Tantangan yang kita hadapi saat ini sungguh memprihatinkan, sebab terkait dengan bagaimana elite sosial-politik-ekonomi memandang kekuasaan. Pesona kekuasaan ternyata memabukkan elite, sehingga mereka berpikir terutama bukan dalam kerangka masa depan bangsa ini. Mereka memandang kekuasaan sebagai momentum terbaik untuk menghimpun keduniaan ke dalam diri masing-masing.
Kekuasaan tidak lagi dilihat sebagai amanah berat yang mesti ditunaikan demi tercapainya kemaslahatan orang banyak—kaum fakir, miskin, terpinggirkan, papa, dan tak berdaya. Kekuasaan diberikan sesungguhnya untuk menolong mereka kaum marjinal ini, menguatkan posisi mereka di tengah kehidupan masyarakat, tapi yang terjadi justru sebaliknya.
Apa boleh buat, berbagai peristiwa yang terjadi belakangan ini memperlihatkan betapa buruk dan berbahaya manakala kekuasaan jatuh ke tangan yang salah, yang tidak amanah dalam menjalankan kekuasaan, yang menjadikan kekuasaan sebagai saat terbaik untuk mengumpulkan kekayaan. Kekuasaan membuat seseorang yang siap membunuh, kekuasaan menjadikan seseorang penyeleweng narkoba, kekuasaan mendorong seseorang memperdagangkan pengaruh.
Sejak dulu, kecenderungan untuk korup melekat pada kekuasaan. Di tangan orang-orang yang tidak tepat, kekuasaan sangat berpeluang berjalan ke arah yang salah. Alih-alih digunakan untuk menegakkan kebenaran, membela keadilan, menyejahterakan rakyat banyak, kekuasaan ini cenderung disalahgunakan—mungkin untuk kepentingan kelompok, mungkin pula untuk kepentingan diri sendiri.
Di belahan bumi manapun, orang-orang yang terpikat oleh nikmat kekuasaan akan merasa benar sendiri, dan karena itu menjadi sangat sensitif terhadap kritik. Mereka berupaya keras mencari pembenaran atas setiap keputusan dan tindakan yang mereka ambil. Mereka memaksa orang-orang sekitar untuk menuruti kemauannya.
Keadaan dan dampaknya akan semakin berbahaya manakala kekuasaan ini terkait dengan hukum. Kekuasaan di ranah hukum yang berada dalam genggaman orang yang tidak tepat akan menimbulkan kerusakaan yang lebih dahsyat. Bayangkanlah kerusakan yang ditimbulkan orang yang diamanahi kekuasaan untuk menegakkan hukum tapi malah menabrak hukum dan bahkan menyelewengkan hukum.
Penegakan hukum mencakup manusianya, institusi, dan aturan [yang juga dibuat oleh manusia]. Ketika aturan direkayasa, institusi dimanipulasi, maka manusia yang memegang kekuasaan hukum tidak lagi menghadapi rintangan apapun untuk mewujudkan hasrat-kuasanya: menumpuk harta maupun menghimpun kekuasaan demi kekuasaan itu sendiri.
Para penegak hukum yang mengingkari kewajiban menegakkan hukum demi kepentingan orang banyak itu tidak ubahnya pagar. Sebagaimana diamanahkan, pagar semestinya melindungi tanaman dari ancaman apapun, namun yang terjadi justru sebaliknya: pagar makan tanaman makan pagar. Pagar telah menjelma jadi predator yang memangsa hukum di dalam halamannya sendiri, nyaris tanpa rintangan apapun. >>
Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.