x

Pinterest

Iklan

Dien Matina

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 9 Agustus 2022

Selasa, 13 Desember 2022 20:38 WIB

Percakapan Imajiner (16)


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kota di kepalamu 1 

 

Singkatnya begini, suatu waktu hidup membawaku ke sebuah kota di kepalamu. Sibuk sekali. Mimpi-mimpi menjulang tinggi, lebih tinggi dari cemara-cemara hutan yang berdiri sembarang. Tetapi beberapa ruang kau biarkan sepi penghuni. Kurasa kau ingin membebaskan segala termasuk kata-kata. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Diam-diam aku melihatmu, menyimpan potongan senja di saku baju, potongan yang lain kau sembunyikan di buku-buku, laci meja, di gambar-gambar dan di balik pintu. 

Aku melihatmu, menertawakan kerumitan yang ditawarkan hidup. Kau bilang, "Bodoh itu dibuang, bukan disayang!" 

Sementara yang lain sedikit bertanya banyak prasangka. Ah begitulah orang-orang, hanya ingin mengetahui dan mendengar apa yang ingin mereka ketahui dan dengar saja. 

Aku melihatmu, sibuk merapikan file-file hidup. Banyak yang kau buang, banyak juga yang kau biarkan tergeletak di kebun belakang. Beberapa kau pajang di dinding, tumpang tindih dengan ingatan-ingatan yang enggan dihapuskan. 

Baiklah, sebelum gemerincing genta, derit pintu dan langkah kakiku mengejutkanmu, aku sudahi mengunjungi kota di kepalamu. Jika semesta sepakat aku akan datang tiga hari lagi, membawakanmu potongan pagi, hangat mentari dan secangkir kopi Merapi. 

Lantas sepanjang perjalanan pulang, hidup tak menjawab apa-apa ketika kutanya, adakah yang lebih absurd dari pikiran-pikiranku tentangnya.

 

 

***

 

 

Kota di kepalamu 2 

 

Hey, aku belum lagi sempat mengunjungi kota di kepalamu. Padahal aku ingin tahu sudah seberapa tinggi cemara-cemara di halaman yang kau tanam sembarang itu. Kelak, jika telah setinggi mimpi-mimpi, kau tidak hanya bisa menyimpan potongan senja tapi juga akan menyimpan bulan. Sebab ia akan tersangkut di reranting cemara, lalu redup cahayanya jatuh di jendela kamar yang membawa serta siluet ganjil kecemasan. ⁣⁣⁣⁣ 

⁣⁣⁣⁣Iya, mungkin itu nanti, suatu hari yang entah kapan. ⁣⁣⁣⁣ 

Sesekali aku berencana tak merencanakan apa-apa. Menikmati setiap alur dan alirnya, bersenang-senang dengan diri sendiri, tak terburu-buru atau mengejar sesuatu, atau duduk diam memandang apa-apa yang terlihat dari jendela kereta yang membawa rinduku bersauh, jauh. ⁣⁣⁣⁣ 

⁣⁣⁣⁣Tapi sialnya tiba-tiba aku menghayal—kau datang seraya berkata, "Bagaimana bisa kau lebih memilih pergi daripada aku?" ⁣⁣ 

Sialnya lagi, bahkan menyebut nama sendiri saja aku lupa ketika kasir kedai bertanya pesanan kopi atas nama siapa, aku menyebut namamu. 

Ah sudahlah, ini cukup. Sebaiknya aku segera berkemas, sepi sedang menunggu di depan pintu. Katanya, "Mari bersulang, sayang, merayakan hidup sambil sesekali memesan mimpi. Ya setidaknya bisa kita nikmati sendiri."

 

 

*** 

 

 

Ikuti tulisan menarik Dien Matina lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler