Kyai Doddy Ahmad Fauzi, sang tetua yang tersisa dari generasi lama komunitas ASAS UPI (Arena Studi Apresiasi Sastra) pada satu waktu pernah membahas tentang ruh kata. Tiap-tiap penyair memiliki ruh kata masing-masing yang mengantar mereka ke dunia imaji puisi.
Bagi saya yang kuliah di jurusan Psikologi, sebuah kata yang layaknya terucap dalam teknik asosiasi bebas Jungian yang membawa kita menuju pikiran bawah sadar pribadi/kolektif. Bagi saya, laut merupakan salah satu ruh kata tersebut.
Pagi ini saya melihat sebuah foto pesisir pantai di Facebook, namun tiba-tiba kata-kata puisi di bawah ini meluncur dengan derasnya. Namun, tidak serta-merta menjadikan proses menulis puisi sebagai kegiatan yang serba spontan, ekstatik, apalagi tak sadar. Di sini saya mengamini pendapat almarhum Ahmad Yulden Erwin yang menegaskan bahwa proses berpuisi mestilah dikerjakan dengan sepenuh kesadaran, pemahaman akan teknik, dan pemahaman terhadap kaidah linguistik (meskipun dalam hal yang terakhir saya masih lebih banyak keserampangannya).
Dengan kata lain, kita meski memiliki suatu konsep atau gagasan pokok yang utuh, kemudian perasaan memainkan perannya dengan memanggil sang ruh kata yang turut serta mengajak imaji-imaji khasnya.
Kenangan berlabuh diantar
binatang-binatang kecil
di sini tak seperti Imladris
debu-debu purnama
merias panorama waktu memelar
sebagaimana Portuguese man o’ war
yang terdampar:
hitungan mundur menuju
amnesia
angin terkoyak
bercucuran rum dan kesepian
tengah samudra
ia meringis kepada jaket
yang tergantung di puncak tiang
menjelma hantu gentayangan
konon di tanjung yang dahulu
memakan seorang kekasih
atas pinta laut
ada tangisan duyung
dalam kabut
timbul dan tenggelam
batu-batu karang
meratap
adakah Tuhan dalam
batu karang dan cangkang kerang?
siapa yang tahu artinya menghadapi
Kekosongan?
selepas air pasang yang memperkosa pantai
pecahan-pecahan mimpi mengandung bangkai
tetapi tak ada Tiamat bagi Marduk
mengarungi sunyi
laut primordial
cakrawala senantiasa berbisik
tentang pasang-surut dan
kembalinya segala sesuatu
walau kiamat berkali-kali
walau perpisahan tak
berkesudahan
sekali waktu butir pasir ini ialah mata
yang membidikan pandangannya
ke bintang terjauh dan titik terdalam
namun mutiara tercipta
dari pasir yang buta
Bandung, 2022
Ikuti tulisan menarik Fadzul Haka lainnya di sini.