x

Iklan

Dhien Favian

Mahasiswa Sosial-Politik
Bergabung Sejak: 19 November 2021

Rabu, 28 September 2022 08:39 WIB

Perselisihan Joman dan Projo dalam Wacana Jokowi Tiga Periode


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tahun 2022 dalam hitungan hari dan bulan memang masih dikatakan cukup jauh untuk menyambut tahun 2024 sebagai tahun pesta demokrasi Indonesia, terutama mengenai pelaksanaan Pemilu Serentak 2024 yang akan dilaksanakan Februari dan November. Untuk saat ini tahapan pelaksanaan pemilu pun juga masih tertuju pada pendaftaran masing-masing partai politik kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai prasyarat awal untuk mengikuti kontestasi elektoral secara simultan.

Namun pernyataan tersebut jelas tidak berlaku bagi politisi dan relawan politik, dikarenakan tahun 2022 bukanlah waktu yang lama dalam mempersiapkan kandidat yang hendak mereka posisikan dalam pemilu 2024. Persiapan itupun juga harus menggunakan kalkulasi politik secara cermat dari supaya peluang dalam memenangkan pemilu semakin besar. Atau setidaknya lolos dari ambang batas elektoral. Tidak heran kalau saat ini mereka sudah mengambil ancang-ancang untuk memastikan partai maupun kandidat mereka akan menempati posisi strategis di lembaga eksekutif hingga legislatif. Ancang-ancang ini sudah terlihat dari munculnya hasil survei terhadap tokoh-tokoh potensial di media massa dan pembentukan koalisi baru antar partai.

Tindakan mereka yang selalu “siaga” menjelang Pemilu 2024 inilah yang memunculkan kembali kritik terhadap parpol. Merekaq dikritik hanya mementingkan penempatan kadernya dalam pemerintahan tanpa berfokus pada artikulasi kepentingan konstituennya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Partai politik saat ini juga seolah menjadi organisasi kartel dikarenakan partai hanya mengejar keuntungan transaksional. Tidak heran apabila kepercayaan publik terhadap partai politik dan DPR justru berada pada titik terendah. Partai politik telah dianggap gagal dalam menjalankan fungsi utamanya kepada masyarakat.

Fenomena tersebut memang tidak bisa dilepaskan dari corak kepartaian Indonesia saat ini, dimana partai politik Indonesia pada era reformasi lebih bertumpu pada paradigma catch-all yang memungkinkan mereka untuk menggaet suara dari berbagai kalangan. Penggunaan paradigma ini terlihat jelas dari merebaknya penggunaan narasi nasionalis-religius dari hampir semua partai politik untuk mencapai tujuan mereka.

Paradigma catch-all memang berdampak positif dalam mendulang suara masyarakat yang mengarah pada peningkatan elektabilitas hingga perolehan kursi dalam Pemilu. Namun dampak negatifnya juga cukup besar, yaitu partai catch-all seolah tidak memiliki identitas asli yang hendak diperlihatkan kepada publik karena minusnya ideologi partai. Identitas yang tidak jelas tersebut juga berdampak pada ketiadaan program spesifik yang hendak diusung kepada konstituen sehingga party-ID atau dikenal sebagai identifikasi individu terhadap partai tidak begitu kuat dan akhirnya peluang kartelisasi dan korupsi di kalangan elite partai akan semakin besar terjadi.  

Oleh karena dinamika partai politik seperti demikian dan hal tersebut juga berdampak pada citranya yang negatif di mata publik. Organisasi relawan politik mulai bermuculan sejak Jokowi menjadi Presiden sejak tahun 2014. Kemunculan Jokowi Mania (Joman) dan Projo (Pro Jokowi) menjadi contoh utama dari organisasi relawan yang dapat memobilisasi massa pendukung Jokowi tanpa melalui platform partai politik.

Organisasi relawan ini dalam perkembangannya telah mencapai signifikansinya dalam kancah politik nasional sejak beberapa tahun terakhir. Sifat mereka lebih tertuju pada ormas biasa –seperti Pemuda Pancasila ataupun Muhammadiyah– yang tidak terlibat sepenuhnya dalam proses politik di parlemen seperti halnya partai politik. Namun dukungan mereka terhadap figur politik tertentu justru mengalahkan pamor partai oleh karena basis kerelawanan dalam organisasi ini tidaklah mengikat dan sikap relawan didalamnya justru lebih militan dalam mendukung figurnya. Tak heran organisasi relawan ini dapat menggalang dukungan massa secara masif dalam untuk jagoannya. Kehadiran mereka juga dianggap menjadi alternatif bagi masyarakat di tengah merosotnya peran partai yang seharusnya menjadi agen sosialisasi dan kaderisasi politik bagi publik.

Pendirian organisasi seperti Projo tidak bisa lepas dari peran kader partai, terutama Budi Arie dan kawan-kawan aktivis 98. Mereka adalah inisiator organisasi tersebut dan bisa dikatakan terdapat irisan kepentingan dari kader PDIP dalam pembentukan organisasi . Namun demikian, tujuan yang dibawa organisasi memang berbeda dengan PDIP yang secara unilateral mengajukan Jokowi sebagai capres tahun 2014 silam. Tujuan Projo sendiri memang hanya untuk memenangkan Jokowi sebagai Presiden terlepas dari latar belakang partai yang mendukungnya.

Selain itu, tujuan tunggal Projo juga didukung strategi politik yang dimainkan untuk menggalang dukungan masyarakat sebanyak mungkin. Mereka melakukan kampanye perihal Jokowi, propaganda aktif mengenai keunggulan Jokowi, hingga mengadvokasi kebutuhan masyarakat akan pemimpin yang mengayomi mereka. Strategi yang dilakukan ini berhasil mendulang massa hingga menaikkan citra positif Jokowi sebagai Presiden.

Belum lama ini, setelah Jokowi menjabat sebagai Presiden selama dua periode, muncul wacana yang terdengar tidak mengenakkan dihadapan publik yaitu “Jokowi tiga periode”. Wacana tersebut hampir sebagian besar digaungkan elite politik pendukung Jokowi, baik di dalam kabinet hingga di dalam parlemen sekalipun. Latar belakang dari penggaungan wacana ini memang beragam, mulai dari penanganan pandemi yang belum selesai hingga pentingnya ketokohan Jokowi dalam memimpin kembali Indonesia pasca pandemi. Namun mayoritas kalangan masyarakat menduga bahwa wacana ini memang sengaja digulirkan untuk mengamankan komposisi pemerintahan Jokowi hingga membuka peluang para politisi untuk mempertahankan jabatannya yang sudah diraih sejak 2019.

Wacana itu jelas telah melukai amanat demokrasi sejak era reformasi. Apabila Jokowi menerima mandat kepresidenan untuk ketiga kalinya, ini jelas melanggar konstitusi yang membatasi jabatan presiden hanya sampai dua periode. Selain itu, Rocky Gerung turut menyatakan pula bahwa dengan presiden yang menjabat sampai periode ketiga, maka otomatis anggota DPR pun juga tergerak untuk memperpanjang masa jabatannya sehingga yang terjadi justru melahirkan pemerintahan yang tidak demokratis dan cenderung juga akan kembali mengarah ke otoritarianisme.

Tidak hanya lingkaran elite pemerintah yang mengajukan wacana Jokowi tiga periode. Projo sebagai relawan Jokowi yang militan nyatanya juga menggaungkan wacana ini sebagai dukungan terhadap Jokowi secara personal. Budi Arie selaku ketua Projo menyatakan wacana ini merupakan aspirasi kecintaan rakyat terhadap Jokowi dan Projo juga siap mendukung aspirasi sepenuhnya dari relawan apabila menginginkan Jokowi kembali. Projo mendukung wacana ini secara penuh.

Sebagai relawan militan memang tidak bisa dipungkiri Projo akan mendukung wacana tersebut sebagai bentuk solidaritas mereka terhadap Jokowi yang bisa dikatakan bercitra sebagai “presidennya rakyat”. Ketergantungan mereka terhadap Jokowi juga merupakan dampak dari relasi patronase yang terbangun sejak Projo dibentuk. Tidak heran apabila mereka rela mengorbankan konstitusi untuk mengamankan posisi dan kepentingan mereka di hadapan Jokowi.

Organisasi pendukung Jokowi lainnya tidak sepakat dengan Projo. Joman atau disebut Jokowi Mania terang-terangan menolak wacana tersebut. Immanuel Ebenezer selaku ketua Joman menyatakan bahwa wacana tiga periode merupakan akal-akalan dari pihak yang mau menjerumuskan Jokowi dikarenakan mereka seolah memanfaatkan momen tersebut untuk memuluskan kepentingannya. Perguliran wacana ini jelas dianggap merendahkan komitmen Jokowi dalam menaati konstitusi, yang disatu sisi Ebenezer menyatakan bahwa hal ini membuat mereka tidak pantas disebut sebagai pendukung setia Jokowi.

Tidak hanya itu, para relawan Joman juga mendukung keputusan Jokowi dalam mencari kandidat baru yang dapat melanjutkan kepemimpinannya. Joman mendukung sepenuhnya itikad tersebut dalam mendukung kandidat baru yang dirasa pas bagi Jokowi. Joman juga memandang bahwa sikap Projo dalam mendukung wacana tiga periode jelas meludahi Jokowi secara tidak langsung.

Perselisihan antara Joman dan Projo ini menjadi gambaran bagaimana dukungan suatu pihak terhadap Jokowi terdapat unsur kepentingan politik yang disematkan dibalik dukungan tersebut. Sebagaimana rahasia umum bahwa politik balas budi masih terjadi. Sikap Projo mendukung wacana tiga periode tentu tidak bisa lepas dari imbalan yang akan didapatkan. Skenarionya ialah apabila Jokowi kembali menjadi presiden setelah 2024, maka tentu mereka akan mendapatkan modal besar dalam politik nasional termasuk mempengaruhi keputusan Jokowi terkait penempatan menterinya.

Tidak hanya imbalan tersebut, potensi Projo dalam membentuk fraksi tersendiri di DPR kemungkinan besar akan terwujud dari wacana ini oleh karena mereka sudah mendapatkan legitimasi publik dalam mendukung Jokowi. Ttidak menutup kemungkinan bahwa mereka nantinya juga dapat menggeser tren partai politik yang semakin menurun di hadapan publik dan Projo dapat memanfaatkan keadaan tersebut untuk membujuk masyarakat mengikuti mereka tanpa mengetahui resiko dari tiga periode.

Di sisi lain, kendati Joman juga menyatakan dirinya sebagi pendukung Jokowi, namun saat ini kepentingan mereka menjelang 2024 lebih tertuju pada menggaungkan kader potensial penerus Jokowi, termasuk yang dibicarakan oleh publik yaitu Ganjar Pranowo. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Ganjar kerap menjadi tokoh potensial yang dapat melenggang dalam pilpres kedepan. Joman pun telah melihat bahwa potensi dari Ganjar ini akan mampu meneruskan kepemimpinan Jokowi yang merakyat. Mereka pun secara resmi menyatakan dukungannya kepada Ganjar untuk 2024. Hal ini pun juga memicu perselisihan dengan Projo ketika Joman tidak mengikuti Musra relawan Jokowi dengan alasan sudah mendukung kandidat lain.

Namun demikian, tetap perlu digarisbawahi bahwa wacana tiga periode tetap harus ditentang keras oleh masyarakat sipil. Wacana ini jelas melanggar prinsip pembatasan kekuasaan kepada eksekutif yang merupakan prinsip esensial dalam demokrasi. Kekuatan masyarakat sipil tetap harus bergerak dalam merespon isu nasional, terutama politik, supaya kesadaran akan demokrasi tetap terjaga dan perjalanan politik nasional tetap berpaku pada kepentingan semua elemen masyarakat. '

Selain itu, relawan sebagai organisasi masyarakat pendukung kandidat politik pun juga harus sadar diri dalam mendukung kandidatnya. Tidak diperbolehkan bagi mereka untuk melabrak konstitusi yang sudah terbentuk hanya karena kepentingan jangka pendek. Wacana ini justru berdampak buruk bagi demokrasi Indonesia di kemudian hari.

Ikuti tulisan menarik Dhien Favian lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu