x

Ilustrasi Anas. Annie Spratt dari Pixabay

Iklan

Nuhria Arsal

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 4 Agustus 2022

Jumat, 23 September 2022 19:38 WIB

Aku Rindu Ayah yang Dahulu

Kisah seorang anak laki-laki yang bernama fathir yang memiliki adik bernama ilham namun dalam perlakuan orang tuanya terhadap mereka berbeda terutama sang ayah yang lebih menyayangi ilham, namun meski demikian fathur selalu berusaha untuk menjadi anak dan kakak yang baik, apakah fathir akan kuat menghadapi sikap dari orang tuanya, dan bagaimana sebaiknya menjadi orang tua yang baik untuk anak-anak nya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Aku rindu ayah yang dahulu

“Ayah, aku ingin makan es krim rasa strawberry.” Ucap adikku Ilham dengan menggelayut ditangan ayahku.

“Ayo pergi membeli bersama ayah, ayah akan membelikan banyak es krim untukmu.” Jawab ayahku dengan senyuman. Mendengar kata es krim, siapa pun pasti akan tergoda begitu pun aku.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 “Aku juga mau Ikut, aku mau es krim rasa coklat.” Ucapku dengan harap.

“Ayo kak Fathir, kita pergi bersama-sama untuk membeli es krim” Ilham sangat bersemangat dan tak sabar untuk segera ke toko es krim dan membeli es krim kesukaannya.

“Ayah hanya akan ke toko es krim dengan Ilham, jika kau ingin es krim pergilah sendiri ke toko, ini uangnya.” Ucap ayahku dingin, memberikan uang kepadaku lalu Ia menarik tangan Ilham.

“Ayo Ilham, kita keluar membeli es krim kesukaanmu, jangan lupa pakai jaket di luar sangat dingin.” ucap ayah kepada Ilham dengan sangat hangat.

Mendengar ucapan ayah aku hanya terdiam lalu melihat mereka keluar pintu rumah dan pergi ke toko es krim bersama. Aku sudah sering menerima perlakuan ayah yang seperti itu, tetapi aku tidak pernah membenci ayah. Aku sayang keluargaku terutama ibuku, yang selalu mendengarkanku dan bermain denganku lebih sering di bandingkan dengan ayahku.

Aku Fathir anak pertama dari dua bersaudara. Aku memiliki satu adik yang selalu ceria, bernama Ilham. Ilham memiliki senyum yang indah dan memiliki semangat yang baik, sehingga aku dan keluargaku sering terbawa oleh semangat dan keceriaan yang Ia miliki. Ilham terlahir dengan memiliki satu ginjal, itu sebabnya ayah selalu memberi perhatian lebih terhadap Ilham.

“Fathir, sedang apa berdiam disini?” tanya ibuku yang datang dari dapur.

“Ah iya, tidak bu, tidak apa-apa.” Jawabku seraya tersenyum. Ibu yang memahami keadaannya lalu mengajakku ke dapur, untuk membantunya membuat kue coklat.

Hari mulai menjelang malam, aku keluar dari kamarku setelah selesai mengerjakan tugas sekolah. Aku berada di kelas 2 tingkat SMP saat ini, dan Ilham baru akan masuk ke TK tahun depan. Saat aku membuka pintu kamar dan hendak berjalan ke ruang tamu, Ilham berlarian dari dapur dan tidak sengaja menabrakku lalu Ia jatuh tersungkur ke lantai. Tak beberapa lama, Ia menangis. Aku masih dalam keadaan kaget hanya diam melihatnya terjatuh, hingga tangisannya menyadarkanku untuk segera menolongnya.

“Ilham kau tidak apa-apa?” tanyaku yang khawatir dan berusaha menenangkan tangisannya. Ayah dan ibu keluar dari kamar. Aku bisa lihat sorot mata ayah yang sangat menyeramkan saat itu.

“Apa yang telah kau lakukan terhadap adikmu? Kau mendorongnya?!” tanya ayah dengan nada tinggi. Aku gemetar dan hampir menangis karenanya.

“Ia tidak sengaja terjatuh yah, bukan aku yang mendorongnya.” Jawabku berusaha menahan diri untuk tidak menangis.

“Lihat! Akibat kau mendorongnya, lutut adikmu menjadi biru seperti ini!” ucap ayahku masih dengan nada tinggi dan sorot mata yang menyeramkan. Ilham masih terus menangis, aku berharap Ia berhenti menangis dan menjelaskan yang terjadi sebenarnya. Sayangnya itu tidak mungkin.

“Aku benar-benar tidak mendorongnya ayah, tolong dengarkan aku” aku berusaha menyanggah apa yang ayah katakan. Ibu menggendong Ilham dan berkata,

“Sudah mas cukup. Ini hanya lebam sedikit, akan hilang jika segera di kompres air dingin. Fathir, kembali ke kamarmu ya.” Ucap ibu dengan muka yang khawatir.

“Tapi bu, aku mau membantu Ilham, aku mau lihat apa dia baik-baik saja.” Aku takut adikku tidak baik-baik saja. Baru hendak ikut ke dapur, ayah menarik tanganku.

“Masuk kamar! Kau tidak perlu membantu!” ayahku menarik paksa tanganku, untuk masuk ke dalam kamar. 

Aku berdiri dibalik pintu, lalu menangis tanpa suara. Aku menangis karena khawatir terhadap adikku, tetapi juga karena perlakuan ayah yang terlalu keras terhadapku. Apa yang salah dari diriku, sehingga ayah bersikap jauh seperti itu. Setelah sikapnya itu aku berpikir apakah ayah benar-benar sayang denganku. Untuk anak laki-laki mungkin menangis hal yang harusnya di hindari. Tetapi aku benar-benar sesak mendengarnya berkata dengan nada tinggi dan tidak mempercayai ucapanku. Aku berjalan ke arah kasur dan berbaring disana, aku menatap langit-langit kamarku dan memejamkan mata. Terlintas di dalam pikiranku kenangan-kenangan masa kecil ketika Ilham belum ada saat itu. Kenangan saat aku, ibu dan ayah piknik bersama di tepi sungai. Ayah dan ibu tertawa melihatku berlarian ke arah mereka. Ayah yang menuntunku mengenalkan nama-nama serangga dan bunga-bunga yang tumbuh di tepi sungai. Sungguh kenangan yang sangat baik untuk di ingat saat ini. Dalam mata terpejam aku tersenyum tanpa terasa kembali meneteskan air mata. 

“Aku rindu ayah yang dahulu” ucapku lirih, dan mulai terlelap malam itu.

Setahun berlalu, hari ini adalah hari kelulusanku dari SMP. Aku sudah tidak sabar untuk segera sampai di sekolah. Aku sangat bahagia karena hari ini banyak siswa yang hadir dengan orangtuanya. Aku mau menunjukkan ke ayah hasil nilai tinggi yang kudapatkan dari ujian kemarin. Ayah pasti akan senang dan akan memelukku nanti. 

Sesampainya di sekolah aku melihat sekolah begitu ramai dengan para orangtua yang hadir untuk melihat kelulusan anak-anak mereka. Aku memasuki kelasku dan para orangtua menunggu di luar. Walaupun ayah sama sekali tidak mengajakku berbicara sejak tadi, aku masih yakin ayah pasti akan bangga melihat nilai-nilaiku. Guru wali kelasku memintaku ke depan untuk menerima piagam siswa dengan nilai tertinggi kedua di sekolah. Aku lihat ibu menyeka air matanya di didepan pintu kelas, tetapi dimana ayah? Aku tidak menemukannya di sekitar ibu. 

Aku dan teman-temanku keluar kelas dan menemui orangtua kami masing-masing. Ibu memelukku sangat erat dan tak henti-hentinya mencium pipiku.

“Ibu bangga nak, dengan kamu. Kau memang anak ibu yang hebat.” Ucap ibu dengan tersenyum bangga. Aku tersenyum dan bertanya kemana ayah dan juga Ilham. Ibu mengatakan kalau mereka berada di luar. 

Aku berlari sambil memeluk piagam yang akan ku tunjukkan ke ayah. Aku melihat ayah sedang duduk di taman halaman sekolah dengan Ilham. Aku berlari ke arahnya saat sudah dekat dengannya, aku tersandung batu dan tidak sengaja menyenggol tangan ayah yang sedang memegang es krim Ilham. Aku meringis kesakitan karena lututku berdarah. Ibu menghampiriku, 

“Kau tidak apa-apa Fathir? Ya ampun, lututmu berdarah” tanya ibu seraya mengeluarkan tisu dari dalam tasnya.

“Astaga! Kau ini, bisa tidak untuk tidak lari?! Lihat es krim Ilham terjatuh karenamu. Dan bajuku jadi kotor.” Ucap ayah dengan nada tinggi, membuat beberapa orangtua di sekitar melihat kami. Aku merasa ingin menangis, melihat orang-orang yang tau kalau ayah tidak berbuat baik kepadaku. Aku takut orang-orang berpikiran buruk terhadap ayahku. Aku berusaha bangkit dan mengambil tisu yang ibu pegang lalu membersihkan baju ayah yang terkena es krim. 

“Tidak perlu! Kau selalu membuat masalah. Pergi dariku!” ayah pergi dengan menggendong Ilham. Orang-orang di sekitar kami saling berbisik. Aku benar-benar tidak tahan lagi, aku berdiri dan berteriak kepada ayah.

“AKU AKAN PERGI, HINGGA KAU TIDAK BISA MENEMUKANKU!” Ayah menoleh sebentar lalu kembali berjalan ke mobil. Aku berlari sekuat mungkin meninggalkan kedua orangtuaku dan juga Ilham. Ibu hendak mengejarku namun di tahan oleh salah satu guru di sekolahku. Aku berlari sejauh mungkin hingga mereka tidak dapat menemukanku lagi. 

Hampir 30 menit aku berlari dan sampai di tempat yang memang aku ingin tuju. Tempat dimana segalanya masih baik-baik saja. Aku duduk ditepi sungai dan memandang lurus ke depan. Perlahan air mataku menetes, tapi segera kuhapus. 

“Mereka tidak akan menemukanku.” Ucapku lirih.

Selama ini aku selalu berusaha agar ayah melihat keberadaanku. Tetapi yang kulakukan tidak cukup baginya untuk melihat bahwa ada aku, putranya juga. Ayah hanya melihat dan memperhatikan Ilham terus-menerus. Hingga hari ini aku benar-benar ingin pergi dari keluargaku.

Di rumah ibu menangis dan terus menyalahkan ayah. 

“Apa yang salah denganmu mas? Dia hanya anak SMP tapi kau perlakukan seperti orang asing yang tinggal disini.” Ucap ibu dengan tangisan.

“Dia selalu membuat masalah tau tidak. Ilham terjatuh karenanya, lalu tadi dia menjatuhkan makanan kesukaan Ilham.” Jawab ayah dengan marah.

“Aku tidak habis pikir denganmu mas. Karena hal ini, kau tega membentaknya dan menyuruhnya pergi. Lihat! Sekarang anakmu tidak ada di rumah ini. Bagaimana jika Ia di culik dan tersesat dijalan?!” Ibu tidak dapat lagi menahan kemarahannya.

“Ia pasti akan pulang sebentar lagi, kau tidak perlu cemas dia sudah SMP, dia bisa bertanya dengan orang disekitar jika tersesat.”

“Kalau sampai sore Fathir tidak pulang ke rumah ini, aku akan membawa Ilham pergi darimu.” Ibu membanting pintu kamar dan pergi ke kamarku.

Di dalam kamarku ibu menangis di atas kasurku. Ilham masuk memeluk ibu dari belakang, Ilham merasa sedih melihat kamarku yang kosong tanpa ada diriku disana. Ilham melihat sekeliling kamar dan terhenti pada tembok tepat didepan meja belajarku. 

“Ibu, lihat! Kakak menggambar semua ini ya bu?” tanya Ilham dengan polos melihat gambar-gambar yang kubuat disana. Ibu bangkit dan berjalan ke arah tembok, awalnya gambar-gambar itu tampak tidak istimewa. Hingga ibu melihat satu gambar yang membuat ibu paham. Pada gambar terdapat sebuah keluarga yang berkumpul di tepi sungai, melakukan piknik dan mereka saling bercanda bersama. 

“Ilham, ayo ikut ibu. Ibu tau kakakmu ada dimana.” Ibu menarik tangan Ilham yang bingung dengan ucapan ibu, tetapi Ilham menurut saja dan pergi bersama ibu.

Ayah keluar dari kamarnya setelah mengerjakan tugas kantornya. Ayah bingung mengapa rumah terasa kosong, dimana Ilham dan juga istriku, pikirnya. Hingga ayah melewati kamarku yang terbuka sedikit pintunya. Ini untuk pertama kalinya ayah masuk ke kamarku. Ayah mengitari mata melihat sekeliling kamarku. Ayah tertegun melihat beberapa gambar yang sebelumnya ibu dan Ilham lihat. Awalnya ayah hanya melihat-lihat setiap gambar. Sampai ayah sadar akan satu gambar yang membuatnya tersentak. Gambar dimana ayah menggendongku ketika kami piknik di tepi sungai. Gambar dimana ayah masih memberikan kasih sayangnya terhadapku, saat dimana ayah masih menganggap aku ada. Ayah ingat, ini adalah gambar saat aku masih kecil dan kami melakukan piknik bersama di tepi sungai. Ingatan-ingatan itu muncul semua di pikiran ayah. Ayah menjatuhkan dirinya di kursi belajarku, lalu mengusap wajahnya. Apa yang telah aku lakukan selama ini terhadapmu nak, sesal ayah di dalam dirinya. Tanpa berpikir panjang, ayah keluar rumah dan pergi dengan mobilnya, ke tempat yang ada pada gambar tersebut.

Ayah melajukan mobil dengan sangat cepat agar segera tiba di tujuan. Ayah tiba dan langsung memakirkan mobilnya di sembarang tempat. Ayah keluar dari mobil dan menyusuri seluruh tempat untuk menemukanku. Hingga ayah terhenti saat melihat seorang anak laki-laki duduk di bangku tepi sungai dengan menghadap lurus kedepan. Ayah berjalan menghampiri anak laki-laki itu dan duduk di pinggir bangku. Aku sadar akan kehadiran ayah dan mulai mengungkapkan isi hatiku padanya. 

“Ayah, aku belajar dengan sungguh-sungguh mendapatkan nilai yang tinggi agar kau bangga padaku. Ayah, aku berusaha semampuku agar ayah memberikan kasih sayangmu lagi kepadaku. Aku iri ayah melihatmu bermain dengan Ilham bercanda dan tertawa bersama. Sedangkan aku tidak dapat bergabung dengan kalian. Aku hanya bisa melihat kalian dari kejauhan. Ayah, bisakah kau memberikan sedikit kasih sayangmu untukku, dan bermain bersamaku? Aku ingin bermain denganmu ayah.” tuturku dengan di akhiri tangisan.

 “Nak, maafkan sikap ayah selama ini yang terlalu keras terhadapmu. Ayah pikir kau akan terus mengerti dengan keadaan adikmu. Tetapi ayah salah, ayah yang memaksakanmu untuk mengerti. Ayah sadar sekarang bahwa ayah terlalu keras terhadapmu. Maafkan ayahmu yang egois ini, nak.” Ucap ayah dengan menunduk dan menangis, untuk pertama kalinya aku melihat ayah menangis saat itu.

Aku mendekati ayah dengan perlahan memeluknya, aku takut pelukanku ini mengganggunya. Tetapi ternyata ayah membalas pelukanku, dan terus menerus menyalahkan dirinya.

“Aku sayang ayah, ayah tetap ayahku. Ayah tidak perlu terus menerus menyalahkan diri ayah.” Ucapku sambil mengangkat wajah ayah yang menunduk.

Dari kejauhan ibu melihat kami sambil menggendong Ilham yang tertidur. Ibu dan Ilham datang terlambat karena menggunakan angkutan umum untuk sampai ke tempat ini. Ibu berjalan pelan untuk menghampiri kami. Ibu tidak mau mengganggu keserasian yang lama sekali tidak terlihat. Ayah dan aku sadar akan kehadiran ibu, kami pun berpelukan bersama. Akhirnya kami semua kembali berkumpul di tempat yang selalu menjadi kenangan yang terindah untukku, kini kenangan indah di tempat ini bertambah. Aku sayang keluargaku.

 

#kisah@Nivan9825

Ikuti tulisan menarik Nuhria Arsal lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler