x

Digital Photography by Tasch 2020

Iklan

Taufan S. Chandranegara

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 23 Juni 2022

Selasa, 25 Oktober 2022 09:01 WIB

Seduh Esai Cerita Pagi

Seduh Esai Cerita Pagi. Artikel Cinta Bumi Indonesia. Membentuk kesadaran pada pola laku kebersamaan di ranah tugas saling memahami, membangun persaudaraan bagaikan gugusan seluruh bintang semesta, terang di cahaya perbedaan, waktu, jarak pada titik beku cipta kreasi para planet, barangkali di sana ada keserupaan kesempurnaan kesetaraan, cahaya-cahaya sinaran semesta, merasuk sukma, bersama menuju kisah cita-rasa tujuan, putih di atas putih, barangkali. Salam Kasih Sayang Saudaraku.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Alangkah Indahnya Cermin Bening.
Ketika pilihan bertemu realitas barangkali ada semacam kontrol terhadap perilaku, dalam iman edukasi inheren tatakrama, tatalaksana kebaikan. Mungkin salah satunya ada pada perilaku sehari-hari di jalan raya, misalnya. Pada tingkat kemacetan tinggi, masih ada kendaraan melawan arus. 

Kadang-kadang mengambil jarak cukup lebar dari trotoar, kurang lebih, relatif satu meter, sebuah kendaraan melawan arus. Situasi semakin macet, emosi rawan sensibilitas semakin tinggi di tengah kelelahan masing-masing seusai kesibukan personal, berangkat ataupun pulang beraktivitas, sebagai mana mestinya.

Kritik pada kesetaraan bersama baik-baik saja, sejauh, barangkali, tak mengganggu kepentingan bersama menuju kemaslahatan sosial. Alangkah indahnya jika kritik itu, sebagai kontrol pada diri sendiri dalam perilaku kehidupan sehari-hari.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Semisal, tidak mengambil jalan bersifat melawan arus ketika sedang macet atau tidak macet sekalipun. Tidak meludah di sembarang tempat. Tidak membuang puntung rokok di sembarang tempat. Tidak merokok di kendaraan umum, meski tak setara busway. 

Peduli pada sesama saling memahami, barangkali bagaikan pedoman sederhana, alangkah indahnya hidup bermasyarakat. Alangkah indahnya negeri tercinta ini. Semoga mampu memberi keteladanan, kesetaraan pandangan sebagaimana mestinya.

Setara sebangun demi perilaku berkesinambungan total kebaikan, telah tertanam sejak dari keluarga secara saksama, dapat dirasakan manfaatnya bagi kehidupan bersama di masyarakat. 

Bagai Sebuah Esai.
Ketika alam memberi haknya pada makhluk hidup, berdetaklah detik waktu kehidupan. Adakah kemarahan alam pada makhluk hidup? Barangkali tidak. 

Evolusi, perubahan pada makna menjadi keluasan wawasan kebudayaan, di dalamnya ada berjuta ilmu pengetahuan, perjalanan waktu peradaban, revolusi kebaikan, mungkin mampu menjadi suatu lembaran menuju kebaruan dari suatu tujuan cita-cita kehidupan bagai lukisan-lukisan pemandangan alam.

Seirama musikalisasi suara-suara alam raya pemberi segala ada, segala keindahan, di musim bunga-bunga, daun gugur, berlaku sebagaimana mestinya tanah pemberi nutrisi bagi pepohonan, menampung air penghujan, menyimpannya dalam kesucian, kuasa sejarah kasih sayang.

Matarantai kehidupan tercipta menghadirkan kreasi vitalitas universal, serentak keajaiban bagi segala makhluk hidup serta fasilitasnya, telah ada, bergerak, berdetak, dalam satu kecepatan tekno-sains Ilahiah, tak terperikan, bertemunya waktu, dalam ruang-ruang persinggahan para makhluk hidup telah dimuliakan.

Membentuk kesadaran pada pola laku kebersamaan di ranah tugas saling memahami, membangun persaudaraan bagaikan gugusan seluruh bintang semesta, terang di cahaya perbedaan, waktu, jarak pada titik beku cipta kreasi para planet, barangkali di sana ada keserupaan kesempurnaan kesetaraan, cahaya-cahaya sinaran semesta, merasuk sukma, bersama menuju kisah cita-rasa tujuan, putih di atas putih, barangkali.

Bagai Sulaman Benang Warnawarni.
Membaca nurani bening tak semudah melihat cinta di mata kekasih. Langkah menuju pada waktu hal itu mungkin merupakan tujuan makna-makna pada misteri antara kehendak meski kadang-kadang bagai kasih tak sampai, pada tujuan di ranah cita-cita, atau, sebaliknya. Seakan-akan kecewa pada harapan, barangkali keniscayaan bagaikan sebuah kisah, terlanjur tertulis di sangkala.

Ketika, buah hati menjadi tak sama seperti harapan. Juga perasaan-perasaan itu ada di banyak kehidupan. Salahkah ketika cinta, harapan maupun keinginan dinyatakan atau dipendam dalam pernyataan jiwa dalam tubuh, meski sesungguhnya ada rasa ingin menyapa atau segera memberi kenangan pada orang terkasih.

Surealisme, kadang menjadi abstraksi, dalam berkat realisme. Hal itu bisa terjadi kepada siapa saja dimanapun awal mula kehidupan, mungkin bersembunyi sebuah harapan persemaian ruh surgawi bagi hidup, tak bernama menjadi bernama, menjadi bernyawa semoga berguna pergerakan esensial untuk sesama.

Tak ada hal ihwal merugikan hidup, oleh sebab itu, mungkin, tak perlu melihat ataupun membandingkan samudera dengan langit. Mungkin, barangkali analogi membentuk opini, maka simbol menjadi ada, berkesinambungan saling memberi sejarah.

Mungkin, tak ada sejarah berdiri sendiri di rentang zaman. Tak ada sejarah bergulir meninggalkan pengikatnya. Bersyukur, hingga hari ini masih melihat benda-benda angkasa, sama, kesetaraan sebangun sejak berabad tercipta, bulan, bintang-bintang, matahari, lintasan komet pada langit siang ataupun malam.

Cinta. Kasih Sayang.
Sebuah antologi tak sekadar kumpulan karya personal, sajak-sajak atau puisi-puisi, atau pantun-pantun, manuskrip leluhur purba. Antologi, mungkin semacam kumpulan hati nurani nan bening, di sana ada kenangan kreatif bermanfaat bagi sesama. Ada kisah-kisah keluarga kecil tercinta. Ada kisah-kisah anak-anak bangsa, cinta bergelut dengan waktu, etos kerja kreatif, mencapai tujuan hidup warna-warni di ranah kebudayaan, seluasnya.

Siapa saja boleh berkarya. Bagaikan pantun-pantun sebuah negeri lahir dari tradisi-tradisi para leluhur purba, pengingat lupa pada tanah adat ataupun kampung halaman awal mula asal-usul.

Bukankah tradisi adalah ibu dari modernisme, mungkin, ketika akan terlihat simbol-simbol tenun ikat, Rumah Toraja, Rumah Batak, Seni Batik Tulis. Simbol-simbol perupaan pada seni gambar di kain-kain ikat, totem-totem, dalam bentuk simetri ataupun asimetri. Dari tutur pantun, dalam kisah pencerita, dongeng-dongeng melahirkan seni tutur, menjelma kelompok-kelompok seni tonil, lantas bertemu dramaturgi kemodernan. 

Seni leluhur tradisi mungkin merupakan kesadaran ekologi budaya, akalbudi antropologis, barangkali menjadi kini kesenian tradisi-tradisi ‘Nusantara’ kuat berakar ide-ide, adat istiadat, aturan-tatakrama budaya masyarakatnya. 

Alangkah indahnya warna-warni kostum Jaran Kepang, berkacamata hitan, makan beling. Loncat Batu Nias, Seni Bambu dalam bunyi musik Kolintang, bunyian musik Angklung. Ada seperangkat gending mengiringi Bedoyo Ketawang, lalu rampak gerakan pada kisah Tari Lilin, Serampang Dua Belas. 

Kecak, Tari Pendet. Seni Silat Nusantara, lantas bertemulah Gerak Indah Tari Saman, kumparan detik waktu khusyuk iman, dalam rampak indah nian, dilahirkan oleh ibu kandung tradisi negeri nan indah ini. Nun di sana di kepulauan hingga tatacara lamar-melamar mempersiapkan upacara pengantin, unik, sakral.

Indonesia Raya, adalah kita anak-anak negeri. Kaya akan ragam budaya. Kaya akan seni dasar pendidikan kemanusiaan, kesejarahan, filsafat, prosaik etnis berkebudayaan adiluhung, spiritulitas intelektual-kontekstual dalam iman Pancasila. Salam Indonesia Bersatu Negeri para Sahabat. 

Jakarta Indonesiana, Oktober 24, 2022.

Ikuti tulisan menarik Taufan S. Chandranegara lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler