x

Apakah membenci itu sesuatu yang jahat? Benarkah? Bagaimana jika Anda tidak membenci dosa-dosa Anda? Apakah itu benar? Benci pada dirinya sendiri bukanlah sesuatu yang salah.

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Jumat, 16 September 2022 06:37 WIB

Ayo Selamatkan Bahasa Kita dari Pencemaran oleh Rasa Benci

Kedengkian, kebencian, keangkuhan, dan kesombongan menjadi pendorong siapapun untuk memilih bahkan kata-kata yang paling buruk dalam berkomunikasi. Ketika ia atau mereka atau siapapun melontarkan kata-kata yang sangat buruk kepada manusia lainnya, bukankah berarti ia merasa dirinya jauh lebih baik? Hasrat apa yang mampu membuat seseorang sedemikian angkuh?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sebagai bagian dari hidup keseharian, Bahasa Indonesia layak kita cintai oleh karena ia menjadikan kita teman dan sahabat dan menjadi satu ikatan sebagai bangsa. Kita mengucapkan selamat pagi, terima kasih, boleh minta tolong, apa yang dapat aku bantu, bagaimana kesehatanmu adalah kosakata yang membangun aura pertemanan untuk kebaikan. Ada simpati dan empati, ada ekspresi yang mendorong orang untuk tersenyum, senang, dan lepas dari ketegangan dan meringankan beban hidup.

Saat bertemu dengan orang-orang yang baru kita kenal, kosakata baik yang kita ucapkan akan menjadi pembuka relasi yang baik sebagai sesama manusia. Bahkan, lebih dari itu, mendorong terpeliharanya sifat-sifat kemanusiaan yang baik, karena orang lain merasa dimanusiakan sebagaimana mestinya, bukan direndahkan bahkan hingga setingkat hewan melata.

Kemana arah perkembangan bahasa, termasuk bahasa kita, bergantung pada bagaimana kita memakai bahasa ini dalam relasi dengan siapapun dan dalam urusan apapun. Secara sosial, bahasa akan tumbuh baik bila digunakan untuk tujuan baik dan dengan niat baik. Untuk membangun relasi yang baik, orang akan cenderung memilih kosakata yang baik, menyenangkan, membuat orang lain nyaman, sehingga kesukaran dan jalan buntu dapat dibicarakan dengan tenang.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kreativitas yang tumbuh karena manusia ingin terus berkomunikasi dengan kosakata baru akan berwujud kreativitas yang positif. Orang akan mengkreasi kata-kata baru yang bagus, enak didengar, nyaman diucapkan, membuat orang lain merasa dihargai, dan selanjutnya akan mendorong lahirnya kosakata baru lagi. Kita pun membutuhkan humor, maka lahirlah kosakata baru yang membikin kita tersenyum dan tertawa, tapi bukan dari jenis yang menertawakan orang lain, apa lagi merendahkan hingga menjadikan orang lain sasaran perundungan.

Setiap kata baik yang kita ucapkan akan jadi pendorong positif bagi orang lain, menciptakan rasa nyaman bersama—sesuatu yang penting dalam upaya menjalin relasi sosial yang saling menghargai, serta tidak meninggalkan rasa sakit. Perjalanan menuju kebaikan itulah yang kita tempuh manakala kita menggali, mengembangkan, dan menggunakan lebih banyak kata-kata baik yang bermanfaat bagi kemanusiaan.

Sebaliknya, bahasa kita akan tumbuh jadi buruk dan semakin memburuk bila kosakata buruk, kotor, dan jahat lebih sering digunakan dalam menjalin relasi sosial. Niat buruk serta tujuan buruk menjadi pendorong siapapun untuk memilih kata-kata buruk dari sekian ribu kosakata yang tersedia. Kamus bahasa kita begitu tebal dan memuat puluhan ribu kata, tapi mengapa kata-kata yang merendahkan kemanusiaan, menyakiti, mengolok-olok, merundung, dan menghina yang dipilih untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan? Dan, kosakata yang dipilih itu pun sangat terbatas serta diulang-ulang: t***l, d***u, b***h, seakan-akan tidak ada kosakata lain yang lebih layak digunakan untuk berkomunikasi dengan sesama manusia.

Kedengkian, kebencian, keangkuhan, dan kesombongan menjadi pendorong siapapun untuk memilih bahkan kata-kata yang paling buruk dalam berkomunikasi. Ketika ia atau mereka atau siapapun melontarkan kata-kata yang sangat buruk kepada manusia lainnya, bukankah berarti ia merasa dirinya jauh lebih baik? Hasrat apa yang mampu membuat seseorang sedemikian angkuh? Apakah ia merasa sangat cerdas ketika menyebut orang lain t***l? Apakah ia merasa secerdas Tuhan [jika ia percaya] sehingga menyebut manusia lainnya t***l tingkat k***l? Ataukah perbendaharaan katanya memang sebatas itu?

Bahasa kita akan tumbuh buruk jika dipakai untuk tujuan buruk dan dengan niat buruk. Bahasa kita akan tumbuh dalam lingkungan kotor karena kita lebih senang memakai kata-kata buruk untuk bermasyarakat. Pikiran yang buruk, yang dilandasi kedengkian, kebencian, hasrat merendahkan, hanya akan melahirkan kosakata baru yang buruk pula. Namun, barangkali di situlah para penggunanya merasakan kenikmatan ketika melihat orang lain yang ia juluki dengan kosakata buruk, bahkan hewaniah, menjadi tertawaan banyak orang. Dan karena energi buruknya terlepaskan pada orang lain, ia merasakan kelegaan yang luar biasa, kenikmatan tiada tara, yang mendorongnya untuk mengulang kembali perbuatan serupa demi menikmati kelegaan yang sama.

Bahasa Indonesia yang kita cintai dapat berkembang jadi lebih indah, efektif, enak didengar, berenergi positif, dan kebaikan lainnya bila kita memakainya untuk tujuan baik dan dengan cara yang baik. Kosakata baik akan bertambah pula sebab lahir dari pikiran yang baik dan kreativitas yang baik, yang lahir dari rasa cinta kepada bahasa ibunya sendiri.

Namun, bahasa Indonesia yang kita cintai ini akan cenderung menjadi rusak bila dibiarkan berada dalam lingkungan yang kotor, yang tidak menghargai kemanusiaan, yang disesaki oleh amarah dan kebencian, yang dicemari oleh hasrat merendahkan dan menghina orang lain. Kata-kata kasar, menyakitkan, menimbulkan kemarahan, membangkitkan kebencian, mengolok-olok, menjadikan bahan tertawaan, menjadikan sasaran perundungan semakin mengotori bahasa yang kita cintai ini.

Tidakkah kita ingin menyelamatkan bahasa kita ini dan menyelamatkan kemanusiaan kita? >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler