x

Pinterest

Iklan

Dien Matina

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 9 Agustus 2022

Senin, 19 Desember 2022 06:50 WIB

Percakapan Imajiner (18)


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Biru

 

Seolah hujan melambat. Serupa karma yang pelan datang lewat celah bayang-bayang. Aku bertahan melewati alur yang sungguh menyebalkan. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kau masih sibuk dengan laptop dan ponselmu saat kuseduh secangkir kopi hitam kesukaanmu. Racikan satu sendok kopi, dua sendok gula, cukup membuatmu nyaman duduk lebih lama di ruang kerja. Tiba-tiba ingatanku jatuh di sudut kedai kopi tempat aku mengenalmu enam tahun lalu. Aku rindu waktu itu. 

Rabu malam yang hujan, remang lampu, Tennessee Whiskey-Chris Stapleton, dan sederet lagu manis. Kedai bernuansa biru itu tak ramai tapi semua meja terisi. Entah bergerombol, berpasangan atau sendirian. Seperti aku, yang sengaja melepas lelah dengan ngopi sendiri. Dan kau, dengan baju basah dan kedinginan memasuki kedai. Memesan kopi latte lalu ke toilet mengganti baju dengan sweater merah marun yang sekarang kupakai. 

Mungkin itu pertemuan yang biasa saja, tapi aku tak mungkin lupa. Caramu bicara, meminta duduk di meja yang sama. Caramu memandang yang dingin dan kaku. Aku mengingatnya. 

Satu tahun setelahnya kau kenakan cincin berbatu biru di jari manisku. Kapel tua, keluarga, saudara, teman dan serombongan koor gereja menjadi saksi sakramen pernikahan berbalut warna biru kesukaanmu. 

Seseorang yang kemudian kusebut si Jalang memelukku, mencium pipi dan berbisik dengan suara seraknya, "Selamat sayang, berbahagialah." 

Aku diam dan sekelebat melihat beberapa takdir dalam matanya, menyedihkan. Ah bukan dia, bukan, mungkin itu aku. 

Kau kekasihku, menjadi ganjil yang tak sanggup kugenapi. Semacam gambar tak beraturan. Abstrak. Kau bukan lagi Biru yang kukenal. Asing dan semakin asing. Apalagi setelah kutemukan kau tidur dengan si Jalang. Kau bilang, "Aku bersamanya berkali-kali." 

 

*

 

Hari ini genap lima tahun usia pernikahan. Akan kurayakan. Sebuah pesta dengan botol-botol bir, sebuah puisi yang akan kubacakan, kue-kue berlapis cokelat kesukaanmu, dan beberapa bungkus rokok mentol. 

Kukenakan baju biru muda sepanjang paha. Rambut ikal sengaja kugerai, katamu indah. Sedikit riasan dan lensa kontak warna biru. 

Tepat jam duabelas malam, kau datang dengan buket mawar dan sekotak cokelat. Aku menyambutmu dengan ciuman-ciuman panjang di ruang tamu. Lantas kita bercinta, lantas berpesta. 

Menuju subuh aku berhasil membuatmu larut. Gelas bir terakhir, semua berakhir. Kau pergi dengan sedikit tersedak dan kesakitan. Meringkuk di atas karpet kesayanganmu. Sementara si Jalang yang kubuat pingsan tergeletak di sofa, dengan sebuah pisau penuh darah di tangannya. Darah dari tusukan berkali-kali di dada dan punggungmu, wahai Biru, kekasihku.

 

 

*** 

 

Ikuti tulisan menarik Dien Matina lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler