x

Iklan

atmojo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 29 Oktober 2022 06:01 WIB

Ribut-ribut soal Tesis-Antitesis; Keterangan Tambahan dari Filsafat Hegel

Politikus Nasdem yang sedang berseteru dengan rekannya itu menyebut nama filosof Hegel tentang konsep “tesis-antitesis-sintesis”. Apa itu? Berikut keterangan tambahan soal filsafat Hegel itu dengan sedikit konteksnya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Meski sesekali mengundang tawa, tetapi secara keseluruhan dialog antara Akbar Faizal dengan Zulvan Lindan di Podcast Akbar Faizal Uncencored (24 Oktober 2022), itu lumayan menggetarkan. Di situ Zulvan mengungkapkan “kemarahannya” soal  surat penonaktifannya sebagai pengurus DPP Partai Nasional Demokrat (Nasdem). Ia merasa dizalimi atau dipermalukan sebab surat itu lebih dulu beredar ke media sosial daripada kepada dirinya.

Selain itu, dia sebenarnya sudah bukan pengurus DPP partai lagi sejak 28 April 2022. Sehingga surat “penonaktifan” itu adalah kekeliruan administratif yang membuatnya tidak nyaman di hadapan publik. Bahkan bisa jadi dia dituduh telah melanggar undang-undang.  Sebab untuk menjadi komisaris sebuah BUMN, seseorang tidak boleh menjadi pengurus partai. Maka dia pun sudah mundur dari pengurus partai jauh sebelumnya.

Dalam dialog yang diberi judul: “Zulfan Lindan Serang Partainya: Surya Paloh Berpolitik Dua Kaki. Jokowi Gak Suka. Anies Terancam”, meski dengan nada santai, Zulfan  menelanjangi partai yang menaunginya beberapa tahun terakhir ini. Luar biasa.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tetapi bukan itu yang hendak saya tambahkan dalam tulisan pendek ini. Di sini saya hanya ingin memberikan keterangan tambahan mengenai “tesis-antitesis-sintesis” yang disebut Zulvan Lindan dan dianggap menjadi sumber “kegaduhan” itu. Singkatnya, dalam suatu wawancara dengan media, Zulvan mengatakan bahwa dipilihnya Anies Baswedan sebagai calon presiden pilihan Nasdem bisa saja membuat Presiden Joko Widodo merasa “tidak nyaman”. Nasdem adalah salah satu partai pendukung Joko Widodo. Kemudian Zulvan mengatakan, Anies Baswedan itu adalah antitesis buat Jokowi. Pernyataan Zulvan itu yang memancing “keributan” antara pengurus Nasdem dan Zulvan.

Dalam pandangan Zulvan, Jokowi adalah sosok yang berpikir sederhana tetapi langkahnya cepat dalam mengerjakan program (tesis), sementara Anies Baswedan adalah sosok yang suka dengan konsep terlebih dahulu, lalu membuat policy, baru menjalankan program (antitesis). Maka, suatu kali, misal pada 2029, dua pola kepemimpinan itu bisa bersatu dan  muncul pemimpin yang gerak cepat serta konseptual  (sintesis).  Konsep “tesis-antitesis-sintesis” ini berasal dari Georg Wilhelm Friedrich Hegel.

                                                                       ***

Menyebut nama Hegel saja sudah bisa membuat bulu kuduk merinding. Kenapa? Karena dia adalah filosof besar dalam kembangkitan Idealisme Jerman di awal abad 19. Hegel mengembangkan “metafisika gaya baru”. Berbeda dengan metafisika sebelumnya, yakni metafisika tradisional, yang menekankan pada peranan iman dan rasio, metafisika baru ini meyakini kemampuan rasio manusia. Rasio di sini tidak dipahami sebagai rasio tertentu yang dimiliki orang tertentu, melainkan sebagai sesuatu yang menguasai realitas  keseluruhan. Rasio tidak dipahami sebagai ‘subjek tertentu’ (diriku), melainkan sebagai ‘intelegensi yang mengatasi individu’, suatu ‘Subjek Absolut’. Rasio ini mengatasi pikiran individu-individu dan menjadi inti hakiki kenyataan itu sendiri.

Menurut Hegel, dalam realitas itu selalu berlangsung suatu dialektika. Dialektika boleh disebut sebagai pendamaian hal-hal yang bertentangan, yang tidak hanya membatasi satu sama lain, tetapi serentak pula menghasilkan suatu kesatuan baru.

Istilah “dialektis” ini didapat dari pengalaman sehari-hari dalam dialog. Jika dinyatakan sebuah pendapat, maka pendapat itu akan ditentang oleh pendapat lain, lalu karena tak puas denan oposisi itu, kita berusaha memperdamaikan keduanya dengan sebuah pendapat yang kebih lengkap. Dari proses itu kita bisa merumuskan tiga tahap. Tahap pertama adalah sebuah tesis yang lalu memunculkan tahap kedua atau antitesis, akhirnya keduanya diperdamaikan  dalam sebuah sintesis.

Dalam sintesis (pendapat ketiga) tidak hanya terjadi peniadaan, pembatalan dari kedua oposisi karena munculnya sintesis, melainkan juga kedua aspek yang beroposisi disimpan dan diangkat ke taraf yang lebih tinggi, sebab kebenaran keduanya masih dipertahankan dalam sintesis itu. Dalam bahasa Jerman, seluruh proses itu disebut “aufgehobhen”.

Contoh pertama, misalnya mengenai bentuk negara. Ada diktatur (tesis), ada anarki (antitesis), lalu menjadi demokrasi konstitusional (sintesis). Contoh kedua, misalnya keluarga. Ada suami (tesis) ada istri (antitesis), dan ada anak (sintesis). Contoh tiga, mengenai konsep filsafa:: ‘ada’ (tesis), ‘ketiadaan’ (antitesis), dan ‘menjadi’ (sintesis).

Sintesis yang sudah dicapai dapat menjadi tesis baru, yang menampilkan antitesis baru, diperdamaikan menjadi sintesisi baru. Hegel menggunakan metode dialektika ini dengan konsekuen. Karena itu dalam pelbagai karyanya pembagian “tiga tahap” itu akan selalu muncul berulang kali.

                                                                          ***

Idealisme Jerman ini, seperti dikatakan F. Budi Hardiman, memahami kenyataan sebagai  ‘perwujudan diri dari Subjek Absolut atau rasio’ . Karena pandangan mengklaim sesuatu tentang kenyataan akhir sebagai keseluruhan, maka pandangan ini adalah sebuah metafisika, dan karena klaim itu menegaskan bahwa kenyataan akhir itu adalah subjek absolut atau rasio, metafisika ini disebut idealisme,

Jadi titik tolak bagi idealisme Hegel adalah Yang Absolut. Yang Absolut adalah totalitas, seluruh kenyataan. Hegel memahami seluruh kenyataan ini sebagai sebuah “proses menjadi”. Dalam arti ini, dia memahami kenyataan sebagai sebuah proses teleologis. Yang Absolut tidak hanya dipahami sebagai seluruh proses itu, melainkian juga tujuan (telos) dari proses itu sendiri. Hegel lalu memahami Yang Absolut itu sebagai subjek. Kalau dia itu  subjek, tentu ada objeknya. Menurut Hegel, objeknya adalah dirinya sendiri. Dalam arti ini, Yang Absolut adalah “Pikiran yang memikirkan dirinya sendiri”, “subjek yang menyadari dirinya snediri”. Dengan kata lain, Yang Absolut itu adalah Roh.

Menurut Hegel, tujuan dasariah filsafat adalah mengatasi oposisi-oposisi. Dalam pengalaman sehari-hari, pikiran kita hanya menangkap kemajemukan, pertentangan, kontradiksi, dan seterusnya. Pikiran, misalnya, menghadapi soal dualisme jiwa dan badan, atau kontradiksi antara subjek dan objek, alam dan roh, yang terbatas dan tak terbatas. Oposisi-oposisi macam itu tidak memuaskan pikiran, dan menurut Hegel kepentingan dasariah dari rasio adalah mengusahakan kesatuan utuh dari oposisi-oposisi itu. Dengan kata lain, rasio selalu ingin mencapai Yang Absolut. Karena itu, Hegel ini merumuskan Yang Absolut itu secara filosofis. Untuk itu, dia menjumpai sebuah masalah: kalau mau dirumuskan secara filosofis, tak ada jalan lain kecuali lewat refleksi, padahal refleksi termasuk dalam intelek yang beroperasi dengan data indrawi. Hegel mengatasi masalah itu dengan mengangkat refleksi  Yang Absolut itu ke taraf rasio atau intuisi intelektualnya. Di sini, dia menggabungkan refleksi dan intuisi menjadi spekulasi filosofis.

Ada yang mengatakan bahwa penekanan Hegel pada rasio ini sebenarnya merupakan reaksi terhadap kecondongan “intelektual” yang mencurigai rasio, tetapi menekankan perasaan (filsafat kepercayaan, romantik). Tapi biarlah itu menjadi bahan diskusi berikutnya.

Demikian sedikit keterangan tambahan soal “tesis-antitesis-sintesis” yang menjadi ciri utama filsafat Hegel.

*Atmojo adalah penulis yang meminati bidang filsafat, hukum, dan seni.

                                                                   ###

Ikuti tulisan menarik atmojo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler