisi seniperan antara senyum, namun jika diamati, juga, serupa menangis.

Semar berikut panakawan, hadir dicipta, di antara tokoh wayang Jawadwipa. Mungkin guna meredam perilaku kurang baik, agar kehidupan senantiasa utuh, eksak, manunggal dengan Keesaan Sang Gusti Pangeran. 

Para dewa tetap tertib di kahyangan. Para satria khusyuk pada kesetiaan, senantiasa menjauh dari kemurkaan. Para raksasa tak lagi merajalela melahap matahari, menggelapkan dunia. 

Zaman kalabendu. Bukan ancaman. Jika makhluk hidup tak mengutuk diri-sebagai akibat perilaku sendiri. Sebuah kisah selalu, ada, di peralihan peradaban. Menilik, milik zamannya. Barangkali. Salam Indonesia Kuat.

***

Jabodetabek Indonesia, September 15, 2022.

Ikuti tulisan menarik Taufan S. Chandranegara lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu