Portal
Jumat, 16 Desember 2022 16:33 WIBSebuah cerpen.
Kupacu sepeda motorku lebih cepat, sebab sebentar lagi senja datang sedangkan rumah Ratih masih cukup jauh.
Tak kukira bahwa untuk sampai ke rumahnya mesti melewati jalan yang sukar dan terjal seperti ini. Ia pernah bilang bahwa rumahnya hanya daerah pelosok saja. Saya pikir ia hanya sekedar merendah diri, tapi ternyata benar-benar pelosok.
Sinyal ponselku sudah tak berfungsi sejak tadi. Aku lihat di sekeliling pun lampu-lampu rumah penduduk tak nampak. Memang benar ternyata, kalau di daerahnya listrik belum masuk.
“Rumah saya masih daerah pelosok sekali, Mas. listrik belum masuk. Kita masih memakai sumber penerangan alami seperti lampu petromak saat acara-acara besar. Dan untuk penerangan setiap hari kita masih memakai lampu teplok atau obor,’’ katanya kepadaku tempo hari ketika aku mengatakan ingin ke rumahnya.
“Saking pelosoknya daerahku, di dalam peta atau gps tak ada, Mas,” lanjutnya lagi.
Tentu berdasarkan pengakuan itu membuat aku semakin penasaran. Di jaman serba digital ini, mendengar ada desa yang seperti itu tentu membuat jiwa petualanganku bangkit.
Aku memang punya jiwa petualang yang tinggi akan tempat-tempat semacam itu. Maka itulah aku masuk di komunitas-komunitas pendaki gunung.
Ratih adalah teman kampusku yang sama-sana masih di semester awal. Aku baru mengenalnya sekitar satu bulan yang lalu. Karena sifatnya suka menyendiri dan pendiam itulah yang membuat aku tertarik untuk mengenalnya lebih jauh lagi. Sekali lagi rasa ingin tahuku yang berbicara.
Tentu karena dia juga cukup cantik di mataku.
Maka itulah ketika fakultas kami di umumkan libur selama dua minggu, aku berniat main ke rumahnya sekaligus menuntaskan rasa penasaranku akan daerahnya yang katanya pelosok itu.
Sebenarnya ingin bareng saja, tetapi beberapa hari yang lalu aku tengah ada kegiatan dengan teman-teman di komunitas pendaki. Akhirnya ia pulang duluan dengan naik angkutan yang entah apa. Sebab dari tadi saya tidak menjumpai kendaraan-kendaraan umum seperti bus atau semacamnya. Hanya motor-motor dan sesekali mobil pribadi.
Dia hanya memberitahukan kepadaku ancer-ancer jalan ke rumahnya. Dan berkat tanya sana-sini, sampailah juga kini aku di jalan menuju daerahnya.
Jalanan ini lebih mirip jalan setapak, meski agak lebar. Yang jika dua kendaraan saling bersimpangan mesti pelan-pelan, sebab di bawahnya terhampar jurang yang cukup curam.
Motor aku lambatkan sebab di depan ada mobil lawan arah. Kulirik sekilas pengendara mobil pick up itu, Dia tersenyum, AKu pun ikut tersenyum sembari menundukkan kepala sedikit.
“Mas, desa Kedung Wingit masih jauh, kah?” tanyaku kepada pengendara pick up abu-abu itu ketika kami saling bertatap mata. Sekalian aku bertanya.
“Lurus terus saja, Mas. Nanti ada pertigaan, sampeyan ambil jalan yang ke kiri. Kurang lebih satu km ada sebuah gerbang masuk desa itu,” katanya sembari menghembuskan asap rokok.
“Baik, Mas. Terima kasih,” balasku sambil tersenyum.
Aku melaju lagi. Kali ini aku pelan-pelan sebab kabut kulihat semakin banyak. Aku sedikit menggigil karena udara terasa menjadi sangat dingin juga.
Hari sudah memasuki waktu senja. Kabut perlahan mengepung sekitar sehingga membuat penglihatanku menjadi sedikit terbatas. Aku mesti hati-hati.
Belum lama memacu kuda besiku, tiba-tiba di depan sana terlihat sebuah keramaian. Dan tiba-tiba pula kabut menjadi lenyap entah kemana. ‘Ada apa gerangan?’, batinku.
Aku mendekati kerumunan itu. Karena terhalangi punggung orang-orang, aku jadi tak bisa melihat apa yang mereka lihat.
Aku tepikan motorku. Segera aku mendekati dan bergabung dengan kerumunan itu.
“Maaf, Pak, ada apa, ya?” tanyaku kepada salah seorang warga.
Dia tampak acuh saja. Entah kenapa. Barangkali ia tak mendengarku.
“Pak, ada apa, ya? Kok rame-rame begini?” Aku bertanya lagi, tapi ia tak menjawab lagi.
“Duh, kasian ya. Ada yang jatuh korban lagi. Begitulah kalau tidak hati-hati. Sudah tahu jalannya susah,” Tiba-tiba kudengar seseorang di sebelah orang yang aku tanya itu bergumam.
“Iya, kasihan sekali. Kayaknya ia bukan orang sini,” Sambut orang yang di sebelahnya lagi.
Karena aku merasa diacuhkan, aku pun merangsek masuk ke dalam kerumunan. sampai aku melihat dengan jelas apa yang sedang mereka lihat.
Terlihat di bawah sana sebuah mobil silver tengah teronggok dengan posisi terguling.
Ada kecelakaan rupanya.
Masuk akal. Karena jalanan di sini memang sangat rawan.
Aku mencoba beringsut mundur, keluar dari kerumunan. Segera menghampiri motor dan hendak pergi meneruskan perjalanan. Biarlah kecelakaan itu diatasi petugas-petugas dan masyarakat yang ada, aku juga tengah terburu-buru sebab hari sudah bertambah gelap. Sedangkan rumah Ratih saja aku belum tahu di mana.
Kupacu kuda besiku lagi perlahan-lahan.
Akhirnya aku sampai di pertigaan yang dimaksud bapak pengendara pick up tadi. Memang ada tulisan di sana yang menunjukkan ke arah desa si Ratih.
Aku berbelok ke kiri.
Tak beberapa lama, kujumpai sebuah gerbang masuk desa Kedung Wingit, desa di mana Ratih tinggal.
Di sebelah kiri tak jauh dari gerbang itu ada sebuah warung kecil. AKu berniat membeli rokok, minuman, sekaligus bertanya tentang keberadaan rumah Ratih.
Motor aku tepikan perlahan. Aku melangkah masuk ke arah warung.
“Permisi, mau beli rokok, Pak,” kataku kepada penjual.
“Oh, iya, Mas,” jawab penjual itu sambil berbalik ke arahku. “Bukan orang sini, ya , Mas? Dari mana mau ke mana?”
Di tengah siraman cahaya obor yang tergantung di dinding warung, aku kini lebih jelas melihat penjual itu. Mataku menyipit, aku berpikir sejenak, rasanya seperti tak asing dengan wajah itu.
Astaga. Bukankah ia orang yang tadi aku tanya waktu di ujung jalan sana waktu ada kecelakaan?
“Mas, ditanya kok diam saja?”
Aku tergagap sadar, “Eh iya, Pak. saya dari Jakarta. Hendak ke rumah teman.
“Wah, jauh. Ngomong-ngomong mau ke mana?
“Ke desa Kedung Wingit, Pak.”
“Lha ini sudah masuk desa Kedung Wingit, memang mau ke tempat siapa?” lanjutnya.
“Teman kampus, Pak. Ratih namanya.”
“Oalah si Ratih anak pak RT, rumahnya ada di sana, Mas lurus aja, di gang pertama ada jalan masuk, nah rumah ke tiga dari gang itulah rumah Ratih, Mas. Pak tua itu menunjukkan arah telunjuknya.
“He-he, iya, Pak, makasih, tapi anu. Saya mau tanya lagi.
“Tanya apa, Mas. Silahkan ….”
“Begini, saya tadi kan sebelum sampai sini melewati sebuah kecelakaan di sana.” Aku menunjukkan tangan.
“Kecelakaan?” tanya bapak itu heran.
“Saya tadi melihat bapak ada di situ juga, tapi aku tanya-tanya tidak merespon.
Kali ini wajah bapak itu jadi berubah.
“Kalau ada kecelakaan, pasti masyarakat sini akan langsung berbondong-bondong menolong, Mas. lha ini saya ga ada yang beritahu, warga-warga pun tampaknya ga ada yang keluar.
Aneh.
“Benar, Pak, ramai sekali tadi di sana. Ada sebuah mobil silver dengan plat xxx terjun ke jurang.
“Apa katamu? Mobil silver dengan plat xxx?”
Raut bapak itu mendadak berbeda.
“Iya, Pak.”
Aku jadi resah, bapak itu seperti terlihat terkejut sekali.
“Hmmm … tampaknya kau tadi masuk ke dimensi masa lalu, Mas.”
Kini aku yang gantian bingung.
“Dimensi masa lalu, Pak?”
“Iya. Kecelakaan itu sudah terjadi 10 tahun yang lalu. Waktu itu ada rombongan pengantin dari kota yang akan ke kampung sini, besanan dengan orang sini, tapi jatuh ke jurang karena mungkin tidak begitu hapal medan sini yang curam. Daerah kami memang konon banyak portal-portal antar dimensi, Mas. Katanya begitu. Mungkin pas Mas lewat, portal itu aktif, jadinya peristiwa lampau itu bisa Mas lihat.”
Aku menelan ludah.
Dimensi masa lalu? Aku pernah mendengar bahwa sebuah kejadian, energinya akan ditangkap oleh semesta dan katanya masih terus tersimpan di tempat itu. Abadi.
Aku sering menertawakan jika kawan-kawanku yang meyakini itu berbicara. Kini mesti aku saksikan sendiri kejadian tidak masuk akal itu.
Aku menghela napas dengan pertanyaan yang masih bergelayutan dalam benak. Seolah masih tidak percaya akan kejadian yang tadi aku alami.
.
End.
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Penulis yang Menemukan Kembali Gairahnya
Minggu, 21 Mei 2023 17:13 WIBPergulatan di Kereta Senja
Minggu, 21 Mei 2023 17:01 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler