x

Sumber foto https://islamlib.com/

Iklan

Wahyu Tanoto

Penulis yang menyukai kopi hitam dan jadah goreng, namun ngapak.
Bergabung Sejak: 4 Agustus 2022

Jumat, 28 Oktober 2022 16:26 WIB

Menengok Sumbangan Pemikiran M. Amin Abdullah dalam Dialog Antar Umat Beragama (Bagian 1)

bagaimana tawaran Amin Abdullah yang sempat “memancing” dan mengundang kegelisahan sebagian masyarakat dengan anjurannya kepada umat Islam untuk melihat persoalan wahyu (normativitas) dan perilaku nabi Muhammad (historisitas) sebagai sebuah frame work studi keilmuan Islam. Normativitas-Historisitas bagi Amin Abdullah memiliki ketersinambungan. Apabila pengkajian mengenai normativitas (wahyu) tanpa mengindahkan persoalan historisitas dikhawatirkan putus di tengah jalan dalam pengkajian keilmuan. Amin Abdullah adalah salah seorang tokoh kontemporer yang termasuk memiliki “musuh” intelektual di negeri ini. Terbitnya buku ada pemurtadan di IAIN, adalah salah satu contohnya. Buku ini sedikit banyak untuk mengungkapkan ketidak setujuan atas beberapa pandangan Amin Abdullah misalnya, mengenai penggunaan metode hermeneutik dalam menafsirkan al-qur’an yang nota benenya sudah ada penggunaan ilmu tafsir dan takwil untuk memahami al-qur’an dan kebetulan hampir semua umat Islam mengamini metode ilmu tersebut.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Latar belakang

Setiap penganut agama (meskipun relatif) cenderung membenarkan bahwa dalam “doktrin” agama yang diyakini mengandung pesan dan nilai-nilai kebaikan. Meskipun begitu belum ada jaminan bahwa agama merupakan garansi bagi terciptanya kedamaian.[1] Pada satu sisi dapat disaksikan perilaku luhur kemanusiaan yang diinspirasikan dan bahkan ditopang sepenuhnya oleh tradisi keagamaan. Kisah perjuangan para utusan dalam membebaskan kaum tertindas (mustadhafin) misalnya, sebagaimana dinarasikan teks-teks agama, maupun kegiatan kemanusiaan yang dicontohkan para tokoh legendaris seperti Ahmad Dahlan, Mahathma Ghandi, Bunda Theresa, Dalai lama dan sebagainya, kian mengukuhkan kesaksian kita ihwal wajah konstruktif-transformatif agama.[2]

Melihat hal ini, ada baiknya mengindahkan pendapat Dawam Raharjo sebagaimana dikutip oleh Syafi’i Anwar untuk menganggap semua agama benar, tetapi dalam konteks benar menurut keyakinan agama masing-masing. Pandangan ini merupakan landasan bagi keadilan, perlakuan setara dan kerukunan antar umat beragama.[3] Terlebih bagi agama rumpun Ibrahim yang menamakan dirinya sebagai Abrahimic religion (Yahudi, Kristen dan Islam). Dan agama-agama ini menurut Zuly Qodir hadir di tengah-tengah masyarakat memiliki sejarah pernah terjadi “gesekan” diantara ketiganya.[4]

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dalam pengertian ini tidak selalu pada bentrokan fisik semata, namun lebih pada arti yang lebih luas, sebagai contoh misalnya ada klaim yang menyebutkan bahwa hanya agama yang dianut dirasa paling diridhai atau bahkan paling benar, atau lazim dikenal dengan sebutan istilah Amin Abdullah truth claim yang kerap berujung pada perilaku ekspresif yang sebenarnya kurang dapat dibenarkan lewat kacamata agama. Dalam pandangan Tarmizi Taher bahwa diskursus agama memang sarat dengan muatan emosi, kecenderungan dan subjektivitas individu.[5] Ekspresi-ekspresi yang berlebihan juga disinyalir akibat dari pernyatan-pernyataan yang dapat menimbulkan reaksi dari pihak lain. Walhasil ajaran agama untuk dapat bertasamuh, berwajah santun dan lembut menjadi agak kabur serta kurang elok dipandang. Hal ini berakibat pada pola relasi sesama umat beragama merenggang tegang.[6]

Padahal jelas dalam salah satu ajaran kitab suci[7] dengan tegas menolak sikap dan tuntutan klaim kebenaran. Menurut Amin Abdullah, bahwa sesungguhnya kitab suci (al-Qur’an) mengakui adanya manusia-manusia saleh diluar agama yang dianut.[8] Lebih-lebih untuk persoalan kehidupan beragama dan konsep-konsep yang didalamnya, tidak bisa, bahkan mustahil dapat dilepaskan sama sekali dari pergumulan, pergulatan dan perubahan sejarah yang mengitarinya.[9] Munculnya sikap-sikap merasa paling benar tentu dapat berdampak negatif dalam merajut persahabatan dengan pihak lain. Tak dapat dibayangkan apabila semua kelompok merasa paling benar. Bukankah agama bukan hanya terbatas pada hubungan manusia dangan Tuhan, tetapi juga ada pada kesadaran sosial dan kenyataan sosial, begitulah setidaknya yang disampaikan Durkheim sebagaimana dikutip Djam’annuri.[10]

Dalam kenyataan beragama, sebagian besar umat manusia mengamini jika dari ketiga agama (Yahudi, Kristen dan Islam) telah lahir masyarakat yang pluralistik, belum lagi dengan agama-agama diluar agama tersebut yang jumlahnya beragam. Maka, dambaan akan lahirnya kualitas masyarakat yang penuh dengan kenyamanan, tenang, penuh kedamaian di tengah-tengah suatu masyarakat yang plural maka akan sulit dibayangkan apabila tidak ada sikap yang menerima keadaan ini.[11] Dengan kata lain, relasi yang hendak dibangun demi terciptanya ketertiban dan keserasian untuk menghasilkan hubungan kerjasama yang penuh keterbukaan jauh dari kenyataan.[12]

Mesti diingat bahwa benar setiap agama memiliki perbedaan, yaitu dalam melihat suatu ajaran (cara pandang), cara melaksanakan peribadatannya (bertindak) dan cara berkomunikasi dengan umat agama lain (membangun relasi). Tapi tidak dapat dibenarkan pula manakala menggunakan alasan berbeda untuk “menghakimi” kelompok lain yang mempunyai pandangan tidak sama dalam melihat, memahami dan memaknai suatu ajaran, karena hal ini dapat memicu timbulnya prasangka dan semakin memperkeruh keadaan. Menurut Alef Theria Wasyim bahwa setiap agama sejatinya memiliki “identitas” masing-masing.[13]

Menjadi penting untuk diperhatikan pula mengenai gagasan bagaimana terciptanya jama’ah dan umat beriman yang dapat bersama-sama hidup rukun dan memiliki sikap serta sifat tasamuh atau saling menghormati tehadap kelompok lain.[14] Dalam kitab suci (Al-Qur’an) memang telah ada prinsip lakum diinukum wa lii yadiin (bagimu adalah agamamu dan bagiku adalah agamaku)[15]. Dalam pandangan Amin Abdullah hal ini lebih terkait pada “kebebasan beragama” bukan pada bidang yang lain[16].

Memperhatikan kenyataan tersebut, ide mengenai dialog antar umat beragama memiliki posisi yang signifikan dalam beragama. Selain sebagai media menghindari chaos dapat juga dipakai sebagai jembatan penghubung terciptanya kerukunan antar umat beragama dalam menjalankan aktivitas peribadahannya. Menurut Burhanuddin Daya bahwa sesungguhnya umat beragama tidak hanya mendambakan koeksistensi damai melainkan juga sharing kehidupan yang lebih aktif dimana setiap agama menghidupi idealitas dan nilai-nilai tertinggi agamanya sendiri, sembari menghormati agama-penganut agama lain.[17]

Dapat ditekankan disini bahwa perlunya dialog  bukan hanya karena umat manusia majemuk atau plural tapi lebih dari itu. Keragaman agama-agama di dunia merupakan realitas yang tidak dapat ditolak. Begitulah setidaknya yang disampaikan Amin Abdullah.[18] Beberapa permasalahan keagamaan yang kerap mengemuka seperti kesalahpahaman, ketegangan, dan konflik antar umat beragama membuat umat beragama tidak bisa tidak, untuk sebaiknya berfikir dan memfardhukan diri melaksanakan dialog dalam rangka meminimalisir gesekan, jika bukan meniadakannya.

Jika beberapa masa ke belakang hubungan antar umat beragama ditandai dengan antagonisme polemik dan ada indikasi untuk mengalahkan, menundukkan, dan mempengaruhi pihak lain. Hal ini merupakan akibat dari relasi antar umat beragama belum kerap dilaksanakan sebagaimana baiknya. Agama-agama pada masa terdahulu dapat dikatakan relatif hidup dalam suatu masyarakat yang relatif homogen, “tertutup”, dan belum mengenal dunia lain selain dunianya sendiri. Dalam keadaan demikian, agama-agama disinyalir mengembangkan sikap egosentrisme masyarakat yang beranggapan bahwa merekalah satu-satunya masyarakat yang beragama secara benar sedangkan agama lain yang dianut oleh kelompok dianggap aneh atau sesat bahkan salah.[19]

Inilah mengapa dialog antar umat beragama sebaiknya tidak hanya sekedar dilakukan secara face to face namun juga mendesak untuk dilakukan secara struktural mulai dari tingkat pimpinan hingga penganut.[20] Dialog sudah selayaknya mulai menyertakan stakeholder dan tidak melulu menjadi "kemewahan" bagi elit agama yang terpelajar. Hal ini terjadi karena dialog lebih dipraktikkan secara "diskursif" ketimbang secara praktis. Inilah setidaknya yang disampaikan oleh Ulil Abshar Abdalla dalam artikelnya Beberapa Kendala Praktis Dialog Antar-Agama.[21]

Di tengah-tengah sedemikian rupa persoalan keagamaan, ada salah seorang intelektual Muslim yang konsisten mencari terobosan mengenai bagaimana merajut hubungan yang dibingkai dalam dialog antar umat beragama di Indonesia khususnya. Intelektual Muslim ini tidak lain tidak bukan adalah Muhammad Amin Abdullah yang memberikan pandangan bahwa di dalam dialog antar umat beragama tidak lepas pula mengenai dialog intern-agama yang merupakan suatu keniscayaan. Hal ini dapat dimaknai bahwa sesungguhnya dialog antar umat beragama merupakan sebagai bagian dari agama dan sulit untuk dipisahkan.[22]

Sebagai salah satu pemikir mengenai studi keislaman di Indonesia, figur Amin Abdullah tentunya sudah dikenal secara luas di kalangan intelektual muslim di tanah air. Ide, gagasan dan pikiran-pikiran sosok lulusan Pondok Pesantren Gontor yang disebutnya tidak memiliki mazhab ini mulai dikenal pada era 90-an ketika menulis artikel di jurnal Ulumul Qur’an tentang tentang isu-isu keagamaan.[23]

Lebih dari itu, Amin Abdullah juga dikenal sebagai seorang intelektual yang selalu menyuarakan mengenai normativitas-historisitas dalam melihat persoalan-persoalan agama-keagamaan. Karena bagi Amin Abdullah ada ketersinambungan antara normativitas dan historisitas.[24] Dalam pandangannya, persoalan ini menjadi penting karena agama bukan sekedar mencukupi kebutuhan praktis keagamaan.

Amin Abdullah dalam beberapa karyanya tidaklah secara khusus menempatkan Dialog Antar umat beragama sebagai tulisan utama. Namun demikian, tulisan-tulisan mengenai dialog antar umat beragama selalu dapat ditelusuri dalam beberapa karya yang telah diterbitkan. Meskipun dialog antar umat beragama merupakan tulisan sisipan namun bukan berarti bias menjadi justifikasi bahwa Amin Abdullah tidak peduli dengan persoalan ini. Tulisan-tulisan Amin Abdullah selanjutnya dapatlah kiranya dijadikan bukti otentik yang dapat ditelusuri. Selanjutnya sama sekali tidak boleh terlewatkan pula bahwa Amin Abdullah adalah sosok seorang intelektual Muslim di Indonesia yang menawarkan pendekatan integratif-interkonektif dalam studi agama bahkan dalam bidang studi disiplin ilmu lain.[25]

Menurut hemat penulis, tawaran pendekatan ini merupakan terobosan luar biasa. Kenapa demikian? Disamping sebagai suatu kritik ke-dalam, tawaran pendekatan ini juga dapat dipakai untuk mereduksi dikotomi berbagai disiplin ilmu. Menjadi memiliki posisi yang signifikan mengenai tema dialog antar umat beragama ini karena sebagai salah seorang pemikir kontemporer Amin Abdullah telah menegaskan bahwa dialog antar umat beragama sejatinya adalah ingin mencari titik temu (kalimatun sawa), yaitu mengenai persamaan-persamaan dalam agama yang dapat didudukkan dengan proporsinya. Mudahnya adalah bahwa persoalan teologi sebaiknya disandingkan dengan teologi dan seterusnya. Artinya bahwa harus dicari terlebih dahulu manakah yang termasuk bagian dari ibadah dan manakah yang sekiranya termasuk persoalan sosial. Dari sinilah akan ada titik temu antara agama satu dengan agama lain.

Dialog antar umat beragama dan studi pemikiran  Amin Abdullah inilah yang hendak penulis sajikan menjadi tema penelitian skripsi ini. Ada beberapa pertimbangan yang mendasari penulis mengangkat tema tersebut. Pertama, bahwa tampaknya kecenderungan semakin menguatnya perbincangan pluralisme agama, relasi antar umat beragama, di masa mendatang yang diprediksi akan semakin berkembang atau tidak akan pernah surut.

Kedua, masih kurangnya pemahaman masyarakat terhadap esensi ajaran agama diluar agama yang dianut. Dari sini dapat dikatakan bahwa agama barulah dipahami secara teologis, akibat yang muncul dari pemahaman ini adalah munculnya absolutisme teologi. Oleh karenanya diperlukan minimal suatu pengenalan (sosialisasi) bahwa pada dasarnya tidak bisa tidak apa yang disebut sebagai agama datang untuk mengajarkan dan menyebarkan (share)  kedamaian di muka bumi dalam kehidupan.

Ketiga, munculnya wacana mengenai agama yang toleran, pluralis dan inklusif merupakan bagian yang tidak mudah untuk dipisahkan dari ajaran suatu agama. Sebab, apa yang disebut sebagai pluralitas termasuk didalamnya adalah pluralitas agama dan semangat untuk bertoleransi dan inklusifisme dapat dilihat sebagai ketentuan yang mustahil untuk diubah oleh agama apapun, dimanapun dan kapanpun atau bahkan dihalang-halangi serta ditutup-tutupi untuk tumbuh dan berkembang.

Dan keempat, tampak jelas semakin menguatnya kecenderungan eksklusivisme dan intoleransi disebagian masyarakat beragama yang pada gilirannya dapat memicu konflik dengan penggunaan label agama[26]. Bukankah hal-hal tersebut mengkhawatirkan bagi terciptanya perdamaian dunia manakala timbul permusuhan antar sesama. Oleh karenanya sangatlah tidak mudah untuk tidak mengatakan bahwa peristiwa-peristiwa Poso, Ketapang, Maluku bukanlah peristiwa yang bernuansa SARA dan agama.

Karena itulah perlu dicari upaya-upaya atau langkah-langkah guna mencari jalan keluar berkaitan dengan perdamaian antar sesama umat beragama. Beberapa alasan tersebut inilah yang menurut hemat peneliti Amin Abdullah memiliki kelayakan secara akademik terkait dengan pemikiran Amin Abdullah mengenai dialog antar umat beragama. Oleh karena itu, peneliti ingin memahami perkembangan pemikiran Amin Abdullah.

 

[1] Subkhi Ridho, Meretas Jalan Baru Dialog Antar umat Beragama: Menuju Kebebasan Beragama dalam http://jarikbandung.blogspot.com akses tanggal 6 November 2009.

[2] Damanhuri, “Agar Agama Tidak Menjadi Bencana” dalam www.media-Indonesia.co.id akses tanggal 6 November 2009.

[3] M. Syafi’i Anwar, “Purlisme dan Amanah Kecendikiawanan: Belajar Bersama Dwam Raharjo” dalam Ihsan Ali Fauzi dkk (ed.), Demi Toleransi dan Pluralisme (Jakarta: Paramadina, 2007), hlm. 179.

[4] Zuly Qodir, Islam Syari’ah Vis a Vis Negara Ideologi Gerakan Politik di Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2007), hlm. 33.

[5] Tarmizi Taher, Agama dalam Transformasi Bangsa Membumikan Ajaran Tuhan (Jakarta: Hikmah, 2003), hlm. 43.

[6] Pengakuan akan eksistensi agama-agama lain merupakan sesuatu yang signifikan dilakukan, pengakuan beberapa ayat di dalam kitab suci Al-qur’an terhadap pemeluk agama-agama lain misalnya antara lain tercantum dalam surat al-Baqarah ayat 62: “Orang-orang beriman (orang-orang Muslim), Yahudi, Kristen, dan Shabi’in yang percaya kepada Allah dan hari kiamat, serta melakukan amal kebajikan akan beroleh ganjaran dari Tuhan mereka. Tidak ada yang harus mereka khawatirkan, dan mereka tidak akan berduka”. Titik tekan ayat ini ada pada aktivitas kongkret umat beragama yang harus berada dalam katagori amal saleh. Itu berarti, masing-masing agama ditantang untuk berlomba-lomba menciptakan kebaikan dalam bentuknya yang nyata. (Pernyataan ini dikutip dari Moch.Sofyan, dapat dibaca di website www.islamlib.com/id/artikel/menuju-pluraisme-global. akses tanggal 14 Mei 2009).

[7] Kitab suci yang dimaksud adalah Al-Qur’an Surat Al-Kafirun ayat 6.

[8] M. Amin Abdullah, Dinamika Islam Kultural Pemetaan Atas Wacana Keislaman Kontemporer (Bandung: Mizan, 2000), hlm. 76.

[9] M. Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Post Modernisme (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), hlm. Vii.

[10] Djam’annuri, Agama Kita Perspektif Sejarah Agama-agama (Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2002), hlm.20

[11] M. Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas? (Yogyakarta: Pustaka Pelajar 1996), hlm. 14.

[12]  Burhanuddin Daya, Agama Dialogis Merenda Dialektika Idealita dan Realita Hubungan Antaragama (Yogyakarta: LkiS 2004), hlm.71.

[13] Alef Theria Wasyim, Religion, Science and Society Bloemlezing (Yogyakarta: Bunga Graphic Production, 2006), hlm.67.

[14] Burhanuddin Daya, Agama Dialogis Merenda Dialektika Idealita dan Realita Hubungan Antaragama (Yogyakarta: LkiS 2004), hlm. 39.

[15] Terjemah Al-Qur’an Al-Jumanatul ‘Ali (CV. Penerbit J-Art).

[16] M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi Pendekatan Integrtif-Interkonektif (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 176.

[17] Burhanuddin Daya Agama Dialogis Merenda Dilektika Idealita dan Realita Hubungan Antaragama (Yogyakarta: LKiS, 2004), hlm. 39.

[18] M. Amin Abdullah dkk, Re-strukturisasi Metodologi Islamic Studies Mazhab Yogyakarta (Yogyakarta: SUKA PRESS, 2007), hlm. 19.

[19] M. Amin Abdullah, Pendidikan Agama Era Multikultural Multireligius (Jakarta: PSAP, 2005), hlm. 3.

[20] Tarmizi Taher, Membumikan Ajaran Ketuhanan Agama dalam Transformasi Bangsa (Jakarta: Hikmah 2003), hlm.xvii.

[21] Ulil Abshar Abdalla, “Beberapa Kendala Praktis Dialog Antar-Agama” dalam Kompas 5 Agustus 2008.

[22] M. Amin Abdullah, “Dialog Antaragama” dalam www.uin-suka.info akses tanggal 30 Agustus 2009.

[23] Misalnya sandingkan dengan Nurcholis Madjid (alm), Komaruddin Hidayat atau Hidayat Nurwahid awalnya juga berbicara mengenai isu-isu agama tetapi ada yang beralih haluan dengan merambah mengenai persoalan-persoalan politik, artinya bahwa M. Amin Abdullahtetap konsisten jika disandingkan dengan beberapa diantara mereka menyuarakan tentang persoalan-persoalan keagamaan.

[24] M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi Islam Pendekatan Integratif-Interkonektif (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 389-390.

[25] M. Amin Abdullah dkk, Islamic Studies Dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi (sebuah antologi) (Yogyakarta: SUKA Press, 2007), hlm. 5-38.

[26] Asep Saefuddin, Merukunkan Umat Beragama Studi Pemikiran Tarmidzi Taher tentang Kerukunan Umat Beragama (Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2007), hlm.31, 32,33.

Ikuti tulisan menarik Wahyu Tanoto lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB