x

Depositphoto.com

Iklan

Jerpis M.

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 2 Agustus 2022

Selasa, 8 November 2022 08:31 WIB

Nama Flores adalah Simbol Kolonialisme?

Pada tahun antara 1632-1636 Gubernur Jendral Hindia Belanda Hendrik Brouwer dengan pemahaman ideologi superioritasnya sebagai bangsa Eropa meresmikan pergantian nama Nusa Nipa menjadi Flores. Kurang lebih 100 tahun sebelumnya julukan itu sudah diberikan para pedagang kolonial Portugis secara sembarangan. Apa maksud dan tujuan kolonial Belanda meresmikan pergantian nama Nusa Nipa menjadi Flores?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Nenek, Kakek, Leluhur Tanapuan, jangan marah, sebab kali ini hendak kubangunkan sang Naga Sawaria Raja Kelana yang sedang tertidur nyenyak, tertimbun bunga cantik berduri, berbau busuk bangsa eropa. Kuatkanlah hatiku dalam menyusuri hutan-hutan rimbamu.

Saya akan memulai tulisan ini dengan terlebih dahulu mengutip salah satu paragraf dari esei seorang sastrawan dan penyair yang berjudul "Max Havelaar: Buku Yang Membunuh Kolonialisme", Saut Situmorang, dalam bukunya "SASTRA DAN FILM"--yang menjadi dasar atas niat saya untuk membuat tulisan ini--sebagai berikut:

Diskursus kolonial adalah sebuah sistem pernyataan yang bisa dibuat tentang koloni dan bangsa-bangsa kolonial, tentang kuasa kolonial dan relasi antara keduanya. Sebuah sistem pengetahuan dan keyakinan tentang dunia di mana kolonisasi terjadi. Merupakan aturan-aturan inklusi dan eksklusi yang beroperasi dengan asumsi tentang superioritas budaya, sejarah, bahasa, seni, struktur politik dan konvensi sosial penjajah serta keyakinan tentang kebutuhan kaum terjajah untuk diangkat melalui persentuhan kolonial. Diskursus kolonial merepresentasikan kaum terjajah sebagai “primitif” dan kaum penjajah sebagai “beradab”.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pada tahun antara 1632-1636 Gubernur Jendral Hindia Belanda Hendrik Brouwer dengan pemahaman ideologi superioritasnya sebagai bangsa Eropa meresmikan pergantian nama Nusa Nipa menjadi Flores. Setelah kurang lebih 100 tahun sebelumnya, sekitar tahun 1512an, julukan itu diberikan oleh para pedagang kolonial Portugis secara sembarangan--hanya berdasarkan rasa kagum pada keindahan pulau yang menurutnya seperti bunga, tanpa berusaha mencari tahu atau mengenali lebih dulu pemikiran-pemikiran penduduk asli yang hidup di pulau itu.

Para pedagang kolonial portugis itu pun kemudian mencatat dan memasukan Nusa Nipa ke dalam peta mereka dengan nama Flores. Ironisnya bukan hanya sekedar membawa Nusa Nipa ke atas panggung "dunia Eropa" saja, tetapi juga memasukannya ke dalam daftar nama tempat yang berpotensi untuk dieksploitasi oleh para kaum penjajah Eropa. Hal ini terbukti dengan masuknya V.O.C ke Nusa Nipa.

Apa maksud dan tujuan antek kolonial Belanda itu sehingga ia merasa penting untuk meresmikan pergantian nama Nusa Nipa menjadi Flores? Apakah itu sebagai salah satu bentuk apresiasi atas keindahan alam Nusa Nipa atau apresiasi terhadap Portugis yang telah menanamkan ide serta gagasan produk kolonial Eropa pada para penduduk Nusa Nipa?

Pada mulanya istilah Flores hanya dipakai untuk menggambar sebuah tanjung yang dianggap menyerupai bunga --bukan menggambarkan keseluruhan pulau seperti ide dan gagasan yang dibuat oleh para nenek moyang Nusa Nipa sebagai jati diri mereka-- yang kemudian menyebar ke seluruh bagian Nusa Nipa. Penyebaran nama Flores tentu saja dilakukan oleh "orang-orang" yang dekat hubungannya dengan antek kolonial eropa itu --bahkan termasuk bagian orang dalam kolonial-- dan merasa memiliki kepentingan tertentu dari balik usaha penyebaran nama Flores di Nusa Nipa.

Sudah tentu bukan penduduk asli Nusa Nipa yang mula-mula menyebarkannya, sebab saat itu mereka merasa sudah memiliki identitas Nusa Nipa sebagai jati diri dan cara hidup bangsanya. Siapakah yang memiliki kepentingan penyebaran nama Flores di Nusa Nipa itu dan bagaimana hal itu dapat berlangsung?

Tahun 1561 Uskup Malaka mengirim empat misionaris Dominikan untuk menyebarkan doktrin ajaran agama Katolik di Nusa Nipa. Penyebaran agama Katolik menjadi semakin besar ketika kekuasaan portugis di Nusa Nipa terdepak oleh Belanda. Melalui penyebaran agama Katolik oleh para misionaris di Nusa Nipa itulah yang membuat nama Flores menyebar, tertanam dan tumbuh subur di hampir seluruh bagian Nusa Nipa.

Para misionaris merasa penting untuk menyebarkan nama Flores di Nusa Nipa karena nama itu lebih cocok dengan tradisi agama Katolik ketimbang Nusa Nipa yang memiliki arti Pulau Ular. Dalam doktrin ajaran agama Katolik meng(iman)i suatu kisah asal muasal manusia turun ke bumi, yaitu karena telah tergoda oleh tipu muslihat iblis yang menjelma jadi ular dan merayu manusia untuk jatuh dalam dosa, sehingga terjadilah permusuhan panjang antara manusia dengan ular.

Begitu pula halnya terjadi dengan istilah Flores/bunga yang merupakan salah satu gelar/julukan yang diberikan kepada Maria Bunda Yesus yang diramalkan akan menginjak remuk kepala sang ular. Hal ini merupakan sifat superioritas kental yang ada dalam pemahaman kolonial kaum penjajah. Kolonial Belanda sangat menginginkan bangsa jajahannya mengagungkan setinggi-tingginya segala bentuk penanaman ide dan gagasan apapun yang berasal dari Eropa untuk mendukung penerapan program hegemoni kolonial mereka.

Sistem kolonial Belanda memiliki pemikiran bahwa untuk mengatur kekuasaannya diperlukan penanaman ide dan gagasan kolonial mereka secara masif terhadap penduduk di wilayah jajahannya. Hal ini menyebabkan apapun yang berasal dari eropa adalah suatu yang agung dalam stigma penduduk asli Nusa Nipa saat itu. Penduduk asli Nusa Nipa dibuat seolah-olah memiliki hutang yang besar dari segi manapun kepada sistem kolonial Eropa Belanda.

Namun ide dan gagasan mengenai nama Flores yang ditunggangi oleh kolonial Belanda dari portugisPitu sangat lemah dibanding landasan pemikiran Nusa Nipa. Nama Flores memang cantik namun rapuh di dalamnya. Kolonial Belanda pun tahu tentang kelemahan itu, sehingga untuk mempertahankan kelemahan itu mereka memagarinya dengan senjata dan militer. Apabila muncul ide dan gagasan yang bertolak belakang dengan apa yang telah mereka tanamkan, maka harus dihapus dan diganti dengan sesuatu yang mendukung gagasan kolonial mereka.

Pada tahun 1904 terjadi puncak perang besar pertama oleh rakyat Sikka yang dipimpin oleh panglima perang Mo'an Teka Iku terhadap pousthoder onderafdeeling (pejabat Belanda) serta antek-anteknya di Maumere, Nusa Nipa. Perang tersebut dipicu oleh penetapan pajak buah kelapa sebanyak empat buah per pohon oleh pousthoder yang dirasa sangat memberatkan para petani, mayoritas rakyat saat itu.

Panglima perang Moan Teka Iku dalam kepemimpinannya menanamkan visi dan gagasannya sebagai buah-buah pemikiran bangsa yang merdeka, yang dapat menentukan nasibnya sendiri di atas tanah airnya sendiri. Visi dan gagasannya terangkum dalam bait-bait sajaknya, yang diturunkan turun-temurun hingga saat ini, berikut adalah beberapa bait dari sajaknya yang dikutip dari buku berjudul "Perang Rakyat flores 1900-1904" karya Paul J. Gessing dengan sedikit perubahan diksi dan susunan kalimat pada terjemahannya:

A'u Teka Iku lame'n Hubin-Wolomude'
A'u leme'n didi dodo e'le' blau e'le' dese'
'Ranin tau nuhu ora ata nian tana gete'
Loning poi bi'an itan rimu tena hama le'te'

(Aku Teka Iku panglima Hubin-Wolomude
Aku panglima visioner tidak takut tidak geser
Berani melawan mereka para bangsa besar
Karena mereka telah menginjak-injak bangsa kita)

Rimu kenang ata bura belanda wawa
Nian rimun tana belanda wawa
Ita ata bi'an tawa tana, teri nora nian tana
Ko rimu ga'i mai hama le'te ita

(Mereka itu bangsa kulit putih belanda sana
Tanah air mereka ada di belanda sana
Kita pemilik tanah air ini, hidup di tanah air ini
Kenapa mereka mau datang lalu menginjak kita?)

Rimu lora nian tana ba'a
Ita di tora nian tana ba'a
Loning apa rimu ga'i huma mole toe' kuasa ita?
Loning apa rimu rupak ita riwa kabor liwut ha?

(Mereka sudah punya tanah air sendiri
Kita pun sudah punya tanah air sendiri
Kenapa mereka mau rampas atas kuasa kita?
Kenapa mereka paksa kita bayar seliwut (4 buah) kelapa?)

Ko rimu hulir lora ata gun nulun weta
Tena tutur tone'n 'ita ata bi'an ei dunia
Bura di pare' me'ran di pare', loka doka hama-hama
Bura me'ran pare', loka dokang hama-hama

(Apa mereka lupa nasehat para leluhur tua
Agar manusia saling belajar-mengajar di dunia
Putih itu beras, merah juga beras,
sama-sama bisa jadi emas
Beras putih maupun merah,
sama-sama tampil di medan laga)

Pasukan perang Mo'an Teka Iku bukan hanya bersenjatakan tameng dan parang, namun juga dengan landasan visi dan gagasan yang kuat sebagai cita-cita bangsa yang merdeka. Efek dari visi dan gagasan inilah yang telah memicu ledakan perang di sepanjang tahun 1904 itu.

Saat itu semua orang pun tahu bahwa perjuangan pasukan Mo'an Teka Iku pasti dengan mudah dilumpuhkan oleh pasukan bersenjata Belanda, dilihat dari segi kuantitas pasukan dan cadangan senjata. Namun sekali lagi dapat dikatakan pemerintahan kolonial Belanda menyadari ketidakmampuannya melumpuhkan cita-cita dari visi dan gagasan Mo'an Teka Iku tentang kehidupan merdeka yang telah membentur pemahaman dalam peraturan kolonial mereka.

Ketakutan terbesar kolonial Belanda ini menghasilkan sebuah telegram yang dikirim ke G.G. Rooseboom di Batavia yang meresponnya dengan mengirimkan kapal De General Pel dari Batavia ke Maumere sebagai balabantuan dan diikuti kapal Pelikan residen Kupang pada bulan Mei 1904. Tujuan mereka melumpuhkan kekuatan pasukan Mo'an Teka Iku tidak berhasil. Hingga mereka menggunakan tipuan klasik yaitu jebakan perundingan dan penghianatan yang biasa dipakai oleh iblis untuk melumpuhkan lawannya dalam doktrin ajaran agama Katolik kepada Mo'an Teka Iku.

Tidak berhenti sampai di situ, untuk menghapus ingatan rakyat dari visi dan gagasan yang diperjuangkan oleh Mo'an Teka Iku, dibuatlah sebuah dokumen catatan sejarah perang rakyat yang ditulis oleh Br. Petrus Laan, SVD yang menggambarkan sosok Mo'an Teka Iku sebagai seorang penjahat dan pemberontak. ia digambarkan telah melakukan perbuatan keji dan merugikan rakyat. Gamnbaran lainnya adalah memposisikan tentara kolonial Belanda dan para raja-raja penjilat dan penghianat sebagai sosok pahlawan yang telah menyelamatkan rakyat Maumere. Berikut salah satu kutipannya:

Ketika kapal Pelikan tanggal 27 Mei tiba di Maumere, Kailola bersama raja Nita dan raja Nai naik ke kapal untuk perundingan. Setelah raja Nai memberi salam kepada residen dia mendapat giliran pertama untuk berbicara. Nai lalu bercerita, bahwa Teka Iku kemarin mengancam Mo'an Tupat, salah seorang dari kepala-kepalanya. Nai berkata kepada Tupat: hati-hati terhadap anakmu sendiri dan terhadap anaknya Teka Iku. Nai menerangkan pula bahwa kampung-kampung mereka berdekatan. Teka Iku punya Hubin dan Wolomude, dan kami berada di Habi, di mana kami punya 100 orang siap tempur dan sekitar 50 bedil. Hubin, Wolomude dan juga Habi ambil air di pantai Waioti. Saya sekarang ada berita bahwa Teka Iku tinggal di Baluele dan Halat. Sejak permulaan dari pemberontakan ini saya sendiri tidak pernah berbicara dengan Teka. Memang dia telah mengirim seorang untuk menanyakan apakah saya mau turut bersamanya, akan tetapi saya telah katakan bahwa saya takut kepada "Companie". Lalu Teka Iku mengajak saudara saya Roa, tapi Roa juga tidak mau.

Dari sini kita bisa lihat sikap para raja-raja pribumi bentukan kolonial Belanda, sangat penjilat dan penghianat rakyat. Mo'an Teka Iku adalah sosok pemimpin murni yang dilahirkan, bukan pemimpin hasil bentukan kolonial Belanda. Begitu juga berlaku dengan nama Nusa Nipa yang telah dilahirkan oleh bumi Pertiwi, bukan nama Flores yang telah dibentuk paksa oleh kaum penjajah kolonial eropa.

Saya tahu akan ada hati yang resah dan tak terima atas tulisan saya ini. Bila itu terjadi padamu, maka ambillah pena dan tulislah!

Sebab aku, Putera Naga Sawaria, menantikanmu di medan laga!

 

Waning Ata Lamen.....!!!

Ikuti tulisan menarik Jerpis M. lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu