Kopi, Hidup dan Hal-hal yang Tersembunyi

Sabtu, 8 Oktober 2022 06:20 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

1/ Kopi Terakhir  

Hampir tengah malam di kedai kopi. Dua cangkir kopi latte, kue bolu lapis cokelat, dan gelisah tersaji di meja kayu. 

Baru akan menelpon, Vino sudah berdiri di pintu. Senyumnya kaku. Sejenak sepi, sibuk dengan pikiran sendiri.  

"Aku tak bisa menunggu, San, ini menyiksaku." matanya basah, bibirnya bergetar. 

"Vino, aku mencintaimu." 

Vino menangis, memelukku dan berbisik, "Aku mencintaimu, San, pergilah dalam damai. Aku segera menyusulmu."  

Aku mengangguk. Bersama gelegar guntur dan deras hujan, sebuah peluru menembus jantungku. Vino tersedu lalu menyusulku pergi, dengan satu tembakan di dahi. 

 

 

2/ Tujuh 

Tujuh hari berturut-turut Nadia mendapat kiriman paket tanpa nama pengirimnya. Di paket terakhir dua bungkus kopi Aceh datang bersama sebuah surat tulisan tangan.  

"Nad, menunggu itu menyebalkan ya. Kadang aku lelah, merasa payah. Sebelum menulis ini kuseduh dua cangkir kopi Aceh, satu untukku satu lagi untuk bayang-bayangmu. Kita berbincang tentang cinta yang sempurna, sesempurna pernikahan kita nanti."

Jo ❤️

Tujuh hari setelahnya, Nadia ditemukan tewas dengan baju pengantin di kompleks pekuburan pinggiran kota. Ia memeluk sebuah nisan bertuliskan, Jonas—05 April 1997. 

 

 

3/ Marni 

"Marniiii!!!! Kopi apa ini??!!!" Dibantingnya cangkir ke lantai. 

"Maaf, nyonya. Saya..." 

Plak.. plak.. plak.. Beberapa tamparan keras di pipi. Aku limbung, jatuh di meja, pecah segala. 

"Siaaal kau Marniiiiii!!!!

Nyonya Rastri kesetanan, memaki dan memukul. Aku diam tak melawan, tapi menahan dendam. 

Larut malam seusai pesta sosialita.  

"Marniiiii!!! Kopiiiii!!!"  

"Iya nyonya." 

Dalam sekali tegukan, kopi di tangan tandas. Sejak itu nyonya Rastri tak perlu memaki dan menamparku lagi. Kopi sianida membuatnya tidur panjang. Sedang tuan besar, masih tertidur pulas di ranjang kamarku. 

 

 

4/ Gincu Merah Marun 

Setelah lama diam, Tono berkata, “Dek, rindu ini seperti kopi, pekat dan pahit. Maaf, aku ndak bisa memberi cinta yang layak, meski aku ingin." 

Tini diam sambil mencecap kopinya. Jadi selingkuhan mungkin seperti ini rasanya, mendapatkan cinta yang utuh itu hal yang mustahil. Tapi aku tak boleh nyerah, aku harus jadi istrinya! 

Setahun berlalu, dunia berubah. Juga hubungan Tono dan Tini yang sebelumnya seperti main kucing-kucingan.  

“Tini sayang, sudah kubayar lunas mas kawin yang kau minta. Rumah dan isinya, mobil, perhiasan, kebun, dan seluruh tabunganku. Kita nikah!" 

“Iya, mas, kita nikah,” jawab Tini dengan tersenyum lebar penuh kemenangan.  

Ponsel berbunyi. Sebuah pesan masuk. "Selamat, kau berhasil mendapatkan laki-laki impianmu, Nduk. Tak salah aku memberimu pelet terhebat di gincu merah marunmu." 

 

  

5/ Dua Sendok Kopi, Satu Sendok Gula 

Pada hujan yang jatuh seharian ini, cemas, takut dan benci, hilir mudik di kepala. Jam di pergelangan tanganku menunjuk angka sembilan lewat dua puluh. 

”Mau kopi, Ing?” tanyamu tiba-tiba.  

“Ya, aku butuh kewarasan malam ini,” jawabku sambil memandang jalanan.  

“Dua sendok kopi, satu sendok gula. Minumlah, Ing, bersamaku,” katamu pelan.  

Aku menoleh, menatapmu dalam-dalam. “Kau ingin bersamaku?"  

“Iya, kenapa? Ada yang salah?"  

"Emm... tidak, sama sekali tidak. Aku, aku hanya memastikan kata-katamu itu bukan mimpi."  

"Kau tidak sedang bermimpi, Ing."  

Aku diam, memandang lekat matanya yang kuning madu. Sekuat tenaga menahan genangan air mata yang nyaris tumpah. Kau melihatku, tersenyum. Kau mungkin mengira aku berlebihan. Tapi tidak, ini benar. Sejak bertemu denganmu ingatan seperti terkunci, tak bisa pergi. 

Tiba-tiba kau mengusap rambutku, memeluk seraya berkata, "Malam ini aku akan bersamamu. Maafkan aku yang tak bisa memberi apa yang seharusnya kau terima. Maafkan." pelukanmu semakin erat, aku tenggelam di dadamu.

*

Aku terbangun oleh dering ponsel yang tergeletak di atas meja makan, dan aroma kopi. Secangkir kopi hitam terhidang, begitu wangi.  

"Halo, selamat pagi."  

"Halo, Inge. Saya Astuti, ibunya Raka. Ibu hanya menyampaikan pesan seperti yang tertulis di surat yang ditinggalkannya. Raka mencintaimu, Ing, sangat. Raka pergi semalam, kecelakaan di jalan lingkar utara menuju rumahmu."  

Lalu terdengar isak tangis. Lalu ponsel dimatikan. Lalu semua gelap. 

 

 

6/ Perasaan (Barangkali) Tak Selalu Dikatakan 

Perempuan itu duduk sambil membaca bukunya, sesekali ia menghisap lembut rokok mentolnya. Seorang laki-laki berambut ikal panjang yang dikuncir sembarang duduk di meja depannya, sibuk dengan laptopnya. 

Hampir setiap senja, aku memberikan mereka masing-masing secangkir kopi late dan roti bakar cokelat keju, menu yang hampir selalu sama. Dari dalam pantri cafe ini aku bisa leluasa memperhatikan mereka. Sepertinya mereka tidak saling kenal, hanya sesekali saling mencuri pandang, lalu kembali sibuk dengan dunianya masing-masing. 

Terkadang perempuan itu terlihat lelah dan bosan. Yang dilakukan hanya memperhatikan langit senja dari kaca jendela di sebelahnya yang besar, menghela napas dan memejamkan mata sambil memegang cangkir kopinya yang hangat dengan kedua tangannya. Sementara laki-laki itu memandang dengan mata tak berkedip. Seperti takjub, lantas tersenyum dan menghisap rokoknya dalam-dalam. 

Kadangkala saat laki-laki itu datang, duduk diam di kursinya, memakai headset dan memejamkan mata lama. Perempuan itu memandang tajam dengan mata bulatnya, kadang sampai bibirnya indahnya sedikit terbuka lalu tersenyum.

Seperti itulah perasaan tersembunyi, (barangkali) tak harus dikatakan. Menunggu keajaiban datang. Barangkali. 

 

 

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Dien Matina

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Pesona Film-film Karya Sineas Timur Tengah

Rabu, 12 April 2023 19:38 WIB
img-content

Memandang Kehidupan Lewat Film-film Lokal

Selasa, 4 April 2023 20:06 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler











Terkini di Fiksi

img-content
img-content
img-content
Lihat semua