Sudah 50 tahun terlampaui ketika aku mendengar tangismu di ujung senja. Dulu kukirimi engkau sejumput rindu, engkau balas dengan seutas senyum di tebing cadas, Ketika kulukis segumpal keluh di tepian kali, tak ada baris kalimat dari sela gigi emasmu. Bahkan air sungai tampak bergegas meninggalkan batu.
Semalam kulihat cahaya matamu terjepit di sela jendela samping rumahmu. Air mata itu membasahi engsel berkarat, berderit menyayat saat kau tarik dengan sisa tenagamu. Dadamu bertalu, mendorong nafas tersengal yang berebut keluar satu per satu. Kuulurkan tangan ke arahmu, engkau menghilang ke dalam bayanganmu, mengayuh kano di kelok sungai bawah tanah.
Aku hanyalah pagar-pagar bambu tanpa akar, kaki-kaki yang terus dimakan tanah. Keropos dalam ketegaran pura-pura. Jika engkau masih mendengar nafasku itu hanyalah sisa pengharapan, yang pernah kulukis di dinding perdikan. Jika engkau masih melihat tapakku di samping surau tak lain jejak putus asa yang belum sempat kukuburkan.
Teruslah menari di atas kabut kelam, tak usah kaulipat bentang sayapmu. Aku hanya ingin mengucap salam, bukan hendak menimang cintamu. Cukuplah aku merengkuh aroma tubuhmu yang tertata rapi dalam otakku. Tak perlu bersembunyi: kau tak salah langkah, aku yang tak tahu arah. Kau tak pernah ingkar janji, aku yang tak berani memenuhi. Kau berlari menujuku, aku yang berlari menjauhimu.
Lampung, 2022
Ilustrasi: martina_bulkova/Pixabay
Ikuti tulisan menarik Mukhotib MD lainnya di sini.