Proses kreatif dalam karya tulis baik itu fiksi maupun nonfiksi diawali dari sebuah ide atau gagasan dari pemikiran seorang penulis. Dari mana munculnya gagasan ini? dari mana saja, dari semua yang kita lihat, kita dengar, kita rasakan, dari buku bacaan, koran, pertunjukan, film, musik, sejarah, kultur, sampai kepada pengalaman pribadi yang dialami oleh penulis. Semua yang kita terima itu akan berproses dalam imajinasi pikiran kita yang nantinya akan ditulis menjadi teks sebuah karya tulis. Hal ini menimbulkan pertanyaan lebih lanjut, di mana letak orisinal sebuah teks karya yang lahir dari sebuah proses pemikiran kreatif seorang penulis yang hibrid ditambah lagi dengan fakta bahwa kita hidup pada abad di mana hampir semuanya sudah pernah ditulis?
Adalah Julia Kristeva, kritikus sastra, mengembangkan pendekatan intertekstual yang merupakan pendekatan untuk memahami sebuah teks karya sebagai sisipan dari teks-teks lain; menghubungkan teks terdahulu dengan teks saat ini, dalam hal ini teks yang dimaksud bukan hanya teks tulisan namun juga lisan (adat istiadat, kebudayaan, agama, dll). Terdapat beberapa prinsip dasar pada pendekatan intertekstual dan dalam konteks pertanyaan di atas hanya akan membicarakan salah satunya saja yaitu motif penulis.
Motif penulis -menurut pendekatan intertekstual- tidak dapat dipisahkan dari sebuah teks. Ketika seorang penulis hendak menulis karya gagasannya dia akan menyaring bahan bacaannya sesuai dengan motif penulisannya yang nantinya akan dikembangkan berdasarkan kemampuan intelektual penulis dalam proses kreatifitas pemikirannya. Pada lalu-lintas intelektual seorang penulis inilah orisinalitasnya terletak dan juga teks yang dihasilkannya bukanlah sebuah epigon dari teks-teks terdahulunya melainkan respon simpatik dari suatu pembacaan teks tersebut -terlepas dari apresiasi atau perlawanan seorang penulis pada sebuah karya terdahulu itu.
Dalam teks karya puisi sebagai contoh, pembaca akan disuguhkan referensi bacaan dan atau sebuah nama oleh penulis -sebagian penulis lain tidak memberi referensi atas dasar konteksnya sudah umum dikalangan target pembacanya- agar para pembaca dapat menelusuri teka-teki untuk menemukan konteks dari motif penulisan karya teks tersebut dengan cara membandingkan antara karyanya dengan referensi yang diberikan tersebut. T. S. Eliot, Chairil Anwar dan Sapardi Djoko Damono pun juga melakukan hal ini.
Terakhir sebagai penutup saya akan berikan contoh intertekstual dari dua buah puisi karya dua penyair kondang Indonesia tanpa penjelasan lebih lanjut, dimaksudkan untuk para pembaca menganalisa secara mandiri, sebagai berikut:
Kabut
Siapakah yang tegak di kabut ini.
Atau Tuhan, atau kelam:
Bisik-bisik lembut yang sesekali
Mengusap wajahnya tertahan-tahan
Kepada siapakah kabut ini
Telah turun perlahan-lahan:
Kepada pak tua, atau kami
Kepada kerja atau sawah sepi ditinggalkan
Goenawan Mohamad, 1963
Kabut Pagi
"siapa berbisik di seberang kabut?"; kita berjalan
mencari batas kabut pagi
menyusup suara burung bernyanyi, di sela pohonan
berdering pada berkas-berkas cahya matahari
ketika menyeberang sungai kau berkata, "siapa
berbisik di seberang kabut?" sementara kabut pagi
semakin susut, menipis risik
dan terbit sunyi. Hutan kecil di bawah matahari
Sapardi Djoko Damono, 1970
Ikuti tulisan menarik Jerpis M. lainnya di sini.