x

Tasch Collections: Photography and digital image by Tasch 2020.

Iklan

Taufan S. Chandranegara

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 23 Juni 2022

Sabtu, 22 Oktober 2022 10:35 WIB

Tentang Embun (2)

Cerpen Tentang Embun (2). Sejak dia datang ke Kebun Raya, sepagi tadi. Tak jua siang. Taman-taman di kebun itu senantiasa menunjukkan waktu pagi. Embun di dedauna tetap seperti awalnya. Matahari muncul di balik mendung ... Cerpen. Komunikasi literasi. Tak ada pembaca tak ada cerpen. Tak ada publik, tak ada seni tontonan. Kreativitas bareng di gerbang edukasi. Salam baik saudaraku.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kebun Raya, di manapun senantiasa indah. Kenapa ya. Seperti biasa hari pun tak pernah habis dimakan waktu. Usia tak pernah mampu mengejar waktu. Jadi, apa sebenarnya sedang aku tunggu. Momen, ya momen selalu datang lantas pergi, tak pamit, datangpun tak memberi salam. Enggak sopan ya.

Kerinduan. Siapa pemilik rindu. Anda ya. Saya atau aku. tak ada jawaban dari waktu, membisu kalau telah dikalahkan. Emang waktu bisa kalah ya ... Hihihi, sakit otakku. Mana mau waktu dikalahkan oleh aku atau saya ... Hahaha

Jadi sebaiknya bagaimana menghadapi waktu. Cuekin aja. Enggak bisa, dia akan semakin cepat berlalu. Wah. Lantas apa maumu. Aku mau waktu terus di saku bajuku. Tak mungkinlah hai Mungkin. Kalau dia mau. Kalau dia tak mau. Paksa harus mau. Kenapa. Lagi, waktu harus dikalahkan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ya, sudah. Sebaiknya berdamai dengan waktu. Ogah. Apa sih maumu. Waktu harus dikalahkan. Caranya. Cuekin aja. Enggak ada cara lain. Enggak. Hanya itu caranya. Wee, kalau dia marah gimana. Biarin. Oke.

**

Angkat badan dari kursi taman jalan pelahan mengamati waktu di embun sepagi buta, tak tampak apapun, cuma air dari langit numpang tidur di dedaunan. Apa indahnya ya ... 

Kamera lawas di genggaman. Kau sahabatku kan tangkapan mata lensamu masih oke kan. Sip kawan. Kita mulai pencarian embun terindah. 

Langkah memasuki rimbunan pepohonan, Kebun Raya, berusia abad lampau. Tak ada apapun, pohon purba, huma-huma indah mengikat rumput di antara pohon menyimpan kenangan banyak hal kisahnya. Mungkin.

Berpapasan beberapa kali dengan petugas lingkungan, Kebun Raya. Saling menyapa memberi salam. Beberapa dari mereka memberi arah pandang. Area taman Kebun Kupukupu, taman Kebun Capung, taman Kebun Belalang, disebut seperti itu karena di taman kebun tersebut banyak serangga sebagaimana namanya. 

Agaknya kamera lawas mata lensanya ogah menangkap momen terindah macam itu. Maumu apa sih. "Klick!" Kamera itu sekonyomg-konyong memotret secara otomatis. "Sepagi ini matahari belum nongol tertutup mendung. Kamu ko'k motret sendiri. Jangan aneh-aneh lah hai, ini waktu pagi loh." Suara "Beep!" kamera itu menunjukkan gambar.

Serupa sosok melintas dalam tempo lambat, gemerlap selintas secepat menghilang. "Tak mungkin. Enggak mungkin. Gambar ini serupa sesuatu, melintas, itu, tadi, barusan. Apaan sih tadi. Ini kamera error kale ..." Wangi bunga taman. Sesejuk terasa pagi itu, embun di dedaunan pepohonan bagai menyala. 

"Matahari? Jangan main-main ya. Muncul darimana sih dikau. Masih tertutup mendung." Dua orang penjaga taman melintas berpapasan.

"Selamat pagi ... Tuan," menganggukkan kepala.

"Selamat pagi ... " Santai, sembari memperhatikan kameranya, mendadak aneh.

**

Sejak dia datang ke Kebun Raya, sepagi tadi. Tak jua siang. Taman-taman di kebun itu senantiasa menunjukkan waktu pagi. Embun di dedauna, mungkin, tertampak tetap seperti awalnya.

Matahari muncul di balik mendung, kabut tak setebal misteri. Pandangan mata, masih mampu menembus pepohonan sampai kesebalik pohon di antaranya.

Lintasan-lintasan berkelebat cepat, berkelebat lambat, tak serupa warna, berbeda senantiasa di antara mereka saling berkelebatan simpangsiur, bagai semarak cahaya. Dia tetap asyik memperhatikan kameranya. 

Seperti sosok mendekati dia. Memperhatikan. Apa sebenarnya tengah dia lakukan. Perupaannya bagai sesuatu teramat indah, tapi bukan putri peri dalam kisah dongengan, ketemu pangeran lantas happy ending. Beda-beda dikit, tak mirip-mirip dikit, serba sedikit, lama kelamaan menjadi bukit.

"Jadi maumu apa sih."

"Sesuka imajiku dong."

"Tapi, tetap baik hati, tidak sombongkan. Oke. Lantas."

"Itu sebabnya jangan menggurui publik. Mengapa. Publik, pembaca karyamu lebih kaya nurani, ilmu pengetahuannya seluas langit, apapun miliknya. Lebih cerdas. Lebih bijaksana ... "

"Iya ... Kalau begitu hamba mohon pamit."

"Barengan aja." Keduanya meninggalkan dia.

Seraya menoleh serentak, sembari agak bergegas "Ganteng ya dia ... " Keduanya melepas tawa dalam senyum lembut.

**

Dia, memasuki salah satu taman tak bernama, di Kebun Raya itu. Duduk di kursi taman bercat warna perak, sebetulnya monokrom. Loh ko'k bisa, ada warna begitu. Bisa saja. Oke. Aku rubah jadi warna emas, tuh warna umum, banyak banget, di semua taman di Kebun Raya ini. Lantas, kembali jadi warna perak, bernuansa monokrom.

Dia, tak menyadari kalau kursi duduk itu berubah-ubah warnanya. Masih asyik ngobrol sendiri dengan kameranya. Lantas ngakak sendiri, kadang senyum-senyum. Ngakak lagi. Senyum-senyum lagi.

"Kamu punya nyawa ya. Seperti hamba gitu," kameranya tak menjawab. 

Gambar tadi kadang menghilang kadang muncul, menunjukkan bentuk hidup bergerak, kadang statis. Terdengar sayup-sayup, gambar itu memanggil dia, sesekali disebut pula namanya, gambar itu memanggili namanya, dari dalam kotak layar digital image, kamera itu. 

Dia, enggak heran sih, sekarang ini bermunculan fenomenal, teknologi aneh, mampu bekerja, melakukan apa saja, semacam sistem robotik, kale ya. 

Konon, semakin aneh mampu disebut teknocanggih. Makin aneh, semakin hebat... Meski tetap terbatas. Enggak ada kuota, enggak ada pulsa, enggak bisa chating, kolega kan, hihihi ...

***

Jakarta Indonesiana, Oktober 21, 2022.

Ikuti tulisan menarik Taufan S. Chandranegara lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler