x

Sumber ilustrasi: wallpaperaccess.com

Iklan

Aslan Rakhan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 9 Agustus 2022

Minggu, 4 Desember 2022 20:24 WIB

Dendam Hujan


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Hujan, pernahkah kalian berpikir akan diberi nama Hujan? Entah apa yang ada di pikiran Ibu saat memberiku nama Hujan. Nama yang membuatku sering diejek dan dianggap anak yang tidak diinginkan sehingga diberi nama yang jelek. Dan entah ada atau tidak hubungannya, hidupku selalu dipenuhi hujan, hujan air mata setidaknya.

Terlalu banyak hal yang membuatku menangis, hingga rasanya aku bosan mengalirkan air mata. Dan aku lalu menjadi muak, memaksa diriku pada akhirnya untuk berhenti menangis. Terakhir aku menangis 15 tahun silam, saat usiaku genap 10 tahun. Tangisan yang membawaku ke sini, ke tempat di mana aku mengumpulkan kenangan buruk itu dan meledakkannya pada satu titik yang bisa menghancurkan semua yang pernah melukaiku.

Perempuan muda itu merintih dalam sakit, menatapku dengan marah sekaligus memohon.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Arrrgh!!!

Dia membuatku muak. Muak yang menumpuk menjadi kebencian sejak lama. Untuk apa dia memohon padaku sekarang?? Bukankah dulu dia selalu merasa punya hak atas semua yang kulakukan? Bahkan nafasku dia pikir adalah miliknya.

Perempuan muda ini, yang meringkuk ketakutan di hadapanku, pernahkah dia memikirkan bahwa apa yang dia lakukan di masa kanak-kanaknya-lah yang telah membawanya ke sini? Perlakuan masa kanak-kanaknya yang telah memupuk bibit  kemarahan di hatiku menjadi pohon rindang kebencian. Kebencian yang bersalut dendam.

Dulu, akulah yang ada di posisinya sekarang. Menatap penuh ketakutan dengan perut keroncongan dan dahaga luar biasa. Apa dia pernah tahu saat itu? Sekarang dia pasti tahu rasanya menjadi aku yang dulu.

Hujan, akulah hujan yang menurut Ibu adalah rahmat paling indah dari Tuhan. Hujan akan membawa kesuburan bagi tanah, menumbuhkan pepohonan. Memberi air pada binatang dan manusia. Tapi aku adalah hujan yang marah, hujan deras yang ingin menghanyutkan apa saja, melantakkan semua yang menyakitiku. Membanjiri kota dengan dendam. Aku hujan yang memeluk badai dan tornado, hujan yang tak bisa dihentikan dengan rekayasa apapun. Aku hujan yang hanya akan berhenti jika Tuhan berkehendak.

Aku, Hujan yang terlahir dengan dan untuk begitu banyak air mata. Ayahku penjudi dan pemabuk yang bahkan bisa membakar istrinya demi uang untuk berjudi. Ibuku, perempuan yang terlalu dalam cinta hingga membiarkan dirinya menjadi samsak hidup bagi suaminya. Membiarkan laki-laki itu memperlakukannya seperti kucing buduk yang bau, ditendang ke sana kemari saking tidak diinginkannya.

Ibu, yang hanya menahan sakit saat tubuhnya disayat oleh suaminya yang kalap karena kalah berjudi. Ibu yang terpaksa menahan tangis saat tubuhnya dijamah laki-laki lain karena suaminya telah telah menjualnya demi modal berjudi dan mabuk. Ibu, yang pada akhirnya harus hidup hingga akhir hayatnya di penjara karena pisau yang digunakan ayah untuk melukainya tak sengaja justru menusuk jantung laki-laki itu.

Keluarga laki-laki itu tak terima, jelas saja. Mereka menuding Ibu sebagai pembunuh berencana. Dan pengadilan pun menafikan kesaksianku, bocah 6 tahun yang menurut mereka hanya berkhayal. Mereka tak peduli dengan bekas sundutan rokok, setrika panas, dan sayatan-sayatan di sekujur tubuh Ibu dan aku. Bekas yang ditimbulkan karena penyiksaan selama bertahun-tahun oleh Ayah. Mereka tak peduli tangan Ibu yang lumpuh karena bahunya dihujani pukulan dengan balok kayu oleh laki-laki itu.

Keluarga Ayah dan pengadilan, membutakan mata terhadap semua fakta dan kesaksian. Bagi mereka itu tetap berencana. Dan aku terpaksa menelan semua fitnah itu, hanya bisa menangis marah saat Ibu divonis penjara seumur hidup. Mereka semua bersorak, setan-setan dalam diriku pun ikut bersorak ingin membunuh semua yang menyakiti dan menghina Ibu.

Di saat itu pikiran kanak-kanakku yang marah belajar, Tuhan tidak memberi keadilan saat kau membutuhkan. Aku akan mencari keadilan sendiri dengan caraku sendiri.

Sejak Ibu di penjara aku tinggal dengan Mak Tuo, kehidupan yang mungkin lebih buruk dari penjara bagi Ibu. Jika diberi kesempatan aku akan memilih tinggal di jalanan ketimbang bernaung dalam rumah yang lebih kasar dari jalanan ini. Mak Tuo dan Pak Dang sangat menyayangiku, tapi itu mungkin yang membuat anak-anak mereka membenciku. Mereka merasa wilayah kasih sayang mereka berkurang karena kehadiranku. Merasa jatah makanan mereka berkurang karena aku ada di antara mereka.

Anak-anak Mak Tuo tak akan mengizinkanku menyentuh makanan apapun jika Ibu mereka tidak ada. Yang bungsu, hanya berjarak tiga tahun dariku, adalah yang paling bengis.

Dan perempuan muda yang sekarang meringis di pojok itu, dialah Si Bungsu. Dia yang dulu selalu meninggalkan bekas biru di hampir semua tubuhku. Dicubit, ditendang, dipukul, dijambak sudah biasa bagiku. Dijejali makanan busuk atau makanan yang tidak disukainya. Jika aku menolak, dia akan menjambak dan mengikatku agar tak bergerak dan menyumpalkan makanan itu ke mulutku. Atau makanan sisa jika dia sudah hampir muntah karena kenyang, itulah jatahku.

Jangan sentuh mainannya, tapi semua barang milikku adalah miliknya. Jika aku mengambilnya kembali maka aku akan terlempar ke sudut dengan punggung memar. ARRGH!! Aku benci jika harus mengingat  semua kekejiannya, kekejian yang hanya seharusnya tak akan mampu dilakukan oleh anak berusia 10 tahun.

Aku Hujan, yang hari ini membawa badai siklon. Perempuan muda itu, merintih seperti apapun, tak akan menyisakan secuil pun rasa iba  dalam batinku yang porak poranda. Aku menyayangi ibunya, sudah kubalas semua kebaikan mereka selama 4 tahun yang seperti neraka bagiku. Empat tahun yang berpuncak pada rasa muak yang tidak berbatas.

Malam itu, Si Bungsu kehilangan bando mahal, entah bagaimana si bando bisa patah. Dan tentu saja aku tertuduhnya. Caci maki dan pukulan menderaku, kami bergulat dan dia terjerembab saat mencoba memukulku dengan kayu. Jatuh dan patah gigi. Sekalipun kakaknya tahu apa yang terjadi, jelas tidak akan ada pembelaan untukku. Bukankah sudah kukatakan bahwa keadilan bukan untuk orang-orang yang benar tapi untuk orang yang berkuasa.

Seisi rumah mengarahkan telunjuk mereka padaku, “Tak tahu diri, tak tahu terima kasih. Dasar anak pembunuh,” dan banyak lagi.

Cukup!!

Aku hanya diam, menitikkan- sekali lagi air mata kemarahan sekaligus ketidakberdayaan. Dan memilih menjauh dari mereka semua. Aku kembali 15 tahun kemudian pada mereka dalam bentuk uang. Kukirimi mereka setumpuk uang dan tiket haji untuk Mak Tuo dan Pak Dang.

Dan khusus hari ini aku kembali untuk Si Bungsu. Ini hanya antara kami. Dia tidak akan mengenaliku dalam lensa biru ini. Tapi dia akan terkejut saat wig blondie ini kubuka, nah lihat dia sekarang, matanya membola saat menyadari akulah yang ada di hadapannya. Dia merintih saat melihat cambuk di tanganku, merintih dan memohon. Berhenti memohon! Aku muak dengan itu.

"Jangan menjerit, seperti kau dulu membekapku saat memukul, menendang dan menjambakku agar ibumu tidak tahu kekejamanmu itu. Jangan menangis, aku benci suaramu yang dulu selalu menghardikku," aku sungguh tak mampu menahan kemarahan yang meledak seperti lahar di dalam diriku.

Semua bayangan kekejian masa kecil itu membuatku tak bisa berhenti. Perempuan itu meringkuk dengan ratusan bekas cambukan, penuh luka dan merintih. “Kau tahu? Itulah yang kurasakan selama 4 tahun, apa kau ingat semua itu?” aku menatapnya saat berjongkok di hadapan wajahnya bersimbah air mata. “Kau harusnya senang hanya merasakannya selama 1 jam saja, aku merasakannya selama 1460 hari, belasan ribu jam, bisa kau bayangkan?” bisikku.

“Maafkan aku, Hujan.”

“Terlambat! Dendamku tak akan mengering hanya karena air mata dan maafmu.”

“Hujan, jangan pergi. Lepaskan aku, Hujan…. Hujan!!!”

"Berusahalah melepaskan dirimu sendiri seperti aku berusaha melepaskan diriku dari rasa sakit yang kau ciptakan belasan tahun lalu," ujarku seraya melangkah menjauh.

Aku, Hujan yang membadai. Masih banyak yang harus kulakukan untuk Ibu yang harus menempuh sisa hidupnya dalam kesakitan yang teramat sangat. Ibu yang harus pergi dalam rasa sakit yang tak tertahankan, seluruh luka di tubuh dan batinnya telah membuatnya menyerah. Tuhan mengambilnya dariku sebelum Ibu mendapatkan keadilan.Hari ini aku memberinya keadilan, dengan caraku sendiri.

Laki-laki itu tak mengenaliku, tentu saja. Dia hanya beberapa kali melihatku, dengan enggan dan terpaksa. Separuh jijik menatap bocah perempuan 6 tahun yang penuh luka sayatan dan sundutan rokok, yang berlumuran  ingus dan air mata, menjerit meneriakkan “Ibuku tak bersalah, Ibuku bukan pembunuh!” berkali-kali dan lalu diseret petugas keluar sementara dia hanya menatap bosan.

Menatap koran-koran yang berserakan di kakinya yang terikat, dia menoleh padaku. “Kau….”

“Ya, akulah bocah perempuan itu. Bocah pengkhayal yang hanya bisa menangis atas ketidakadilan vonismu 15 tahun lalu.”

“Nak, itu kesalahan… yang kusesali seumur hidupku,”

“Anda sesali? Lalu kenapa, kenapa Anda biarkan seorang ibu menderita dalam penjara karena kesalahan dan kenaifan Anda?! Kenapa bahkan Anda biarkan dia meninggal dalam fitnah yang Anda legalkan secara hukum?!” laki-laki itu tersentak ke belakang, kursi tempat dia terikat berderit dan terhuyung.

“Anda tahu Tuan Hakim? Berapa banyak kesakitan yang harus kutahankan selama bertahun-tahun karena kebohongan vonis Anda? Karena kebutaan Anda pada keadilan dan kebenaran. Karena ketamakan Anda akan uang, saya harus kehilangan ibu, kehilangan masa kecilku, dan kehilangan perlindungan. Apa Anda pernah berpikir jika itu terjadi pada anak dan cucu Anda?!”

“Sungguh, aku menyesalinya….”

“Terlambat! Anda sudah membuat Ibu saya menderita lebih dari yang diberikan laki-laki itu. Karena keputusan Anda, Ibu saya meninggal dalam fitnah yang tak bisa dijernihkan hingga sekarang. Katakan, coba jelaskan bagaimana Anda bisa memperbaiki semua itu?”

“Aku bisa membuka lagi kasusnya, dan mengubah vonisnya….”

Brak!! meja itu hancur berkeping di kakinya, bibirnya bergetar menatapku.

“Harusnya Anda mendengarkan saya saat itu, harusnya Anda tepis tumpukan uang yang disodorkan keluarga laki-laki itu, harusnya… Anda lihat semua bekas luka di tubuh Ibu saya. Harusnya, Anda dengarkan nurani Anda, tetapi Anda memilih uang. Sekarang Anda bisa bilang memperbaiki semua itu? Dengan apa? Menjelaskan semuanya pada media dan keluarga laki-laki itu? Terlambat, mereka semua sudah berkeping-keping seperti hidupku dan Ibu. Mereka semua sudah hancur seperti masa kecilku, bersama bom yang kuledakkan dua  hari lalu.”

Lihat matanya yang terbelalak itu, begitu ketakutan. Aku tertawa dalam desisan, “Kenapa, Anda terkejut? Tidak pernah berpikir bahwa aku mungkin akan melakukannya atau Anda lupa pada anak kecil ingusan itu? Dendam mengubah kehidupanku Tuan Hakim, dendam membuatku kuat dan belajar banyak hal.”

“Kau tidak bisa melakukan ini padaku,” ujarnya lemah.

“Kenapa tidak?” aku tersenyum mengejek, senang melihat matanya yang ketakutan. “Anda yang terakhir persekongkolan 15 tahun lalu itu, keluarga laki-laki itu, pengacaranya semua sudah tenang dalam neraka. Anda yang terakhir karena aku ingin kau dapat perlakuan istimewa.”

“Kau tidak bisa….”

“Kenapa tidak?! Tentu saja aku bisa!”

Setiap rintihannya memberiku obat atas luka masa lalu, tapi tak lagi bisa menyembuhkan. Aku Hujan, yang meninggalkan bekas luluh lantak atas semua kesakitan. Laki-laki itu kutinggalkan seperti aku meninggalkan Si Bungsu. Tapi dia tidak akan ditemukan, sebelum turun aku sudah mengatur kemudi otomatisnya menuju tempat paling berbahaya di lautan Pasifik. Dia akan berakhir di sana, berakhir seperti Ibu.

Ibu, bahkan makammu pun terlihat menderita. Aku sudah melepaskan semuanya, melepaskan semua dari hatiku sejak sekarang. Entah apakah itu bisa menenangkanmu. Apa kau bertemu mereka di sana, Bu? Apa yang mereka katakan padamu? Aku Hujan, yang mencuci semua luka dengan luka, membasuh semua dendam dengan kekejian yang sama seperti yang kurasakan dulu. Aku Hujan, yang telah melantakkan semua dengan badai kemarahan.

 

(Cerpen ini telah saya publish di ainibakhtiar.wordpress.com pada tanggal 8 Agustus 2016)

Ikuti tulisan menarik Aslan Rakhan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terkini

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB