x

SUmber ilustrasi: haibunda.com

Iklan

Ikhwanul Halim

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 19 September 2022 18:45 WIB

Hadiah dari Indra

Bertahun-tahun kemudian, pada suatu siang yang cerah yang biasa dihabiskan untuk tawar-menawar harga pakaian dengan para pedagang di Pasar Baru, Kokom akan menyadari bahwa mungkin Indra adalah orang yang baik. Tapi hari ini, dia duduk di lantai apartemennya di Cibeureum, buku Kidung Bocah Udik terbuka di depannya. Nama Indra masih segar meluncur dari bibirnya. Dia mendesahkan nama orang yang telah berarti begitu banyak sekaligus sangat sedikit berbuat.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Bertahun-tahun kemudian, pada suatu siang yang cerah yang biasa dihabiskan untuk tawar-menawar harga pakaian dengan para pedagang di Pasar Baru, Kokom akan menyadari bahwa mungkin Indra adalah orang yang baik. Tapi hari ini, dia duduk di lantai apartemennya di Cibeureum, buku Kidung Bocah Udik terbuka di depannya. Nama Indra masih segar meluncur dari bibirnya. Dia mendesahkan nama orang yang telah berarti begitu banyak sekaligus sangat sedikit berbuat.

Teman-temannya akan segera tiba. Mereka akan berbicara dengannya dengan gaya wartawan investigasi, dengan pertanyaan mengapa dia memutuskan untuk melepaskan pria yang telah menjadi kekasihnya selama lima tahun tergantung di ujung lidah mereka.

Foto Indra dengan baju seragam cokelat masih tergantung di dinding. Suatu hari, Mbok Yem temannya bertanya apakah dia harus menurunkannya, tapi Kokom bilang dia akan melakukannya sendiri. Tapi dia tahu bahwa dia tidak akan pernah menurunkannya, seperti dia tidak akan pernah bisa melupakan kesunyian yang asing di situ tanpa Indra di dalamnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dari tempat duduknya di lantai, dia melakukan apa yang akan dilakukan Indra-nya. Mungkin dia sedang duduk bersila di sofa di rumah Emak, topinya diletakkan di meja ruang tamu dan teko kopi kental di sampingnya. Pagi ini, saat Kokom menyedu secangkir teh, telepon berdering, dan dia tahu itu Emak.

Dia menguatkan dirinya sendiri untuk menerima curahan daftar kesalahan yang sama seperti yang dilontarkan ibunya sendiri kepadanya, tetapi begitu dia mendengar suara Emak yang penuh semangat, dia tahu daftar tidak akan pernah dibuat.

Kokom perlahan mengangkat kepalanya dan menjauh dari halaman buku yang ingin dia baca. Dia menatap kalender di dinding dan melihat bahwa baru empat hari tanpa Indra. Mbok Yem masih memasak makanan kesukaan Indra. Tampaknya Mbok Yem memiliki lebih banyak harapan daripada Kokom bahwa dia akan muncul di pintu depan, Lexus hitamnya diparkir di sebelah semak duri hitam di depan gedung apartemen dan sepotong roti dari Kartikasari di tangannya.

Dalam beberapa tahun ke depan, kehidupan Kokom menjadi dipenuhi kerahasiaan. Dia tidak akan pernah memberitahu teman-teman barunya di Jakarta bahwa namanya bukan Komariah tapi Saci karena dia mengenang Indra. Kokom tidak akan memberi tahu siapa pun ketika bapaknya meninggal. Sebaliknya, dia mengubur kesedihan untuk seorang lelaki yang tak pernah dia kenal dengan memperbanyak kerja lembur.

Dia tidak akan pernah memberi tahu siapa pun bahwa Indra adalah orang yang meninggalkannya. Dia tidak akan pernah memberi tahu siapa pun bahwa Amrita, putrinya yang berusia tujuh tahun suka menyanyi dan berdandan adalah hadiah perpisahan dari Indra.

 

Bandung, 19 September 2022

Ikuti tulisan menarik Ikhwanul Halim lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB