Bagi partai-partai politik, sosok calon presiden yang hendak diusung sangatlah penting, meskipun untuk itu mereka terpaksa mengimpor dari luar partai. Calon-calon presiden potensial ini akan ditempatkan layaknya ujung tombak pemasaran, sebagai brand ambassador. Meskipun sudah punya brand sendiri, partai politik masih belum percaya diri mengusung calon dari kadernya sendiri, kecuali Gerindra, Golkar, dan mungkin nanti PDI-P.
Dengan menggandeng PKB, Gerindra merasa sudah cukup untuk melenggang ke kontestasi pilpres 2024. Kedua partai ini kemungkinan akan semakin solid menjalin kerjasama untuk pilpres. Bagi Gerindra, menjadikan Muhaimin Iskandar sebagai cawapres Prabowo barangkali merupakan pilihan yang tak terhindari jika ingin mempertahankan koalisasi Gerindra-PKB.
Di tempat lain, Golkar dengan Airlangga kelihatan belum berhasil meyakinkan sekutunya di Koalisi Indonesia Bersatu, seperti tampak suara Ketua Umum PAN yang berharap bisa mengusung Ganjar Pranowo disandingkan dengan Ridwan Kamil; sedangkan kalangan PPP belum solid soal siapa calon yang layak diusung. Nama Ganjar, Erick Thohir, dan Anies sempat disebut-sebut.
Bagi elite parpol, mengimpor produk dari luar tidak masalah, asalkan bisa membawakan kemenangan. Nama-nama seperti Ganjar [andai PDI-P rela melepas], Anies, lalu Ridwan dan Erick dijadikan layaknya brand ambassador yang diharapkan mampu mendongkrak perolehan suara partai. Maknanya, partai politik ingin ikut menikmati keuntungan suara dari upayanya mengusung pasangan capres-cawapres yang populer dan syukur-syukur punya elektabilitas tinggi.
Inilah yang barangkali mendorong elite PAN ingin mengusung Ganjar Pranowo atau PPP ingin memilih di antara Ganjar dan Erick. Kedua elite parpol ini mungkin berpikir bahwa dengan mencalonkan Ganjar dan Erick, popularitas partai juga akan ikut terangkat. Sebaliknya, jika mengikuti tawaran Golkar yang mencalonkan Airlangga Hatarto, boleh jadi popularitas PPP dan PAN bukan malah naik, tapi justru sebaliknya.
Fungsi brand ambassador inilah yang agaknya bakal dieksploitasi oleh partai politik demi terdongkraknya popularitas dan elektabilitas partai, dengan harapan perolehan suara partai akan meningkat. Popularitas dan elektabilitas capres diharapkan berimbas pada popularitas dan elektabilitas partai. Parpol tidak peduli sekalipun capresnya harus impor dari luar. Elite partai mungkin membayangkan seperti klub-klub sepakbola yang mengimpor pemain dari luar asalkan tim bisa memenangi pertandingan. Entah kapan partai politik dengan bangga mengusung kadernya sendiri?
Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.