Kau perempuan dengan tatto di punggung kanan
Jam di pergelangan tanganku menunjuk angka 23.45 ketika hujan jatuh, cukup deras. Angin datang berebut, menambah ribut sepi di kepalaku.
Kau perempuan dengan tatto di punggung kanan, serupa jelaga tipis namamu dalam ingatan.
Percakapan-percakapan kita terlalu panjang untuk malam yang pendek. Tetapi rupanya aku telah mengenalmu jauh sebelum ingatan menyadarinya. Mungkin aku tak lupa, hanya saja terkadang ada hal-hal yang kulewatkan sepanjang perjalanan. Entah aku yang tak peduli atau memang hidup sengaja menyembunyikanmu terlalu jauh dari pandanganku.
Kau perempuan dengan tatto di punggung kanan, sedekat apa rindu-rindu kita?
Di pintu, segala kenangan tinggal. Di ruang tunggu pertanyaan demi pertanyaan tanggal. Di jendela ingatan terbang melayang pergi, yang mungkin akan pulang tetapi tak tepat waktu.
Kau perempuan dengan tatto di punggung kanan, sebelum anganku membentur dinding nyatamu, mari kita berbincang sekali lagi.
Di beranda belakang kita akan habiskan malam bersama hujan. Kau dengan dua sendok teh kopi hitam dan tiga sendok teh gula, aku dengan pahit kopi Toraja. Bagaimana, kau suka?
***
Katamu
Katamu, "Jangan meributkan jarak. Cinta bukan hanya itu, tapi.." tak diselesaikan kalimatnya, seperti tercekat di kerongkongan. Lalu memelukku erat. Lalu mengecup dahi, pipi, bibir. Tentu saja yang terakhir lebih lama dari yang lainnya.
Katamu, "Jarak adalah prasangka. Menebak-nebak isi kepala dan dada. Apakah aku memikirkanmu seperti kamu memikirkanku. Sampai kita sepakat, kita adalah sepasang bayang-bayang yang hanya membutuhkan satu cahaya untuk menyala, cinta."
Katamu, "Jangan terlalu banyak bertanya, aku tak sanggup menjawabnya. Cukup katakan padaku, kamu mau menunggu." aku mengangguk lalu tenggelam dalam pelukmu.
Katamu, "Rindu itu kamu, Dien. Dimulai dari percakapan demi percakapan yang mengalir setelah kamu bertanya tentang makanan yang asing di lidahmu. Dari pertanyaan-pertanyaan sederhana seperti, "Hey, makan siangmu apa?" Dari beberapa pertemuan yang direncanakan semesta, dari.." lagi-lagi kalimatmu terhenti. Lalu memelukku, kali ini lebih erat lagi.
***
Ikuti tulisan menarik Dien Matina lainnya di sini.