x

Meteoroids are billions of years old

Iklan

Ikhwanul Halim

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Selasa, 20 September 2022 19:53 WIB

Kiamat Telah Tiba (35): Serena Bianchi

Serena Bianchi alias Signora-Cemeti-Kulit menuangkan teh untukku dan Vivienne di ruang tamu bungalo Santa Marinella, pinggiran Roma.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

20 April

 

Serena Bianchi alias Signora-Cemeti-Kulit menuangkan teh untukku dan Vivienne di ruang tamu bungalo Santa Marinella, pinggiran Roma.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Bagaimana perasaan Anda?” Vivienne bertanya dengan prihatin dalam bahasa Italia yang fasih.

"Jauh lebih baik sekarang," jawab Serena. "Apakah kalian berdua polisi juga?"

“Bukan,” jawab Vivienne. “Saya bekerja untuk ICE, dan Signor Morreau adalah ...,” Vivienne berhenti sejenak untuk mencari dengan tepat apa statusku yang sangat aneh di dunia baru-baru ini. “Signor Moreau adalah konsultan spesialis kami.”

"Dan kalian tidak akan menangkapku karena apa yang aku lakukan di sini?" tanya Serena.

"Kami ingin membuat kesepakatan dengan Anda, Signorina Bianchi," lanjut Vivienne. “Bisnis Anda dapat berlanjut seolah-olah tidak ada yang terjadi. Yang kami minta hanyalah Anda memberi tahu kami semua yang Anda ketahui tentang Uskup Angelo Lombardi. Juga, tolong jangan beri tahu siapa pun tentang semua ini.”

“Bene,” kata Serena. “Aku sangat lega. Aneh kedengarannya, tapi aku sangat menyukai klien-klienku. Sebagian besar tampak seperti orang yang sangat baik, atau aku tidak akan memberikan jasa layananku untuk mereka. Apa yang mereka suka lakukan secara pribadi bukanlah urusan siapa pun kecuali urusan mereka sendiri. Hatiku hancur jika mereka sampai kehilangan pekerjaan di gereja, militer, dan pemerintah karenaku.”

“Gereja, militer dan pemerintah?” aku mengulangi kata-katanya dalam bahasa Prancis.

"Sebaiknya kami tidak tahu apa-apa tentang klien Anda yang lain," sela Vivienne buru-buru.

"Ini semua terdengar sangat penting," Serena melanjutkan, mengubah topik pembicaraan. "Kalian tiba di sini sangat cepat."

“Sayangnya kami tidak bisa memberi tahu Anda banyak tentang itu semua, Serena,” kata Vivienne, “tetapi nama uskup ada dalam daftar khusus yang disimpan di database polisi. Jika ada masalah polisi yang melibatkan dia, kami segera mengambil alih.”

Aku mengeluarkan sebuah gambar dari sakuku. “Apakah ini pria yang menculik uskup?” Aku memberikan foto Lacroix kepadanya.

“Ya, aku sangat yakin,” jawabnya.

“'Apakah dia mengatakan sesuatu?” aku bertanya dalam bahasa Italia yang menurutku tak begitu buruk.

'Dia tidak mengatakan apa-apa sama sekali. Dia menulis instruksi itu di papan tulis.”

Serena menunjuk ke papan di atas meja di depan kami. “Dan dia melakukan segalanya dengan isyarat. Aku tidak pernah mendengar suaranya.”

"Dan dia punya pistol," kata Vivienne.

“Browning 9mm,” jawab Serena.

Alis Vivienne sebelah kanan terangkat. "Anda tahu lebih banyak tentang senjata daripada kebanyakan orang," dia memberanikan diri.

"Aku tidak tahu apa-apa tentang senjata api," jawab Serena. “Hanya saja beberapa klien militer saya suka melibatkan senjata dalam skenario yang kami mainkan. Kebetulan aku memiliki replika Browning 9mm. Aku menyimpulkan bahwa pistol itu sebagai senjata standar bagi semua personel militer sejak Perang Dunia Kedua.”

"Itu benar," kata Vivienne.

“Apa yang bisa kamu ceritakan tentang Uskup Lombardi?” saya bertanya.

Serena tampak sedikit gelisah.

'Yang ditanyakan Signor Moreau hal-hal yang mungkin dikatakan uskup kepada Anda tentang hidupnya,” Vivienne mengklarifikasi. "Kami tidak perlu tahu tentang aktivitas yang Anda dan dia lakukan."

"Aku bertemu dengannya sudah selama lima tahun," Serena mulai bercerita. “Dia tidak banyak bicara tentang dirinya sendiri. Dia tampaknya memiliki keyakinan yang sangat konservatif. Dia terkadang bercanda bahwa dia dilahirkan terlambat tiga ratus tahun, dan dia takut bahwa ‘Gereja yang benar’, seperti yang dia katakan, sekarang sedang mengalami kemunduran. Dia keberatan dengan perubahan sikap Gereja terhadap perempuan dan kaum gay. Aku tidak bisa mengatakan aku setuju dengan banyak pandangannya, tetapi dia tampak sangat tulus.”

“Bagaimana dia menyesuaikan semua itu dengan datang menemuimu?” tanyaku

“Aku tidak yakin. Mungkin dia mencoba untuk tidak memikirkannya. Dia mengatakan bahwa aku adalah rahasia terbesar kedua.”

“Tahukah Anda apa rahasia terbesarnya?” tanya Vivienne.

“Aku menanyakan itu padanya belum lama ini, hanya untuk menggoda. Aku tidak mengharapkan jawaban. Dia mengatakan bahwa itu terkubur dengan aman di suatu tempat di Saint-Aubin-du-Cormier.”

 

BERSAMBUNG

Ikuti tulisan menarik Ikhwanul Halim lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler