x

Keterbatasan akses ruang untuk difabel

Iklan

Inggrit Anggraeni

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 10 November 2022

Jumat, 11 November 2022 12:55 WIB

Harapan Tak Sesuai Realita: Kondisi Nyata Fasilitas Umum Bagi Para Difabel

Keberadaan masyarakat difabel sama dengan keberadaan masyarakat lain, mereka ingin merasakan apa yang kita rasakan. Mereka juga ingin dianggap setara dengan masyarakat lainnya. Oleh karena itu, segala jajaran yang memiliki otoritas dalam membangun sarana dan prasarana umum, perlu memahami konsep empati yang benar agar mereka juga bisa merasakan apa yang kita rasakan tanpa adanya perbedaan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Fasilitas umum merupakan sarana dan prasarana yang disediakan pemerintah untuk
kepentingan umum dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari. Seluruh masyarakat bisa
menggunakan fasilitas umum yang tersedia seperti jalan raya, trotoar, akses pelayanan publik
dan lain-lain. Namun, tidak semua orang dapat mengaksesnya dengan mudah. Contohnya
bagi penyandang difabel harus disediakan sarana penunjang untuk dapat mengakses fasilitas
umum atau aksesibilitas yang disediakan untuk mewujudkan kesamaan kesempatan.

Aksesibilitas ini dapat berupa adanya tempat parkir khusus difabel, ramp, dan toilet khusus
penyandang difabel. Ari Handoko (34) sebagai salah satu narasumber yang tinggal di
Kecamatan Patrang, Kabupaten Jember yang merupakan penyandang difabel mengatakan
bahwa sarana dan prasarana yang tersedia sudah cukup bagus namun masih kurang
maksimal. Pada tempat umum seperti masjid, bank, dan tempat pelayanan publik di Jember
ini belum ada jalur khusus bagi penyandang difabel sehingga mereka kesulitan saat ingin
mengakses beberapa tempat tersebut.

Pada masalah ini terlihat jika keseriusan pemerintah setempat dalam memberikan
akses bagi para penyandang difabel sudah sedikit lebih baik dari tahun sebelumnya,
walaupun kadangkala sering mengabaikan suatu sistem keberlanjutan yang harus
diperhatikan untuk mendapatkan kenyamanan dan keamanan dalam jangka waktu yang cukup
panjang.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ari Handoko merupakan seorang difabel yang kesehariannya bekerja di tempat usahanya sendiri yaitu warnet, dengan keterbatasan kaki kanannya yang lumpuh membuat ia mengharuskan untuk menggunakan alat bantu berupa tongkat yang ia gunakan untuk menunjang aktivitasnya sehari-hari. Walaupun kondisinya tidak separah dibanding para penyandang difabel berat lainnya, akan tetapi apa yang dirasakan Ari Handoko masih jauh dari rasa nyaman ketika menikmati fasilitas umum.

Seperti yang dikatakan Ari Handoko dalam wawancara yang kami lakukan, “Untungnya kaki kanan saya masih bisa menahan, jadi ga terlalu susah untuk naik-turun tangga. Tapi yang paling menakutkan itu ketika tangga yang ga ada pegangannya sama sekali. Wah, itu serem banget.”

Seharusnya pemerintah bersama masyarakat tanpa diberitahu pun dalam membangun fasilitas umum harus sudah memerhatikan para penyandang difabel. Pandangan ini melihat seakan-akan keberadaan para penyandang difabel masih kurang diperhatikan dan berada setingkat di bawah masyarakat non-difabel.

Menurut Derrida sebagaimana yang diuraikan Christopher Norris dalam buku Membongkar Teori Dekonstruksi Jacques Derrida,  pemikiran yang dimaknai dengan adanya sesuatu yang unggul dan yang rendah maka makna tersebut akan mempengaruhi gaya berpikir masyarakat (Norris, 2017).
Hal tersebut berarti bahwa masih banyak masyarakat yang memandang para penyandang
difabel dengan pandangan yang rendah dan seolah-olah tidak memiliki nilai di masyarakat.

Sehingga salah satunya adalah bentuk kurangnya perhatian dalam pembangunan sarana dan
prasarana dalam menunjang aktivitasnya sehari-hari. Inilah yang kemudian menjadi cikal
bakal lahirnya sikap deskriminatif seseorang terhadap orang yang lebih rendah, salah satunya
adalah penyandang difabel. Hal ini juga terlihat dari bagaimana fasilitas yang dibangun
seolah-olah mengabaikan keberadaan mereka.

Masalah ini tentu kian meruncingkan segala isu yang hadir di tengah publik mengenai
anggapan terhadap teman-teman difabel, terutama bagaimana cara pemerintah setempat yang
hanya membangun fasilitas sarana dan prasarana tanpa harus memerhatikan keberlanjutan
dan keefektifan dari bangunan tersebut. Ditambah lagi dengan beberapa bentuk bangunan
yang terdapat di Kecamatan Patrang memiliki bentuk bangunan yang tidak ramah untuk
penyandang difabel. Tentu ini menjadi tugas pemerintah setempat untuk mengedukasi
pemerintahan yang ada dibawahnya agar membangun segala sarana dan prasarana yang
ramah untuk difabel juga memerhatikan keberlanjutan dan keefektifan dari bangunan
tersebut.

Sehingga harapan kedepannya adalah selain fasilitas umum yang dapat dirasakan oleh
masyarakat difabel juga terdapat hal-hal kecil yang perlu diperhatikan oleh pemerintah
setempat dalam menyediakan akses bagi para penyandang difabel. Keberadaan mereka sama
dengan keberadaan kita, mereka ingin merasakan apa yang kita rasakan. Mereka juga ingin
dianggap setara dengan masyarakat lainnya. Oleh karena itu, segala jajaran yang memiliki
otoritas dalam membangun sarana dan prasarana umum, perlu memahami konsep empati
yang benar agar mereka juga bisa merasakan apa yang kita rasakan tanpa adanya perbedaan. 

Penulis:

Ahmad Rifqi (200910302126)
Mita Indriani (200910302101)
Maria Saraswati (200910302062)
Syaphira Happy (200910302049) 

 

Ikuti tulisan menarik Inggrit Anggraeni lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler