x

Ilustrasi tulisan soal cerpen Mochtar Lubis

Iklan

atmojo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Jumat, 14 Oktober 2022 19:59 WIB

Cerpen Mochtar Lubis: Bromocorah dan Kemiskinan yang Berlanjut

Kisah hidup seorang bromocorah yang berlangsung turun-menurun. Ia ingin memutus mata-rantai itu. Tapi ternyata ditolak. Benarkan rakyat telah menjadi korban politik hukum pertanahan di masa lalu?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Cerita pendek (Cerpen) berjudul Bromocorah ini adalah salah satu dari 12 cerpen yang ada dalam buku berjudul sama. Buku ini awalnya diterbitkan oleh Sinar Harapan pada 1983 dan sekarang diterbitkan oleh Pustaka Obor  (2021). Selain Brromocorah, judul-judul lain adalah Abu Terkabar Hangus; Hati yang Hampa; Pahlawan; Uang, Uang, Uang; Hanya Uang; Wiski; Dara; Dukun; Hidup adalah Sebuah Permainan Rolet; Rekanan; Gelas yang Pecah; dan Perburuan.  

Saya memilih Bromocorah selain karena ia cerita pertama, dan temanya pun menarik. Dengan sudut pandang orang ketiga dan alur maju, Mochtar Lubis memulai kisahnya dengan rencana pertarungan antara seorang bromocorah berpengalaman (tokoh utama cerpen ini) dengan penantangnya yang lebih muda. Duel itu akan dilakukan di sebuah hutan jati.

Pada hari yang ditentukan, dia bangun pagi-pagi benar dan keluar diam-diam dari kamar tidur, meninggalkan istrinya yang masih tidur. Demikian juga anak lelakinya yang masih bocah. Hari masih gelap. Waktu subuh pun belum tiba. Desa masih tidur. Melalui pintu belakang, bromocorah ini meninggalkan rumah.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Setelah melewati pematang sawah, menyebarangi sungi kecil, akhirnya dia tiba di sebuah tegalan yang rata dengan puncak bukit. Dia berhenti di tengah dan melihat berkeliling. Dia melakukan latihan, mengucapkan doa, memohon kekuatan dan perlindungan kepada Yang Maha Kuasa,. Setelah itu dia melangkah dengan cepat, mendaki ke puncak bukit. Dia mendaki sebuah bukit lagi, lalu masuk ke dalam hutan jati dan mulai melangkah hati-hati, menjaga agar kakinya jangan menginjak ranting mati dan kering atau daun jati kering yang bertebaran di tanah. Di sinilah tempat mereka akan bertemu seperti yang dijanjikan. Dengan tajam matanya memandang berkeliling, Singkat cerita, penantangnya benar-benar muncul. Mereka kemudian terlibat dalam perkelahian yang seru.

                                                                    ***

Bromocorah ini pesilat yang berpengalaman (Mochtar Lubis tidak memberinya nama).. Umurnya telah tiga puluh lima tahun dan dia belajar silat sejak berumur sepuluh tahun. Guru pertamanya adalah ayahnya sendiri, seorang bromocorah yang ditakuti. Dia juga telah berkeliling ke seluruh Pulau Jawa menuntut ilmu silat dari berbagai daerah. Ayahnya (juga tak diberi nama oleh Mochtar Lubis) meninggal dalam perkelahian satu lawan lima. Tiga lawannya tewas dan yang dua lagi luka-luka parah. Waktu itu, umur ayahnya telah enam puluh dua tahun. Sungguh satu kebanggaan bagi keluarga dan desa mereka. Itu lima tahun yang lalu. Kini dia menggantikan ayahnya, menjadi orang yang disegani dan ditakuti, bukan saja di kampungya, tetapi di beberapa kampung di daerahnya. Ayahnya selalu mengajarkan agar dia melindungi kampung mereka  Jangan mengambil sesuatu dari rakyat kampung sendiri dan kampung-kampung yang berdekatan karena kampung mereka dan kampung-kampung berdekatan adalah tempat mereka hidup dan tempat mereka berlindung. Ambilah dari kampung-kampung yang lebih jauh. Mochtar Lubis juga tidak menyebut nama kampung-kampung itu atau daerahnya.

                                                                    ***

Di tengah perkelahian yang seru, tiba-tiba dia berhenti menyerang dan berucap, “Aku senang kau datang, Dik. Kau berani. Apakah kau hendak teruskan tantanganmu ini?”

          “Langkah sudah dilangkahkan, Mas, aku tak akan mundur.”

          “Baiklah. Tetapi aku hendak bicara dahulu sedikit.”

          “Silakan, Mas.”

          “Dik, kau orang baru masuk ke daerah kami, Jika hendak mencari nafkah, janganlah ke desa kami dan dersa-desa lain di sini. Masih banyak daerah lain tempat mencari nafkah. Pergilah baik-baik. Kita semua sama-sama mencaqri hidup dengan cara kita. Tetapi, aku harus membela daerah ini jika orang lain mencoba masuk. Aku undang kau kemari untuk menyampaikan ini.”

Laewannya yang, yang kelihatan lebih muda darinya, berkata, “Mengerti, Mas, tapi saya tidak bisa mundur.”

           “Sayang Adik masih muda. Kalau aku ajak kau untuk ikut dengan aku?”

           “Tidak, Mas, aku tak hendak diperintah siapa pun juga.”

           “Sayang,” katanya lagi, “karena orang seperti kita seharusnya tidak saling bermusuhan dan berbunuhan. Kita punya nasib yang sama. Bukankah kita orang-orang terbuang, sejak tanah-tanah nenek moyang kita dirampas dari tangan mereka, dan kita harus turun-temurun hidup dari keberanian dan keahkian kita berkelahi? Hanya itu modal kita. Kau sudah beristrik, Dik?”

            “Belum.”

            “Oh, karena itu engka tidak mau berpikir lebih panjang sedikit. Masikah kau hendak menerudskan ini?”

Tiba-tiba lawannya melompat menyerang, dia mengelak cepat, dan lawannya cukup berkata, “Cukup, Mas. Kata-kata tidak menyelesaikan perkara antara kita.” Perkelahian pun berlanjut  seru.

                                                                      ***

Sebagai pesilat yuang berpengalaman, dia mampu membuat lawannya kewalahan. Sebuah tendangan masuk dan lawannya terdorong ke belakang, berdiri goyah. Sebuah lagi tendangan dilepaskan dan lawannya jatuh ke tanah. Dia melompat mendekati kepala lawan, sebelah kakinya terangkat untuk melepaskan tendangan ke kepala lawan, tetapi sesuati menahannya dan dia menurunkan kaki ke tanah.

Sang lawan mencoba mengangkat badan, tetapi jatuh kembali. Kemudian dia membuka mata dan memandang pada lawan yang telah mengalahkannya.

        “Mengapa Mas tidak sudahi?” pintanya.

        “Kau masih muda, Dik, pergilah.” Dia membalikkan badan dan melangkah ke dalam hutan jati, menuruni bukit, dan melintasi sawah, jauh dari orang-orang kampung yang sudah mulai bekerja.

Dia tahu akan akibat apa yang telah dilakukannya. Kemungkinan besar lawannya akan mendendam seumur hidup dan akan selalu mencoba membalas dendamnya itu, mencoba membunuhnya. Yang paling baik yang seharusnya dilakukannya adalah membunuh lawannya. Bukannya dia tak pernah membunuh orang. Sejak ayahnya meningal, dia telah membunuh tiga orang. Ayahnya sendiri dikabarkan sedikitnya telah membunuh dua belas orang selama hidupnya.

                                                                   ***

Di tengah perkelahian yang seru tadi, dia sebenarnya hendak melepaskan tendangan mautnya ke kepala lawan. Tapi tiba-tiba di matanya terbayang anaknya yang masih tidur berselimut kain sarung sampai kepala. Sejak anaknya jadi besar dan telah mulai bersekolah, dia merasa tak ingin anaknya menggantikannya dan mengikuti cara hidupnya, yang bertumpu pada kejagoan berkelahi, kejagoan membunuh, merampok, mencuri, hidup dengan perbuatan yang suatu hari harus dibayar dengan nyawa atau hukuman penjara. Benang merah kehidupan mereka turun-menurutr harus duputuskan dengan diriku, katanya pada diri sendiri.

Dia gemetar, takut membayangkan seandainya anaknya yang dewasa, seorang muda, tergeletak dalam tempat terbuka di hutan jati, menunggu tendangan maut ke kepala, seperti yang terjadi tadi dengan lawannya. Dia teringat pada istrinya, ibu anaknya. Dan pada waktu yang bersamaan, dia merasa pula tak berdaya mengubah hidupnya.

Dia ingat, ketika masih mengembara menuntut ilmu dulu, ada yang mengatakan bahwa  nasib orang kecil, orang yang tak memiliki tanah, tani yang  menggarap tanah milik orang lain, dan mereka menganggur di desa-desa, nasib mereka yang dapat diperbaiki jika susunan masyarakat diubah dan tanah dibagi-bagi pada mereka yang tidak punya tanah. Banyak tanah rakyat dahulu, kata mereka, dirampas oleh orang Belanda, dijadikan tanah-tanah perkebunan besar. Akhirnya, rakyat banyak yang tidak memiliki tanah lagi.

Mendengar kata-kata demikian, hatinya merasa penuh harap, tetapi harapannya tidak kunjung tercapai. Kini dia merasa harapan itu hanya akan tinggal harapan.

Dalam perjalanan pulang, dia merasa bimbang apakah akan mengajari anaknya ilmu silat. Anaknya telah berumur delapan tahun dan sebenarnya telah dapat mulai belajar ilmu silat. Tetapi, jia dia mengajar anaknya ilmu silat, pastilah anaknya akan mengikuti jejaknya., seperti dia mengikuti jejak ayahnya, ayahnya mengiukuti jejak neneknya, neneknya mengikuti jejak ayahnya, dan demikian seterusnya.

Sebaliknya,  seandainya dia tidak menurunkan ilmu silat pada anaknya, akan jadi apa nanti anaknya? Mereka tidak punya tanah, kecuali sepotong kecil tanah tempat rumah mereka berdiri. Anaknya akan jadi penganggur di desa? Anaknya akan jadi penggarap tanah milik orang lain, hidup penuh kemelaratan tanpa harapan sepanjang umurnya?

***

Mengikuti “logika” cerita tentang tanah rakyat yang dirampas oleh Belanda seperti yang diceritakan orang kepada bromocorah, maka --jika benar-- itu berarti rakyat telah menjadi korban dari politik hukum, khusunya di bidang pertanahan. Keputusan politik Belanda mengenai agraria atau pertanahan telah membawa penderitaan rakat secara turun-temurun. Rakyat tidak lagi memiliki sawah sendiri dan terpaksa hidup sebagai buruh tani yang mengerjakan sawah milik orang lain. Keputusan politik itu tekah membawa keluarga bromocorah itu jatuh ke dalam kemiskinan struktual.

Sekadar mengingatkan, dalam khasanah hukum, pengertian Politik Hukum diartikan, pertama, sebagai garis kebijakan resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan negara (penguasa). Kedua, sebagai kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk, maupun isi hukum yang akan dibentuk. Ketiga, sebagai pernyataan kehendak penguasa negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya dan mengenai arah perkembangan hukum yang akan dibangun.

***

Ketika tiba di rumah, anaknya telah pergi sekolah dan istrinya telah menyediakan sarapan pagi untuknya. Istrinya tidak bertanya ke mana dia pagi-pagi buta telah meninggalkan rumah. Istrinya tak pernah bertanya ke mana dia pergi dan apa yang dilakukannya.

Sorenya, ketika mereka makan, dia berkata pada istrinya, “Aku sudah pikir-pikir, hidup kita tidak bisa begini terus. Kita tidak punya apa-apa.”

Istrinya diam, tidak berkata apa-apa.

Sebulan kemudian dia pergi ke kantor lurah dan mencatatkan dirinya, istri, dan anaknya untuk calon transmigran ke luar Jawa.

Setelah tiga bulan, dia tidak juga mendapat berita dan lurah tidak dapat memberikan penjelasan padanya, sedangkan beberapa kepala keluarga di kampunya dan beberapa kampung berdekatan telah berangkat. Dia pun mencari sendiri keterangan. Seorang pegawai kantor kecamatan yang dikenalnya akhirnya menunjukkan padanya bahwa dia ditolak sebagai transmigran dengan alasan karena dia dikenal sebagai seorang..... bromocorah!

Dia tidak terkejut. Dia telah menduga demikian. Sebagaimana telah dibayangkannya sendiri, bagi orang seperti dia, tidak ada jalan keluar. Hanya kalau masyarakatnya bisa berubah, baru hidupnya bisa berubah.

Dia kembali ke rumah. Setelah anaknya pulang sekolah, petang hari diajaknya anaknya ke tegalan sepi dekat puncak bukit jauh dari luar desa. “Ayo tole,” dia berseru pada anaknya.

Dan dia mulai mengajar anaknya ilmu silatnya!                  

***

Ending itu mengisyaratkan bahwa anaknya nanti sangat mungkin akan  menjadi bromocorah juga. Padahal dia ingin memotong mata-rantai hidup sebagai keturunan bromocorah. Di sinilah perlunya masyarakat dan juga pemerintah untuk bisa menerima keinginan seseorang yang ingin berubah. Keinginannya untuk memiliki tanah di daerah baru, menjadi rakyat biasa yang hidup dengan bekerja normal, ternyata ditolak. Apakah penolakan itu bisa dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia dalam konteks zaman sekarang? Dan apakah soal hak asasi itu sebenarnya yang ingin dikatakan Mochtar Lubis melalui cerpen ini? Saya sendiri menduganya demikian, selain bicara soal ketidakadilan atau ketimpangan sosial.

  • Atmojo adalah penulis yang meminati bidang filsafat, hukum, dan seni.

                                                            ###

Ikuti tulisan menarik atmojo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler