x

Sumber ilustrasi: trees.com

Iklan

Ikhwanul Halim

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Rabu, 5 Oktober 2022 07:11 WIB

Tangga

Di suatu tempat di atas kelam dan nista kota, di atas pintu keluar api yang menempel di dinding bernoda air seni, konon terdapat sebuah rumah di antara dunia, tergantung di langit di sisi bulan yang ternoda. Kamu hanya bisa melihatnya di malam-malam yang sepi. Malam-malam ketika tidak ada minuman untuk diminum dan tidak ada orang yang berpesta atau tidur.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Di suatu tempat di atas kelam dan nista kota, di atas pintu keluar api yang menempel di dinding bernoda air seni, konon terdapat sebuah rumah di antara dunia, tergantung di langit di sisi bulan yang ternoda.

Kamu hanya bisa melihatnya di malam-malam yang sepi. Malam-malam ketika tidak ada minuman untuk diminum dan tidak ada orang yang berpesta atau tidur.

Bagai pondok dalam buku dongeng, dengan asap kayu bakar yang keluar dari cerobongnya, bukan seperti kabut pabrik yang mencekik semangat. Jika kamu melihat lebih dekat, kamu bisa melihat tangga bengkok meliuk turun, siluet hitam melawan cahaya hijau suram lampu kota. Jika kamu memanjatnya, kamu tidak boleh melihat ke bawah. Jika kamu melakukannya, tangga itu akan lumat menjadi debu dan kamu akan jatuh dan mati.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Anya memikirkan Yakub dan memejamkan matanya. Dia tak ingin air matanya menitik. Ingatan terakhirnya tentang Yakub adalah tubuhnya yang bengkung remuk. darah mengalir ke saluran pembuangan.

Anya selalu ingin menemukan tangga. Dia dan Yakub biasa mencarinya di hutan kota, pada malam-malam ketika langit diterangi oleh pantulan cahaya pengedar planet. Tidak lagi. Tidak akan pernah. Tidak tanpa Yakub.

Hutan itu sekarang dipagari, dibentengi dengan rantai dan kawat berduri yang berkilauan. Mereka akan membangun sesuatu di sana—mungkin pabrik lain. Yakub pasti ingin menghentikannya. Denganh unjuk rasa. Dia akan mengambil catut dan merobek-robeknya, lalu tertawa girang terpingkal-pingkal.

Anya berdiri di depan wastafel berkerak lumut di rumah singgah yang steril. Menyisir rambutnya yang tergulung ketat, dia tidak menyukai tempat ini. Itu adalah kali terakhir dia datang ke sini—hanya pada malam-malam ketika dia bisa mendengar suara Yakub bergumam terlalu keras, dan dia bisa melihat wajahnya mengambang seperti hantu di dalam kabut.

Suaka Wanita, begitulah nama persinggahan itu. Tidak ada jendela. Anak-anak tidak diizinkan masuk. Mereka berkeliaran di luar dengan mata hampa dan lapar. Di dalam, para wanita itu berwajah kosong dan kalah, duduk di atas kasur yang dipenuhi kutu dengan brosur tentang kesehatan di tangan mereka. Terlalu kosong dan kalah bahkan untuk bersedih. Para wanita itu membuatnya sakit karena ketakutan.

Anya melihat ke cermin, sisir membeku di tangannya. Sepasang mata lebar balas menatapnya, cerah di wajahnya yang cokelat lembut. Dia mengulurkan tangan, menyentuh pipinya.

"Belum hilang," bisiknya.

Belum. Tidak akan pernah, jika dia mau berusaha.

Kamu punya nyala cahaya dalam dirimu, Anya.

Yakub biasa mengatakan itu padanya. Menatap matanya, tersenyum dalam, rambut ikal jatuh di dahinya.

Jangan biarkan pudar.

Anya menyelipkan sisir ke dalam ranselnya dan menggantung talinya ke bahu. Tenggorokannya sesak. Setetes air mata menitik di pipinya.

Dia hanya bisa tinggal di rumah singgah. Berbaring di kasur yang kotor dan biarkan kepinding menggigitnya sampai pagi datang. Tinggal di dunia selamanya. Kematian yang lambat dan tanpa jendela.

Dan sebelum dia sadar sepenuhnya, Anya bergegas keluar dari kamar mandi dan berlari meninggalkan tempat itu. Para wanita tidak akan kehilangannya.

Anya membuka pintu. Udara malam yang dingin menggetarkan paru-parunya.

Hanya beberapa kilometer ke hutan kota. Dengan naluri dia mencari di langit. Mencari celah di kabut asap.

Kamu tidak pernah tahu di mana adanya tempat untuk tangga.

Oh, Yakub….

Dan kemudian, seolah-olah dalam mimpi, tangga itu muncul di sana. Siluet kelabu di langit hijau neon langsung ke hutan kota seperti sesuatu dari dongeng.

Mulut Anya kering. Jantungnya berdebar. Kencang.

Mungkin, mungkin….

Sambil berpegangan pada ranselnya, dia mulai berlari. Matanya tertuju pada tangga, dan dia menggumamkan doa dengan pelan. Tolong, tolong jangan biarkan itu hilang.

Matanya pedih tertusuk air matanya sendiri ketika dia sampai di hutan kota. Setengahnya sudah digali. Sebuah mesin mirip dinosaurus pemangsa berdiri terbengkalai di sebelahnya, cakarnya membeku di udara. Pagar rantai itu berdiri tegak dan mengancam. Kawat berduri itu mengurung di sekeliling tangga. Tidak ada cara untuk memanjat.

Annie meringkuk ke tanah, membenamkan wajahnya di lututnya.

"Maafkan aku, Yakub." Suaranya pecah. “A-aku tidak bisa melakukannya. Tidak tanpamu."

Lihat.

Perlahan, perlahan, Anya mengangkat wajahnya.

Kabut asap terbelah, memperlihatkan langit biru gaib, berkilauan dengan bintang-bintang perak. Tangga ada di depannya, tali cokelat yang terpilin hampir menyentuh hidungnya.

Anehnya, dia bisa meraihnya. Rasanya kasar dan kokoh, berbau pinus dan asap kayu bakar. Dia merasakan gelombang kegembiraan yang liar.

"Oh, Yakub, kita—"

Anya terdiam. Dia melihat tubuh Yakub yang hancur di batinnya.

Aku bersumpah tidak akan meninggalkanmu.

Angin bertiup melalui cabang pohon-pohon mati, membisikkan kata-kata yang tidak dapat dipahami. Bintang-bintang mengedipkan mata padanya dalam kode kuno: datanghlah, Anya. Datanglah kepada kami.

Dia gemetar.

Jangan biarkan cahaya itu memudar, Anya sayang.

Rasa takut menyergapnya saat jari-jarinya menggenggam tali. Dengan tekad membaja dia menariknya dan mulai memanjat.

Matanya tertuju pada tangga yang menghilang ke bintang-bintang. Dia memanjat lebih cepat, lebih cepat, lebih cepat.

Hidungnya menghirup udara manis. Dia tidak melihat kabut asap lagi, hanya biru gaib dan bintang. Bintang, dan bintang.

Dia bisa mencium bau asap kayu dibakar dan menajamkan pandangan untuk mencari pondok.

"Apakah pondok itu ada disini?" dia mengeluh. "Atau aku telah kehilangannya?"

Terus memanjat, bintang-bintang bernyanyi. Teruslah memanjat, Anya sayang.

Dia memanjat sampai napasnya nyaris putus, lalu bintang-bintang mengembusinya dengan oksigen dan dia bisa memanjat lagi. Kegembiraan muncul di hatinya. Semuanya begitu indah, tetapi dia tidak berhenti untuk melihat. Matanya tertuju pada puncak tangga.

"Hai."

Tangga itu hilang. Terheran-heran Anya melihat sekelilingnya.

Seorang pria sedang bermain ayunan di atas langit yang berwarna fajar jingga. Dia tersenyum padanya, mengerutkan kulit cokelat di bawah matanya.

"H-hai," Anya tergagap. "Di mana—di mana aku?"

Pria itu turun dari ayunan dan berjalan di udara dengan mudahnya, lalu membuka pintu pondok. Asap kayu bakar membumbung dari cerobong asap.

"Rumah," jawabnya.

 

Bandung, 4 Oktober 2022

Ikuti tulisan menarik Ikhwanul Halim lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler