Ketika Kronik ada dalam catatan.
Cinta menjadi warna warni. Cahaya tak mampu memilih keluasan nurani kasih sayang.
Lantas langit seolah olah mencipta mendung. Angin, menderu ombak, menghempas suara debur, menyala magma.
Hitam ataupun putih, tak mampu membedakan makna cuaca. Badai terlanjur amuk.
Oksigen sembunyi di saku baju. Sulit menembak praduga. Apakah berada di saku kemodernan, kontemporer atau di saku eksentrik ke.isme.an.
*
Akalbudi tak mau ikut campur ketika hakikat, makrifat, dibendung teknologi bayangan maya, agar, tak mencapai mufakat pencipta maaf, menyalakan ikhlas.
Stigma berkacak pinggang.
Siklus hidup simpangsiur, berpola serupa isme matematis, seolah olah masif sebagai ruh inti.tekno penentu hidup mati zat atom isme alamiah selaku unsur penghidup partikel jagat raya.
*
Hal ihwal berada, di antara, dualisme waktu tempuh. Itu sebabnya pula, tak mampu memilih embun di daun daun.
Padahal telah dituliskan oleh nurani semesta aksara kebijaksanaan, alfabetis analog kemaslahatan.
Kekuatan teknologi Ilahiah senantiasa bersemayam dalam ruh di badan. Absolut, tak terbantahkan, tak bisa dirubah oleh diktum isme apapun.
*
Harapan, senantiasa mampu, menentukan, makna hidup.
Polusi plastik tidak boleh didaur ulang. Untuk menyambut kelahiran sang fajar, di pusaran pusat zikir alam raya.
**
Jakarta Indonesiana, November 15, 2022.
Ikuti tulisan menarik Taufan S. Chandranegara lainnya di sini.