Menikah adalah salah satu ibadah yang agung dalam Islam. Syariat agama ini telah mengaturnya dengan sangat lengkap dan sempurna. Sebuah pernikahan akan tercapai dengan adanya proses tertentu. Proses yang akan dilewati seorang pria maupun wanita, seperti proses ta’aruf (perkenalan) dilanjutkan dengan khitbah baru kemudian akad nikah. Cara yang paling populer digunakan untuk taaruf untuk pernikahan saat ini adalah pacaran.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), pacar diartikan sebagai teman lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan berdasarkan cinta kasih yang belum terikat perkawinan. Perasaan cinta kasih yang diekspresikan-selayaknya suami–istri-sebelum pernikahan ini merupakan hal yang terlarang. Dalam Al-Qur’an Allah telah berfirman “Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk” (Al Israa:32). Orang yang beriman pastinya akan sangat memperhatikan ayat ini. Ia akan berusaha sebaik mungkin untuk menjauhkan dirinya dari perbuatan itu dan memilih jalan yang telah Allah dan Rasulnya ridhoi.
Harus Taaruf kah?
Menikah adalah ibadah. Semua bentuk ibadah pasti ada aturannya. Allah tidak akan membiarkan sebuah perintah tanpa petunjuk teknis pelaksanaannya. Karena itulah kita perlu mengetahui dan memahami syariat yang berhubungan dengan pernikahan. Termasuk konsep taaruf untuk pernikahan dalam islam. Ta’aruf berasal dari bahasa Arab عرف yang berarti mengetahui, mengenal. Ta’aruf merupakan sebuah proses perkenalan untuk mengetahui lebih dalam mengenai agama dan akhlak dari calon suami atau istri. Interaksi yang terjalin dalam proses ini diperbolehkan dengan syarat tidak terjadi khlawat (berdua-duaan) dan Ikhtilat (percampuran antara laki-laki dan perempuan) yang bisa menjerumuskan orang yang sedang melakukan taaruf ke dalam perbuatan dosa. Oleh karena itulah keberadaan orang ketiga/ sebagai mediator sangat diperlukan.
Jika disimak lebih dalam kisah pernikahan insan termulia, Muhammad SAW dengan istrinya Khadijah diawali dengan proses taaruf. Pada waktu itu, Khadijah seorang pedagang kaya tertarik dengan kepribadian nabi dari berita yang beredar dikalangan masyarakat Mekkah. Kepribadiannya yang jujur dan tak pernah berdusta telah mencuri perhatiannya. Maka Ketika Muhammad SAW menjualkan barangnya ke Syam, Khadijah juga memerintahkan Maisarah, pembantunya untuk ikut serta. Dari sinilah informasi-informasi yang menumbuhkan keyakinan Khadijah terhadap kepribadian Muhammad SAW didapatkan. Semua informasi ini mampu menambah keyakinannya terhadap Muhammad SAW, sehingga tidak ada keraguan lagi dalam diri Khadijah menjatuhkan pilihan kepada beliau menjadi pendamping hidupnya.
Begitulah sekiranya taaruf itu dilakukan. Proses saling mengenal berfokus pada kepribadian yang lahir dari keimanan. Proses tersebut secara umum diawali dengan mendapatkan informasi tentang kepribadian masing-masing calon melalui pertukaran biodata yang meliputi identitas diri, prinsip hidup dan pola pikir terhadap suatu permasalahan yang dihadapinya Selain itu, penyampain visi, misi dan tujuan menikah juga perlu diketahui bersama. Kondisi keluarga, aktivitas yang sedang dijalani dan kegemaran masing-masingpun harus tersampaikan. Pengetahuan seseorang terhadap calon pasangannya haruslah didapatkan dengan baik. Hal ini dimaksudkan agar kedua pihak bisa memiliki gambaran umum terhadap calon pasangannnya yang akan menjadi dasar bagi dirinya untuk melanjutkan ke tahap berikutnya yaitu khitbah.
Dengan semua konsep itu, tidak semua orang bisa menerima ta’aruf sebagai pilihannya untuk mengenali calon pasangannya. Budaya pacaran yang sudah sangat dikenal luas dan tidak lagi dianggap tabu oleh masyarakat menjadi alternatif utama bagi sebagian besar masyarakat. Karena itulah taaruf ini hanya bisa dilakukan dengan baik oleh individu yang mampu mengintegrasikan ajaran agama Islam dan konsepsi awal mengenai cinta. Niat suci untuk membangun pernikahan tanpa cela berupa pelanggaran terhadap hukum Allah diawal, ketika dan selama menjalani pernikahan merupakan modal utama bagi keberkahan sebuah pernikahan. Keberkahan ini tidak bisa diartikan dengan tiadanya masalah dalam pernikahan, tetapi setiap masalah yang hadir mampu diselesaikan dan menjadi jalan kebaikan bagi keluarga yang dibangunnya.
Jika ada yang meragukan ta’aruf sebagai langkah tepat saat ini untuk mengenal calon suami/ istri, maka lihatlah disekeliling kita. Berapa banyak rumah tangga yang kandas padahal sudah pacaran dalam hitungan waktu yang lama. Bahkan ada yang masa pacarannya lebih lama dari masa pernikahannya. Tak cukupkah mereka saling mengenal? Padahal pertemuan dan komunikasi sudah hampir tiap hari terjadi. Pastilah ada yang salah dalam proses itu.
Kejadian tersebut tidak bermakna bahwa ta’aruf adalah penjamin keharmonisan rumah tangga. Banyak ilmu yang harus dipersiapkan oleh orang yang ingin menikah. Pemahaman tentang sifat dasar tentang laki-laki dan wanita secara umum harus dimiliki. Hal ini bisa mencegah kesalahpahaman antar pasangan.
Seorang laki-laki harus memahami bahwa wanita pada dasarnya memiliki sifat sensitif, moody, dan selalu ingin diperhatikan ketika berbicara. Begitu juga wanita harus paham juga, bahwa lelaki memiliki sifat dasar yang jelas berbeda dengannya. Dengan mengetahui hal ini, seorang suami/ istri bisa menentukan sikap yang tepat terhadap pasangannya. Ia juga akan lebih mudah berkompromi dengan emosi dan rasa egois yang pasti ada dalam dirinya.
Dan uniknya, ta’aruf itu tak berhenti ketika khitbah sudah terjadi dan pernikahan sudah dijalani. Ta’aruf akan selalu terjadi sepanjang pernikahan. Bukankah laki-laki dan wanita memiliki beda. Di atas perbedaan itu Allah sudah mentakdirkan keduanya untuk bersama. Pastilah berat. jika keimanan , kesabaran dan ketakwaan serta ilmu dalam menjalani proses itu tidak selalu ditingkatkan. Jadikan taaruf sebagai langkah awal menggapai ridho dalam pernikahan, karena tiada keberkahan dalam pelanggaran.
Ikuti tulisan menarik Siti Mawadati lainnya di sini.