x

Iklan

Luna Septalisa

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 29 Agustus 2022

Jumat, 23 September 2022 19:40 WIB

Mengontrol Perempuan Lewat Jilbab

Kematian seorang perempuan Iran, Mahsa Amini, di dalam tahanan polisi akibat pelanggaran aturan berpakaian yang mengharuskan perempuan untuk berjilbab, menyulut reaksi masyarakat di negara tersebut. Kejadian ini memberi gambaran bahwa di suatu komunitas bahkan negara, jilbab telah menjadi alat kontrol sosial atas perempuan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kematian Mahsa Amini dalam tahanan telah menyulut reaksi masyarakat dan massa dari universitas-universitas di sejumlah daerah di Iran. Mereka turun ke jalan-jalan dan berdemonstrasi untuk memprotes dan menuntut transparansi atas kematian perempuan muda berusia 22 tahun tersebut. 

Kejadian ini bermula dari penangkapan Amini oleh polisi moralitas Iran pada Selasa, 13 September 2022 dengan alasan pelanggaran aturan berpakaian yang mengharuskan seorang perempuan untuk mengenakan penutup kepala atau jilbab. 

Saat di dalam tahanan, Amini pingsan dan dinyatakan meninggal setelah dilarikan ke rumah sakit. Polisi menyangkal telah melakukan penyiksaan pada Amini ketika ia berada dalam tahanan dan mengatakan bahwa Amini meninggal karena serangan jantung. Namun, keluarga Amini mengatakan bahwa ia tidak memiliki riwayat penyakit tertentu dan dalam keadaan sehat ketika ditangkap. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Apa yang terjadi pada Amini menambah panjang daftar kontrol berlebihan atas tubuh perempuan. Sebelum Revolusi Iran tahun 1979, kita bisa menemukan perempuan-perempuan berpakaian ala Barat, seperti rok mini, celana denim ketat dan atasan berlengan pendek. Mereka juga lebih bebas bepergian ke mana-mana, baik bersama teman-temannya, keluarga maupun sendiri. Kaum perempuan pun didorong untuk berpendidikan tinggi. Bahkan, pihak berwenang sampai meyakinkan keluarga konservatif yang tinggal di pedesaan untuk mengizinkan anak perempuannya belajar jauh dari rumah. 

Setelah Revolusi Iran, segalanya berubah. Negara menerapkan kontrol berlebihan atas cara berpakaian, menata rambut hingga pergerakan perempuan. 

Kondisi serupa tidak hanya terjadi di Iran, melainkan juga di beberapa negara Timur Tengah, seperti di Arab Saudi, Afghanistan (setelah Taliban menguasai negara itu), bahkan, mulai tampak pula riak-riaknya di Indonesia. Bedanya adalah di Indonesia, hal tersebut lebih sering ditemukan di lingkup-lingkup yang lebih kecil, seperti keluarga, institusi pendidikan, kelompok -kelompok sosial atau beberapa daerah yang menerapkan Perda Syariah. 

Lain di Iran, lain di Indonesia, lain pula di Barat. Di saat negara-negara Timur Tengah atau negara mayoritas Islam menjadikan jilbab sebagai alat kontrol sosial, negara-negara Barat—terutama yang tingkat Islamophobianya tinggi—menuding jilbab sebagai alat opresi yang mengekang kebebasan perempuan dan tidak menghargai kesetaraan. Mereka dilarang berjilbab di ruang publik (seperti yang terjadi di Prancis), didiskriminasi dan tidak jarang diasosiasikan sebagai teroris. 

Perbedaan Pandangan Ulama Tentang Aurat Perempuan

Berbicara tentang kewajiban berjilbab tentu tidak dapat dilepaskan dari bahasan tentang aurat perempuan.

Aurat adalah bagian tubuh yang harus ditutup dan tidak boleh ditampakkan kepada yang bukan mahram. Mayoritas umat Islam meyakini pandangan bahwa aurat perempuan adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan.

Namun, pendapat ini bukan satu-satunya. 

Adapun dalil yang biasanya dijadikan rujukan mengenai aurat perempuan, misalnya Surat An-Nur ayat 31 yang memuat kalimat berikut, "Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) terlihat. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya…” 

Para ulama berbeda pandangan soal apakah perhiasan yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah tubuh perempuan (aurat), riasan wajah (make up) atau aksesoris/perhiasan dalam arti harfiah (gelang, cincin dll)? Begitu pula soal apa yang biasa terlihat. 

Ada ulama yang berpendapat bahwa yang biasa kelihatan adalah pakaian luar. Ada yang berpendapat bahwa yang biasa kelihatan maksudnya cincin dan gelang. Ada lagi yang berpendapat celak mata, alis yang dirapikan atau ditebalkan sekadarnya, lipstik, eyeshadow, perona pipi dan dagu atau hena/pacar/kutek di tangan dan kaki. 

Mazhab Hanafi, Maliki dan Syafi'i dalam satu qaul mengatakan bahwa wajah dan telapak tangan bukan aurat. Kemudian, yang dimaksud dengan apa yang biasa tampak adalah apa yang secara adat atau tradisi biasa kelihatan. Itu sebabnya, diriwayatkan dari Imam Abu Hanifah bahwa telapak kaki bukan aurat. 

Murid senior Imam Abu Hanifah dan Ketua Mahkamah Agung era Khalifah Harun Ar-Rasyid, Imam Abu Yusuf malah berpendapat batasan aurat perempuan lebih longgar lagi, yaitu lengan perempuan tidak termasuk aurat. Dengan demikian, perempuan boleh membukanya karena kalau ditutup akan menimbulkan kesulitan bagi mereka, terutama bagi perempuan yang beraktivitas seperti memasak, mencuci atau melakukan pekerjaan tertentu. 

Jika didasarkan pada perbedaan pandangan para ulama tersebut, yang juga berkaitan dengan konteks adat dan hajat, saya bisa memahami mengapa cara perempuan berjilbab bermacam-macam.

Ada yang mengikuti pandangan mayoritas, di mana seluruh tubuh tertutup rapat, kecuali wajah dan telapak tangan, ada yang lebih rapat lagi dengan menutup sebagian wajah dengan cadar, ada yang berjilbab model turban sehingga lehernya terlihat.

Saya juga bisa memahami ketika ada muslimah Tanah Air yang tidak menutup rambut, telinga serta leher (baca: tidak berjilbab). Sebab–setahu saya–di Indonesia, adat atau kebiasaan sejak zaman kakek-nenek kita dulu memang tidak berjilbab. 

Jika Anda tanya saya, mana yang benar, saya katakan bukan tugas saya untuk memberi judgment mana yang lebih benar dan salah.

Saya pribadi mengikuti pandangan dan praktik mayoritas, di mana anggota tubuh yang tampak hanya wajah dan telapak tangan. Namun, jika ada muslimah yang memiliki pandangan dan pilihan yang berlainan, saya sih santai saja. 

Kontrol Atas Perempuan Dimulai dari Pakaian 

Kontrol berlebihan terhadap perempuan merupakan cerminan budaya patriarki yang menempatkan perempuan sebagai makhluk kelas dua. Perempuan dianggap sebagai sumber godaan dan dosa sehingga apa-apa yang ada padanya harus dibatasi dengan berbagai aturan. Dan untuk merampas kemerdekaan perempuan, semua dimulai dari mengatur tubuhnya. Salah satunya lewat pemaksaan jilbab. 

Setelah tubuhnya yang dikontrol, barulah merembet ke yang lain-lain, seperti aktivitas bahkan pemikirannya. Apa-apa tidak boleh, apa-apa diharamkan dan ditakut-takuti akan masuk neraka jika tidak mau patuh. Seolah-olah perempuan selalu didesain agar menjadi pribadi yang penurut, bukan yang kritis, independen dan mampu berdaulat serta mengambil keputusan atas dirinya. Padahal sebagai manusia, perempuan dan laki-laki sama-sama dikaruniai akal, kalbu dan sederet potensi lain yang seharusnya bisa dikembangkan demi mewujudkan kemaslahatan bersama. 

Sebagai muslimah, saya percaya bahwa Islam adalah agama damai, agama cinta kasih yang tidak membenarkan kekerasan, baik atas nama Allah, Rasulullah Saw maupun Al-Quran dan hadis. Apa yang terjadi pada Mahsa Amini di Iran dan Mahsa-Mahsa di tempat lain, justru jauh dari wajah Islam yang damai dan penuh cinta kasih. 

Satu pertanyaan terakhir untuk menutup artikel ini, jika dalam memeluk agama Islam saja tidak boleh dipaksakan (Surat Al-Baqarah ayat 256), mengapa soal jilbab harus dipaksa dan berujung pada kekerasan bila tidak memakainya? 

 

Ikuti tulisan menarik Luna Septalisa lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler